• Fikih Kemerdekaan

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Kamis, 15 Agustus 2024
    A- A+


    KORANRIAU.co- Salah satu hal yang menonjol dari para ulama Nusantara adalah peran dan keterlibatannya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Spirit ini berangkat dari nilai-nilai Islam yang meniscayakan setiap manusia hidup dalam damai, harmoni, dan anti penindasan. Hadratussyaikh Hasyim Asyari dan KH. Ahmad Dahlan menjadi figur penting ulama bangsa ini yang mengajarkan bahwa bicara agama berarti bicara kemanusiaan dan kemaslahatan makhluk Tuhan di muka bumi.


    Tunisia, tempat saya menimba ilmu, juga memiliki para ulama dengan karakter yang sama. Di negeri dengan penganut mazhab Imam Malik itu, para ulamanya meyakini bahwa segala sesuatu yang menghalangi setiap manusia untuk bahagia, harus dilawan. Sehingga dalam membela kemerdekaan Tunisia dari kolonialisme Prancis, para ulama di sana turut berperan penting.

    Selain itu, para ulama Tunisia seperti Muhammad Thahir bin Asyur dengan karyanya Ushul Al-Nizham Al-Ijtima'i fi Al-Islam, Abdul Aziz Al-Tsaʼalaby dengan karyanya Ruh al-Taharuriyyah fi al-Qur'an, dan Thahir Haddad dengan karyanya Imra'atuna fi Al-Syari'ah wa Al-Mujtama' yang mewarisi pikiran Ibnu Khaldun itu pun meniscayakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang butuh terhadap gotong royong serta hidup berdampingan dalam damai.


    Dalam konteks ini, saya beruntung karena mendapat pelajaran dan pengajaran dari para ulama Indonesia dan Tunisia yang mempunyai karakteristik sama yaitu spirit ajaran agama yang membebaskan. Pada saat yang sama, spirit dan semangat keberagamaan yang revolusioner untuk membangun peradaban masyarakat ini juga perlu untuk dihidupkan dan dikembangkan. Sehingga, agama benar-benar menjadi pedoman hidup yang relevan di setiap zaman.

    Sebab itu, penting bagi kita saat ini mengetengahkan fikih kemerdekaan sebagai sebuah konsep yang lahir dari jati diri para ulama Nusantara yang pro-aktif berperan sebagai civil society. Gagasan fikih kemerdekaan juga hadir sebagai upaya memaknai kembali arti dari kemerdekaan. Jika dahulu para pendiri bangsa melawan kolonialisme dan imperialisme, maka kini kemerdekaan dapat dimaknai dengan melawan korupsi, kolusi, dan politik dinasti.


    Fikih kemerdekaan menjadi konsep fikih yang menekankan pada pentingnya kemerdekaan setiap individu. Fikih kemerdekaan adalah fikih kebudayaan, artinya fikih yang mengobarkan semangat transformasi, tidak hanya teori, tetapi juga aplikasi. Pada saat yang bersamaan, fikih kemerdekaan dapat menjadi panduan agar setiap kita mempunyai logika kolektif dalam hal menentang segala sesuatu yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan, etika, dan moralitas.

    Dengan demikian, di tengah permasalahan moral pada dunia sosial dan politik kini, kita bisa mendorong semua pihak untuk terus kritis dan bersuara. Tentu dengan semangat yang sama, sebagaimana yang dicetuskan oleh para ulama Nusantara pada era penjajahan abad ke-20. Melalui fikih kemerdekaan ini juga diharapkan kita bisa melakukan kajian-kajian baru terhadap wujud penindasan modern yang dilakukan oleh pihak luar, atau bahkan bangsa sendiri.

    Bung Karno sebetulnya telah menyinggung sejak jauh-jauh hari bahwa perjuangan kita sekarang akan lebih berat karena melawan bangsa sendiri. Praktik abuse of power dan menghalalkan segala cara untuk ambisi kekuasaan pribadi dan kepentingan sekelompok orang menjadi wajah penindasan baru yang harus sama-sama kita lawan dewasa ini.

    Bung Karno, sebagai Bapak Bangsa yang juga disebut sebagai Pembaharu Islam selalu menggelorakan rethinking of Islam agar Islam terus relevan. Bung Karno mendorong umat Islam untuk memikirkan kembali nilai-nilai dan tujuan Islam (maqasid al-syari'ah al-Islamiyyah) yang humanis, moderat, dan inklusif dan mempunyai dimensi anti penindasan.

    Hadrarussyaikh Hasyim Asy'ari sebagai ulama juga sebenarnya pernah memberikan isyarat mengenai perlunya mengetengahkan fikih kemerdekaan melalui Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Hal ini sebagai respons agamawan terhadap problematika sosial yang diyakini sebagai musuh bersama. Ketika terjadi sebuah penindasan pada hak-hak dasar umat manusia, prinsip dan nilai-nilai ajaran agama diterjemahkan secara konkret dalam bentuk pembelaan (al-hifz).

    Hifz al-Din, atau menjaga agama, dalam konteks Nahdlatul Ulama diterjemahkan menjadi membela tanah air. Sebab itu, para ulama kita menggelorakan semangat hubbul wathan minal iman, artinya membela agama (hifz al-din) berarti membela negara (hifz al-wathan) atau membela kemanusiaan. Selain itu, menjaga akal (hifz al-'aql) dalam konteks Muhammadiyah misalnya diterjemahkan oleh Kiai Ahmad Dahlan menjadi pembangunan sekolah-sekolah bahkan kini universitas.

    Muhammad Thahir bin 'Asyur, ulama besar Tunisia yang dikenal sebagai mufassir melalui karyanya Maqasid al-syari'ah al-Islamiyyah mengajak kita agar membaca sebuah teks dalam sudut pandang tujuan (maqasid) dan maknanya. Yaitu, bahwa tujuan akhir dari syariah adalah kemaslahatan manusia. Karena bagi Ibnu 'Asyur, tujuan hadirnya agama di muka bumi ini adalah untuk menjaga tatanan kehidupan umat manusia dan melindungi setiap makhluk Tuhan dari segala kerusakan dan kekerasan.

    Abdul Jabar Rifa'i, seorang cendekiawan modern asal Irak melalui bukunya yang terbit pada 2021 dengan judul al-Din Wa al-Karamah al- Insaniyah menjawab pertanyaan atas fenomena ini. Ia menjelaskan bahwa kita tidak dapat benar-benar memahami agama tanpa terlebih dahulu memahami manusia beserta kebutuhannya akan makna kehidupan, kehormatan, kesetaraan, kebebasan, dan kebahagiaan.

    Menurut Rifa'i, mendefinisikan ulang manusia adalah pendekatan yang tepat untuk mendefinisikan kembali makna agama dan bagaimana kita memahami serta menafsirkan teks-teksnya. Sehingga agama benar-benar menjadi pedoman hidup yang membimbing manusia untuk mencapai kehidupan yang harmonis.

    Kita menyadari secara jujur bahwa tragedi kemanusiaan yang terjadi dewasa ini adalah pekerjaan rumah yang hingga kini belum bisa diselesaikan oleh kita semua sebagai manusia --yang dalam bahasa al-Quran disebut pemimpin di muka bumi-- yang harus bertanggung jawab dalam menjaga tatanan kehidupan di dunia.

    Konflik Israel-Palestina, perang saudara di Sudan, hingga fenomena stateless etnis Rohingya cukup sudah menjadi alasan bahwa kita semua membutuhkan spirit beragama yang berpihak pada kemanusiaan (humanisme religius). Spirit humanisme religius ini menekankan agar kita menempatkan manusia secara utuh, sebagaimana diajarkan oleh para ulama kita di Indonesia, yang menganut mazhab Syafi'i dan para ulama Tunisia yang menganut mazhab Maliki.

    Fikih kemerdekaan menjadi satu konsep penting yang dapat mewadahi gagasan dan spirit ini. Sebab itu, dalam menyambut Ulang Tahun Kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia ini, seyogianya kita mengetengahkan fikih kemerdekaan, sebuah jalan dalam memahami kembali arti kemerdekaan dan kebebasan setiap individu manusia. Fikih kemerdekaan menjadi satu panduan untuk memaknai betapa pentingnya kita melawan berbagai bentuk penindasan yang mencederai meritokrasi, kesetaraan manusia, dan keadilan sosial.

    Penulis: Nata Sutisna peneliti Pusat Studi Islam dan Sukarno

    detik/nor

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Fikih Kemerdekaan "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com