Foto: Sidang dugaan korupsi pembangunan Jembatan Selat Rengit.
KORANRIAU.co,PEKANBARU- Rusli
Patra, mantan Direktur Utama (Dirut) PT Relis Safindo Utama (RSU), terdakwa
dugaan korupsi pembangunan Jembatan Selat Rengit (JSR), Kabupaten
Kepulauan Meranti yang merugikan negara Rp42,1 miliar lebih ini, menolak
dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
Penolakan itu disampaikan terdakwa dalam
nota keberatan (eksepsi) yang dibacakan oleh kuasa hukumnya Wahyu Hidayat SH
dan Ricky SH, pada sidang yang digelar Senin (22/7/24) di Pengadilan Tipikor
Pekanbaru.
Pengacara menegaskan, jika dakwaan JPU Sri
Madonna Rasdy SH,dkk dinilai cacat formil dan materil. JPU dalam dakwaannya
tidak menyebutkan dengan jelas tempat Tinggal Terdakwa.
JPU dalam dakwaan menyatakan jika alamat
terdakwa di: Jalan Mesjid Alfajri No.9 RT 016 RW 003 Pejanten Barat Pasar
Minggu Jakarta Selatan atau alamat kantor Jalan Rawa Jati Timur AM 15 Kalibata
Jakarta Selatan. Atas dakwaan itu, Rusli keberatan karena menyatakan tidak
berdomisili pada alamat tersebut.
“Melainkan bertempat tinggal di : Jalan Pejaten
Raya Mas F-18 RT.011/RW.002 Kelurahan Pasar Minggu Kecamatan Pasar Minggu Kota
Jakarta Selatan Provinsi DKI Jakarta sebagaimana lampiran dokumen Kartu Tanda
Penduduk (KTP),’kata Wahyu.
Selain itu, terkait pekerjaan terdakwa Rusli Patra, JPU menyatakan dalam
dakwaan sebagai Direktur Utama PT. Relis Sapindo Utama Tahun 2012 dan sebagai
Anggota Joint Operation (JO) bersama dengan PT Mangkubuana Hutama Jaya
dan PT Nindya Karya Persero. Sementara di tahun itu, terdakwa tidak lagi bekerja
sebagai Direktur Utama PT Relis Sapindo Utama.
“Fakta demikian menunjukkan Penuntut Umum lalai, tidak cermat dan tidak
teliti dalam mencantumkan identitas terdakwa dalam surat dakwaan. Ketentuan
hukum acara pidana mengamanatkan surat dakwaan adalah dasar pembuktian bagi
Penuntut Umum dalam membuat tuntutan pidana. Selanjutnya berfungsi sebagai
dasar serta batasan bagi hakim dalam memberi dan menjatuhkan putusan, sedangkan
untuk terdakwa / Penasihat Hukum Terdakwa surat dakwaan berfungsi sebagai
alasan (dasar) dalam mempersiapkan pembelaan,’tegasnya.
Menurut Wahyu, adanya perbedaan identitas terdakwa Rusli Patra pada kolom
Tempat Tinggal (domisili) dan kolom pekerjaan sebagaimana yang tercantum dalam
surat dakwaan dengan keterangan terdakwa pada awal persidangan (pemeriksaan
identitas oleh Ketua Majelis Hakim), ini bukanlah tanpa kesengajaan hingga
menjadi alasan pemaaf untuk dianggap “salah ketik. Akan tetapi lebih kepada
kelalaian, tidak cermat dan tidak telitinya Penuntut Umum mencantumkan
identitas terdakwa, Kami yakin Penuntut Umum paham dan sangat menyadari
kelengkapan identitas terdakwa merupakan syarat formil surat dakwaan (vide
Pasal 143 Ayat (2) huruf a KUHAP) yang dapat mengakibatkan “surat dakwaan tidak
dapat diterima”,”sebut Wahyu lagi.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, pihaknya meminta kepada majelis hakim
yang dipimpin Jonson Parancis SH MH dalam putusan selanya untuk dapat menerima
eksepsi kuasa hukum terdakwa. Kemudian, menolak dakwaan jaksa penuntut umum.
“Menetapkan pemeriksaan terhadap Terdakwa Rusli Patra tidak dapat
dilanjutkan. Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan jaksa penuntut umum,”harap
Wahyu.
Sebelumnya, JPU dalam surat dakwaan menyebutkan,
perbuatan terdakwa dilakukan bersama-sama dengan Dupli Juliardi
selaku Kepala Bidang (Kabid) Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum (PU)
Kabupaten Kepulauan Meranti Tahun 2012, sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran
(tuntutan terpisah) dan Dharma Arifiandi, mantan General Manager (GM)
Divisi I Medan PT Nindya Karya yang juga Kuasa KSO PT Nindya Karya, PT Relis
Safindo Utama, PT Mangkubuana Hutama Jaya (tuntutan terpisah).
Pembangunan Jembatan Selat Rengit itu
merupakan proyek multiyears di bawah kepemimpinan Bupati Irwan Nasir dengan
anggaran sebesar Rp460 miliar lebih Tahun 2012. Rinciannya, sebesar Rp125
miliar, tahun 2013 sebesar Rp235 miliar dan tahun 2014 sebesar Rp102 miliar.
Nilai ini belum termasuk biaya pengawasan
tahun pertama Rp2 miliar, tahun kedua Rp3,2 miliar dan tahun ketiga Rp1,6
miliar. Namun kenyataannya proyek yang dikerjakan PT Nindya Karya KSO ini tidak
tuntas dan baru berupa pancang-pancang.
Dalam penghitungan yang dilakukan oleh
pihak Dinas PU Kabupaten Kepulauan Meranti, bahwa pekerjaan Jembatan Selat
Rengit itu hanya sebesar 17 persen saja saat berakhirnya masa pengerjaannya,
yakni pada akhir 2014 lalu. Pada saat itu biaya penawaran dari perusahaan untuk
menuntaskan pembangunan Jembatan Selat Rengit, yakni sebesar Rp447 miliar.
Sementara sesuai dengan aturan, pemerintah
memberikan uang muka maksimal sebesar 15 persen atau sekitar Rp67 miliar untuk
memulai pembangunan jembatan pada tahun 2013 lalu.
Namun kenyataan, proyek jembatan yang
menghubungkan Pulau Tebingtinggi dengan Pulau Merbau itu, hingga kini masih
terbengkalai tanpa ada kejelasan kelanjutannya pembangunannya. Ada penyimpangan
dalam proses perencanaan dan pengerjaan proyek yang dimulai sejak tahun 2012
itu.
Dari hasil audit diketahui timbul kerugian
keuangan negara sebesar Rp42.135.892.352. Angka tersebut diketahui dari hasil
audit yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
Perwakilan Provinsi Riau.
Akibat perbuatannya itu, terdakwa
dijerat dengab Pasal 2 ayat (1) dan 3 Juncto Pasal 18 Undang-undang (UU)
Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHPidana.
Dalam
perkara ini, sebelumnya majelis hakim Pengadilan Tipikor Pekanbaru telah
menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa lainnya, Dupli Juliardi
dan Dharma Arifiandi masing-masing selama dua tahun penjara.
Hakim
juga menghukum keduanya untuk membayar denda sebesar Rp75 juta. Dengan
ketentuan, apabila denda tidak dibayar, maka dapat diganti dengan pidana
2 bulan kurungan.
Namun
keduanya tidak dikenakan hukuman membayar uang pengganti (UP) kerugian negara.
Pasalnya, kedua terdakwa telah mengembalikan uang kerugian negara kepada BPKAD
Kabupaten Kepulauan Meranti sebesar Rp28 miliar lebih. nor
No Comment to " Eks Dirut PT RSU Minta Hakim Tolak Dakwaan JPU "