KORANRIAU.co -
Akhir-akhir kita dihadapkan pada berbagai fenomena politik yang kontroversial
khususnya yang terkait dengan Pilpres 14 Februari 2024 ini. Diakui atau tidak,
yang 'kasat mata' menjadi king maker adalah Megawati, Surya Paloh, dan Jokowi.
Kubu Megawati menjagokan pasangan Ganjar-Mahfud, sedangkan Anies-Amin
dikampiunkan oleh kubu Surya Paloh. Sementara itu banyak orang yakin bahwa
Jokowi 'mengendors' pasangan Prabowo-Gibran.
Meskipun masih kontroversi, hasil dari berbagai Lembaga
survei swasta yang menyelenggarakan quick count telah mengindikasikan pasangan
Prabowo Gibran berada di atas angin yaitu memperoleh suara antara 56 hingga 59
persren sehingga bayangan tentang satu kali putaran dalam Pilpres sudah ada di
depan mata. Demikian juga, ketika KPU meluncurkan real count pun, persentase
kemenangan pasangan Prabowo-Gibran juga tidak berbeda dengan hasil penghitungan
quick count ala lembaga survei swasta.
Jika dilihat dari kekuatan politik riil barangkali
orang akan yakin bahwa pasangan Ganjar-Mahfud akan menang sebab didukung oleh
partai terbesar sebagai partai yang memerintah selama 10 tahun terakhir ini.
Juga, pasangan Anies-Amin yang didukung oleh para followers-nya yang sangat
fanatik juga memiliki kemungkinan besar untuk unggul.
Sementara itu pasangan Prabowo-Gibran yang
penetapannya belakangan dan dipandang banyak catat dan kekurangan, justru
akhirnya meraih suara tertinggi versi hitung cepat dan hitung riil (sedang
berlangsung). Oleh sebab itu fenomena menarik ini perlu dijelaskan daam konteks
kultural mengenai cara pandang dan selera rakyat terhadap idealisme figure
pemimpin yang diharapkannya.
Selera Budaya Rakyat
Ada beberapa aspek budaya masyarakat yang menentukan kunci
keberhasilan pasangan Prabowo-Gibran dalam menarik simpati publik. Pertama,
antara rasa dan logika. Pertama-tama yang perlu dibahas adalah tampaknya terjadi
kesenjangan perkembangan rasionalistas para elite dengan budaya tradisional,
yang masih mengakar dalam kehidupan masyarakat dalam memilih pemimpin yang
lebih mengedepankan rasa. Jadi rakyat masih menonjolkan feeling daripada
reasoning. Di mata rakyat penampilan calon yang merakyat, unggah-ungguh dan
andhap asor (tata-krama dan sopan-santun), nyedulur (bersahabat), merangkul,
masih menjadi pertimbangan utama dalam memilih pemimpin. Tampaknya keahlian
menjelaskan persoalan kekinian dan detail masa depan dengan rasional tidak
begitu penting jika dibandingkan dengan penampilan yang lebih berbasis budaya
tradisional. Cara berpikir rakyat mengenai masa depan ternyata masih sederhada,
yang penting kebutuhan ekonomi terpenuhi, hidup damai, tenteram dan ajakan yang
penuh rasa persaudaraan jauh lebih menyentuh daripada membangkitkan semangat
perpecahan dan konflik.
Kedua, soal isu nepotisme. Salah satu isu santer
yang digelontorkan oleh berbagai pihak yang beroposisi dengan pasangan
Prabowo-Gibran dan Jokowi adalah adanya isu nepotisme. Isu ini muncul terkait
dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka yang diloloskan oleh Mahkamah
Konstitusi dan Komisi Pemiluhan Umum yang pada awalnya tidak memenuhi syarat
umum. Nepotisme menjadi bahan gorengan untuk menjatuhkan dan pasangan
Prabowo-Gibran dan bahkan tampaknya menjadi salah satu argumentasi untuk
mendeligitimasi hasil Pemilu. Namun demikian isu nepotisnya ang sangat santer
mengalir menjelang pemilihan umum tampaknya tidak membuat pilihan terhadap
pasangan Prabowo-Gibran menurun, bahkan sebaliknya dukungan terhadap pasangan
ini terus meningkat. Mengapa isu nepotisme ini serasa tak mempan menjatuhkan
pasangan Prabowo Gibran? Jawabnya tidak terlalu sulit.
Nepotisme telah berakar dalam budaya masyarakat
Nusantara. Selama ribuan tahun sistem politik feudal berbasiskan nepotisme.
Pada masa kolonial Belanda, budaya ini juga masih berlangsung. Di zaman
Republik yang menerapkan sistem demokrasi pun, budaya nepotisme ini tidak serta
merta hilang. Bahkan di daerah pedesaan, pemilihan lurah malah sering
berbasiskan nepotisme. Lurah yang terpilih Sebagian besarbadalah keturunan
luring sebelumnya atau mantan lurah (lurah dongkol). Masyarakat desa memandang
seorang keturunan lurah sangat layak dipilih untuk menjadi lurah. Jadi, mereka
malah menyukai nepotisme. Dalam budaya ada semboyan bahwa untuk memilih tau
berharap pemimpin dengan berpedoman pada trah kusuma rembesing madu, wijining
sutapa, tedhaking andana warih (keturunan bangsawan, keturunan ulama,
rohaniawan atau orang-orang suci, keturunan pahlawan negara). Jadi memilih
pemimpin harus berasal dari bibit yang jelas. Di mata banyak orang, khususnya
masyarakat di pedesaan Jawa, Gibran adalah "trah kusumo", demikian
juga Prabowo juga memiliki jejak keturunan tokoh penting.
Ketiga, adanya isu kontinuitas (continuity). Isu
program dari masing-masing capres dan cawapres juga sangat menentukan
keberhasilan pasangan Prabowo-Gibran. Ini berdasarkan persepsi bahwa angka
kepuasan terhadap Presiden Jokowi masih tinggi, lebih dari 75%. Ini menunjukkan
bahwa Jokowi dipandang sebagai orang baik. oleh sebab itu tokoh pemenangan
Ganjar-Mahfud yaitu Bambang Pacul pernah menyampaikan sindiran: 'jangan lawan
orang baik'. Pasangan Prabowo-Gibran secara terang-terangan mendukung dan
melanjutkan program yang telah dicanangkan Jokowi. Sementara itu Anies-Amin
mengusung perubahan yang cenderung discontinuity, sedangkan pasangan
Ganjar-Mahfud tampak ragu-ragu dan cenderung mengkritik dan memberi penialaian
buruk kepada kinerja Jokowi. Sikap dari dua pasangan yang disebutkan terakhir
ini justru melawan arus dari persepsi yang ada di dalam masyarakat. Apalagi
dalam tradisi budaya politik tradisional, biasanya penguasa baru selalu
mengidentifikasikan dirinya dengan berbagai cara sebagai kelanjutan
(continuity) dari penguasa sebelumnya (misalnya peralihan dari Majapahit ke
Demak; Demak ke Pajang; Pajang ke Mataram, dan sebagainya). Persepsi masyarakat
tradisional masih ingin melihat kintinutitas dalam kekuasaan agar tidak terjadi
konflik yang pada akhirnya bermuara pada kehancuran kehidupan masyarakat.
Keempat, Komunikasi politik menyerang. Mulutmu
harimaumu. Pepatah yang juga berakar pada budaya tradisional masyarakat kita
ini mengingatkan siapapun mengenai ucapan bisa mendatangkan musibah, termasuk
terhadap elite politik ataupun penguasa sekalipun. Para cendekiawan komunikasi
meyakini komunikasi politik selalu ditujukan untuk menciptakan pengaruh, untuk
memanen dukungan. Terutama, saat Pemilu ataupun negara dalam keadaan kritis.
Komunikasi politik memungkinkan para elit memenangkan hati massa, menenangkan,
atau bahkan membakar semangat para pendukung mereka.
Pada titik tertentu, komunikasi politik menjadi
sangat ekstrem untuk memenangkan hati massa. Para elite politik mencari-cari
kesalahan pihak lain, dengan membebankan segala malapetaka yang terjadi di
sebuah negara terhadap suku, imigran, atau kelompok agama tertentu. Komunikasi
politik populis ini belakangan memang marak terjadi, ketika ekonomi di
negara-negara Barat mengalami kesuraman.
Para imigran Timur Tengah menjadi sasaran empuk
komunikasi politik populis, karena persoalan agama hingga pekerjaan dalam
negeri yang langka karena kehadiran imigran. Para imigran itu rela bekerja apa
saja demi hidup, sementara penduduk asli yang terbiasa dengan gaji besar untuk
pekerjaan yang sama tentunya kalah bersaing. Fenomena inilah yang menjadi bahan
bakar dalam komunikasi politik populis yang mampu memicu kekerasan terhadap
pendatang hingga kekerasan yang sifatnya sektarian. Beruntungnya, terdapat
sebaran tokoh-tokoh nasionalis pada semua kandidat capres-cawapres. Bahkan
Anies Baswedan yang didukung kelompok-kelompok Islam yang pada Pemilu lalu
merupakan bagian kelompok 212, kehadiran Muhaimin Iskandar sebagai perwakilan Islam
moderat, mampu mengubah pendekatan kampanye kubu 01 yang biasanya sektarian.
Sama halnya kubu 02 dan 03 yang juga tidak terpancing menggunakan komunikasi
politik populis. Walhasil kelompok nasionalis dan agamis tidak saling
berbenturan. Persoalannya kini bergeser merebut hati masyarakat, yang
seharusnya menyadari akar sejarah dan budaya bangsa, yang nyedulur itu.
Pemilu 2024 meskipun tidak diwarnai komunikasi
politik populis sebagaimana Pemilu 2014 dan 2019, namun memunculkan fenomena
pengabaian komunikan - masyarakat yang menerima pesan dari komunikator. Bila
kepemimpinan modern diawali dengan bagaimana cara merebut hati rakyat, ternyata
tidak semua kandidat presiden mampu melakukannya. Rakyat yang sudah kepincut
atau jatuh hati dengan Presiden Jokowi, tentu tidak mudah untuk mengubah
pilihan mereka. Saat idola mereka itu mendukung pasangan Prabowo-Gibran, mereka
pun turut mendukungnya. Menukil data Lingkaran Survei Indonesia (LSI), sejak
Juni 2023 hingga Februari 2024, approval rating atau tingkat kepuasan publik
terhadap Presiden Jokowi berkisar antara 75-82 persen. Sementara yang tidak
puas di bawah 20 persen saja. Sementara yang mengenal Prabowo dan Gibran sudah
di atas 90 persen populasi Indonesia. Dan yang menyukai Prabowo dan Gibran juga
di atas 80 persen.
Dengan approval rating setinggi itu, mengakibatkan
setiap protes terhadap Jokowi tidak akan berbunyi sampai akar rumput. Publik
merasa puas dengan kinerja Jokowi karena pengendalian inflasi, meskipun kelas
menengah mengkritik kinerja Presiden Jokowi di bidang lainnya. Masyarakat luas
sejatinya berpikir sederhana, asal kebutuhan pokok terjangkau dan mobilitas
lancar, mereka merasa cukup dan puas terhadap pemimpin mereka. Kepuasan
tersebut, tentu terganggu bila terdapat elite politik lain yang mengkritik atau
bahkan menghina pemimpin mereka.
Gaya komunikasi Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo
yang menyerang Prabowo pada Debat Capres Ketiga pada Minggu, 7 Januari 2024,
untuk menaikkan elektabilitas ternyata tidak banyak membantu. Justru melahirkan
ketersinggungan para pendukung Prabowo. Pemilih Indonesia rupanya tidak sebatas
memilih karena program, namun lebih kepada sosok individu dan sebab-sebab lain
seperti kesukuan, keyakinan, hingga budaya. Loyalitas terhadap pemimpin di luar
persoalan program kerja tersebut, tentu tidak mudah digeser. Bahkan makin
menguat ketika pemimpin atau calon pemimpin yang mereka harapkan mendapat
serangan secara verbal. Media sosial menjadi palagan pertarungan wacana, bahkan
dengan cara yang tidak sehat seperti pemilintiran fakta hingga hoaks.
Dengan demikian ternyata untuk bisa memenangkan
hati rakyat harus memahami budaya yang masih dipegang teguh oleh rakyat itu
sendiri.
Oleh: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum. (Guru Besar Universitas
Diponegoro & Ketua Presidium ForGubi) & Ludhy Cahyana (Kandidat Doktor
Sejarah Universitas Diponegoro)
detik/nor
No Comment to " Memahami Dinamika Pilpres dan Basis Budaya Kita "