• Memahami Dinamika Pilpres dan Basis Budaya Kita

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Kamis, 22 Februari 2024
    A- A+




    KORANRIAU.co - Akhir-akhir kita dihadapkan pada berbagai fenomena politik yang kontroversial khususnya yang terkait dengan Pilpres 14 Februari 2024 ini. Diakui atau tidak, yang 'kasat mata' menjadi king maker adalah Megawati, Surya Paloh, dan Jokowi. Kubu Megawati menjagokan pasangan Ganjar-Mahfud, sedangkan Anies-Amin dikampiunkan oleh kubu Surya Paloh. Sementara itu banyak orang yakin bahwa Jokowi 'mengendors' pasangan Prabowo-Gibran.

    Meskipun masih kontroversi, hasil dari berbagai Lembaga survei swasta yang menyelenggarakan quick count telah mengindikasikan pasangan Prabowo Gibran berada di atas angin yaitu memperoleh suara antara 56 hingga 59 persren sehingga bayangan tentang satu kali putaran dalam Pilpres sudah ada di depan mata. Demikian juga, ketika KPU meluncurkan real count pun, persentase kemenangan pasangan Prabowo-Gibran juga tidak berbeda dengan hasil penghitungan quick count ala lembaga survei swasta.

    Jika dilihat dari kekuatan politik riil barangkali orang akan yakin bahwa pasangan Ganjar-Mahfud akan menang sebab didukung oleh partai terbesar sebagai partai yang memerintah selama 10 tahun terakhir ini. Juga, pasangan Anies-Amin yang didukung oleh para followers-nya yang sangat fanatik juga memiliki kemungkinan besar untuk unggul.

    Sementara itu pasangan Prabowo-Gibran yang penetapannya belakangan dan dipandang banyak catat dan kekurangan, justru akhirnya meraih suara tertinggi versi hitung cepat dan hitung riil (sedang berlangsung). Oleh sebab itu fenomena menarik ini perlu dijelaskan daam konteks kultural mengenai cara pandang dan selera rakyat terhadap idealisme figure pemimpin yang diharapkannya.

    Selera Budaya Rakyat

    Ada beberapa aspek budaya masyarakat yang menentukan kunci keberhasilan pasangan Prabowo-Gibran dalam menarik simpati publik. Pertama, antara rasa dan logika. Pertama-tama yang perlu dibahas adalah tampaknya terjadi kesenjangan perkembangan rasionalistas para elite dengan budaya tradisional, yang masih mengakar dalam kehidupan masyarakat dalam memilih pemimpin yang lebih mengedepankan rasa. Jadi rakyat masih menonjolkan feeling daripada reasoning. Di mata rakyat penampilan calon yang merakyat, unggah-ungguh dan andhap asor (tata-krama dan sopan-santun), nyedulur (bersahabat), merangkul, masih menjadi pertimbangan utama dalam memilih pemimpin. Tampaknya keahlian menjelaskan persoalan kekinian dan detail masa depan dengan rasional tidak begitu penting jika dibandingkan dengan penampilan yang lebih berbasis budaya tradisional. Cara berpikir rakyat mengenai masa depan ternyata masih sederhada, yang penting kebutuhan ekonomi terpenuhi, hidup damai, tenteram dan ajakan yang penuh rasa persaudaraan jauh lebih menyentuh daripada membangkitkan semangat perpecahan dan konflik.


    Kedua, soal isu nepotisme. Salah satu isu santer yang digelontorkan oleh berbagai pihak yang beroposisi dengan pasangan Prabowo-Gibran dan Jokowi adalah adanya isu nepotisme. Isu ini muncul terkait dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka yang diloloskan oleh Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemiluhan Umum yang pada awalnya tidak memenuhi syarat umum. Nepotisme menjadi bahan gorengan untuk menjatuhkan dan pasangan Prabowo-Gibran dan bahkan tampaknya menjadi salah satu argumentasi untuk mendeligitimasi hasil Pemilu. Namun demikian isu nepotisnya ang sangat santer mengalir menjelang pemilihan umum tampaknya tidak membuat pilihan terhadap pasangan Prabowo-Gibran menurun, bahkan sebaliknya dukungan terhadap pasangan ini terus meningkat. Mengapa isu nepotisme ini serasa tak mempan menjatuhkan pasangan Prabowo Gibran? Jawabnya tidak terlalu sulit.

    Nepotisme telah berakar dalam budaya masyarakat Nusantara. Selama ribuan tahun sistem politik feudal berbasiskan nepotisme. Pada masa kolonial Belanda, budaya ini juga masih berlangsung. Di zaman Republik yang menerapkan sistem demokrasi pun, budaya nepotisme ini tidak serta merta hilang. Bahkan di daerah pedesaan, pemilihan lurah malah sering berbasiskan nepotisme. Lurah yang terpilih Sebagian besarbadalah keturunan luring sebelumnya atau mantan lurah (lurah dongkol). Masyarakat desa memandang seorang keturunan lurah sangat layak dipilih untuk menjadi lurah. Jadi, mereka malah menyukai nepotisme. Dalam budaya ada semboyan bahwa untuk memilih tau berharap pemimpin dengan berpedoman pada trah kusuma rembesing madu, wijining sutapa, tedhaking andana warih (keturunan bangsawan, keturunan ulama, rohaniawan atau orang-orang suci, keturunan pahlawan negara). Jadi memilih pemimpin harus berasal dari bibit yang jelas. Di mata banyak orang, khususnya masyarakat di pedesaan Jawa, Gibran adalah "trah kusumo", demikian juga Prabowo juga memiliki jejak keturunan tokoh penting.

    Ketiga, adanya isu kontinuitas (continuity). Isu program dari masing-masing capres dan cawapres juga sangat menentukan keberhasilan pasangan Prabowo-Gibran. Ini berdasarkan persepsi bahwa angka kepuasan terhadap Presiden Jokowi masih tinggi, lebih dari 75%. Ini menunjukkan bahwa Jokowi dipandang sebagai orang baik. oleh sebab itu tokoh pemenangan Ganjar-Mahfud yaitu Bambang Pacul pernah menyampaikan sindiran: 'jangan lawan orang baik'. Pasangan Prabowo-Gibran secara terang-terangan mendukung dan melanjutkan program yang telah dicanangkan Jokowi. Sementara itu Anies-Amin mengusung perubahan yang cenderung discontinuity, sedangkan pasangan Ganjar-Mahfud tampak ragu-ragu dan cenderung mengkritik dan memberi penialaian buruk kepada kinerja Jokowi. Sikap dari dua pasangan yang disebutkan terakhir ini justru melawan arus dari persepsi yang ada di dalam masyarakat. Apalagi dalam tradisi budaya politik tradisional, biasanya penguasa baru selalu mengidentifikasikan dirinya dengan berbagai cara sebagai kelanjutan (continuity) dari penguasa sebelumnya (misalnya peralihan dari Majapahit ke Demak; Demak ke Pajang; Pajang ke Mataram, dan sebagainya). Persepsi masyarakat tradisional masih ingin melihat kintinutitas dalam kekuasaan agar tidak terjadi konflik yang pada akhirnya bermuara pada kehancuran kehidupan masyarakat.

    Keempat, Komunikasi politik menyerang. Mulutmu harimaumu. Pepatah yang juga berakar pada budaya tradisional masyarakat kita ini mengingatkan siapapun mengenai ucapan bisa mendatangkan musibah, termasuk terhadap elite politik ataupun penguasa sekalipun. Para cendekiawan komunikasi meyakini komunikasi politik selalu ditujukan untuk menciptakan pengaruh, untuk memanen dukungan. Terutama, saat Pemilu ataupun negara dalam keadaan kritis. Komunikasi politik memungkinkan para elit memenangkan hati massa, menenangkan, atau bahkan membakar semangat para pendukung mereka.
    Pada titik tertentu, komunikasi politik menjadi sangat ekstrem untuk memenangkan hati massa. Para elite politik mencari-cari kesalahan pihak lain, dengan membebankan segala malapetaka yang terjadi di sebuah negara terhadap suku, imigran, atau kelompok agama tertentu. Komunikasi politik populis ini belakangan memang marak terjadi, ketika ekonomi di negara-negara Barat mengalami kesuraman.

    Para imigran Timur Tengah menjadi sasaran empuk komunikasi politik populis, karena persoalan agama hingga pekerjaan dalam negeri yang langka karena kehadiran imigran. Para imigran itu rela bekerja apa saja demi hidup, sementara penduduk asli yang terbiasa dengan gaji besar untuk pekerjaan yang sama tentunya kalah bersaing. Fenomena inilah yang menjadi bahan bakar dalam komunikasi politik populis yang mampu memicu kekerasan terhadap pendatang hingga kekerasan yang sifatnya sektarian. Beruntungnya, terdapat sebaran tokoh-tokoh nasionalis pada semua kandidat capres-cawapres. Bahkan Anies Baswedan yang didukung kelompok-kelompok Islam yang pada Pemilu lalu merupakan bagian kelompok 212, kehadiran Muhaimin Iskandar sebagai perwakilan Islam moderat, mampu mengubah pendekatan kampanye kubu 01 yang biasanya sektarian. Sama halnya kubu 02 dan 03 yang juga tidak terpancing menggunakan komunikasi politik populis. Walhasil kelompok nasionalis dan agamis tidak saling berbenturan. Persoalannya kini bergeser merebut hati masyarakat, yang seharusnya menyadari akar sejarah dan budaya bangsa, yang nyedulur itu.

    Pemilu 2024 meskipun tidak diwarnai komunikasi politik populis sebagaimana Pemilu 2014 dan 2019, namun memunculkan fenomena pengabaian komunikan - masyarakat yang menerima pesan dari komunikator. Bila kepemimpinan modern diawali dengan bagaimana cara merebut hati rakyat, ternyata tidak semua kandidat presiden mampu melakukannya. Rakyat yang sudah kepincut atau jatuh hati dengan Presiden Jokowi, tentu tidak mudah untuk mengubah pilihan mereka. Saat idola mereka itu mendukung pasangan Prabowo-Gibran, mereka pun turut mendukungnya. Menukil data Lingkaran Survei Indonesia (LSI), sejak Juni 2023 hingga Februari 2024, approval rating atau tingkat kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi berkisar antara 75-82 persen. Sementara yang tidak puas di bawah 20 persen saja. Sementara yang mengenal Prabowo dan Gibran sudah di atas 90 persen populasi Indonesia. Dan yang menyukai Prabowo dan Gibran juga di atas 80 persen.

    Dengan approval rating setinggi itu, mengakibatkan setiap protes terhadap Jokowi tidak akan berbunyi sampai akar rumput. Publik merasa puas dengan kinerja Jokowi karena pengendalian inflasi, meskipun kelas menengah mengkritik kinerja Presiden Jokowi di bidang lainnya. Masyarakat luas sejatinya berpikir sederhana, asal kebutuhan pokok terjangkau dan mobilitas lancar, mereka merasa cukup dan puas terhadap pemimpin mereka. Kepuasan tersebut, tentu terganggu bila terdapat elite politik lain yang mengkritik atau bahkan menghina pemimpin mereka.

    Gaya komunikasi Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo yang menyerang Prabowo pada Debat Capres Ketiga pada Minggu, 7 Januari 2024, untuk menaikkan elektabilitas ternyata tidak banyak membantu. Justru melahirkan ketersinggungan para pendukung Prabowo. Pemilih Indonesia rupanya tidak sebatas memilih karena program, namun lebih kepada sosok individu dan sebab-sebab lain seperti kesukuan, keyakinan, hingga budaya. Loyalitas terhadap pemimpin di luar persoalan program kerja tersebut, tentu tidak mudah digeser. Bahkan makin menguat ketika pemimpin atau calon pemimpin yang mereka harapkan mendapat serangan secara verbal. Media sosial menjadi palagan pertarungan wacana, bahkan dengan cara yang tidak sehat seperti pemilintiran fakta hingga hoaks.

    Dengan demikian ternyata untuk bisa memenangkan hati rakyat harus memahami budaya yang masih dipegang teguh oleh rakyat itu sendiri.

    Oleh: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum. (Guru Besar Universitas Diponegoro & Ketua Presidium ForGubi) & Ludhy Cahyana (Kandidat Doktor Sejarah Universitas Diponegoro)


    detik/nor

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Memahami Dinamika Pilpres dan Basis Budaya Kita "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com