• Berdiri di Atas Semangat Pengorbanan

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Kamis, 17 Agustus 2023
    A- A+



    KORANRIAU.co - Pada hari-hari memperingati kemerdekaan Indonesia ini, ada nuansa kebahagiaan di berbagai penjuru negeri. Sukacita itu hadir karena kita memiliki bangsa yang merdeka, hak untuk menentukan nasib sendiri ,dan kebebasan dari kewajiban memperkaya bangsa lain melalui pajak, seperti yang dikisahkan dalam kisah Saijah dan Adinda di novel Max Havelaar karya Multatuli. Dalam nuansa kebahagiaan ini, baik bagi kita untuk sedikit mengenang para pahlawan dengan mimpi-mimpi mereka mempersembahkan negara merdeka untuk generasi penerus bangsa, untuk kita (Anda dan saya).

    Ungkapan mempersembahkan kiranya tepat di sini. Mereka rela mati agar orang lain hidup. Mereka rela berkorban demi melihat generasi penerus aman sentausa. Menariknya, mereka siap untuk tidak menjadi bagian dari orang-orang yang menikmati indahnya hidup di negara merdeka. Apa yang mereka lakukan mengingatkan kita pada lagu Kasih Ibu yang di dalam salah satu bagiannya mengatakan, "Hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia."

    Persembahan kepada negara merdeka itu terangkum di dalam salah satu bagian dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Di sana dikatakan, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."

    Frase "mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia" mengingatkan kepada kita bahwa mereka sudah bersyukur bahwa bisa mengantarkan sampai di gerbang saja. Hal ini layaknya seorang ibu atau bapak mengantar anaknya ke gerbang sekolah. Ada yang hanya sampai di gerbang, ada banyak yang tidak sampai gerbang, tetapi ada pula yang boleh masuk sampai halaman sekolah.

    Demikianlah di antara para pahlawan ada yang tidak bisa sampai di gerbang kemerdekaan, ada yang gugur di bulan-bulan awal masa kemerdekaan, ada pula yang sempat menikmati Indonesia merdeka. Sebagian dari mereka yang sempat menikmati kemerdekaan ini ada yang dalam sudah dalam keadaan cacat, ada yang mengalami depresi, ada pula yang secara ekonomi selalu dalam situasi kekurangan karena negara tidak cukup mampu memperhatikan para veterannya. Singkatnya, di balik jiwa-jiwa yang gugur untuk memerdekakan negeri ini, terdapat semangat pengorbanan yang menjadi fondasi hidup kita sebagai bangsa di negara merdeka ini.

    Mengajari Bermimpi

    Kalau mengingat gerakan pemerdekaan bangsa ini, orang pasti ingat dengan apa yang dikenangkan setiap 20 Mei di negeri ini yaitu Hari Kebangkitan Nasional. Peristiwa berdirinya Boedi Oetomo di Surabaya 1908 menjadi tonggak penting karena pada waktu itulah terbentuk organisasi masyarakat pertama yang lalu disusul dengan organisasi-organisasi yang lain. Organisasi inilah yang mengajari bangsa ini untuk bermimpi. Salah satunya dengan memiliki nama sendiri untuk negerinya.

    Alih-alih menerima nama Hindia Belanda (Belanda yang ada di India atau bangsa di Indian yang merupakan bagian dari Belanda), mereka mengusulkan nama sendiri yaitu Indonesia. Alih-alih hanya menerima saja keputusan-keputusan dari pemimpin Belanda, mereka berani menyatakan perlawanan meski dengan risiko dibuang dan diasingkan. Salah satu orang yang menyatakan perlawanan itu adalah Tan Malaka. Ia dikejar-kejar oleh Belanda hingga harus melarikan diri dari kejaran Belanda selama 20 tahun dari 1922 sampai 1942. Di luar negeri, ia tidak pernah melupakan mimpi untuk memiliki bangsa yang merdeka. Ia katakan, "Tuan Rumah tidak akan pernah berunding dengan maling yang menjarah rumahnya," sebuah ungkapan yang menggugah naluri bermimpi bagi warga bangsanya.

    Tokoh lain adalah Soekarno yang berkali-kali diasingkan, dipenjara, dan diancam tetapi tetap saja kukuh dengan semangat untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan. Ia mengatakan, "Itulah konsep nasionalisme yang didirikan Indonesia. Bukan orang Jawa, bukan orang Sumatra, bukan orang Kalimantan, Sulawesi, Bali atau lainnya, tapi orang Indonesia yang bersama-sama menjadi fondasi satu kesatuan nasional." Ia dengan jelas menyatakan bahwa bangsa yang terdiri dari masyarakat yang tinggal di berbagai pulau ini tak lain dan tak bukan adalah saudara-saudari sebangsa setanah air.

    Tentu masih ada tokoh-tokoh lain yang bukan hanya tidak dikenal suara-suaranya, tetapi bahkan tidak diketahui namanya di batu nisan makam pahlawan. Kepada mereka, negeri ini berutang sebuah mimpi yaitu mimpi untuk mempersembahkan bangsa yang merdeka kepada generasi setelahnya. Mereka ini menghidupi ungkapan bijak yang mengatakan, daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah. Mereka memilih mengalami derita atau bahkan kematian daripada hidup dalam rasa malu.

    Bagi mereka, bangsa ini tidak layak dan tidak pernah boleh terus menerus hidup dalam penindasan. Kita bukan bangsa yang ditakdirkan untuk terus menerus menjadi sapi perahan, melainkan bangsa yang berwibawa, memiliki harkat dan martabat sejajar dengan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia. Bangsa Indonesia, itulah namanya.

    Simpul Warisan

    Menelusuri sejarah bangsa kita sebagai bangsa yang tidak egois, yang tidak mau kalau sampai melihat saudaranya dan generasi penerusnya mengalami penderitaan seperti mereka, kiranya kita bisa menarik sebuah simpul warisan. Simpul itu bernama semangat pengorbanan.

    Semangat itu sungguh masih ada di dalam bangsa ini hari ini. Charities Aid Foundation (CAF), sebuah lembaga internasional yang mengadakan pemeringkatan tingkat kerelawanan (kedermawanan) di seluruh dunia menempatkan Indonesia di peringkat satu selama lima tahun pertama pemberian anugerah World Giving Index sejak 2017. Bahkan pada 2020 sampai dengan 2022, saat pandemi Covid-19 menerjang seluruh dunia, Indonesia tetap menempati peringkat pertama.

    Apa artinya? Artinya, kita perlu bersyukur semangat pengorbanan itu masih hidup di sanubari putra-putri negeri ini. Sayangnya orang lebih suka melihat kekurangan bangsa negeri ini. Kekurangan pasti ada, tetapi rasanya kita tidak perlu melupakan semua kebaikan yang ada di negeri ini. Negeri ini dibangun di atas dasar semangat pengorbanan, hari ini masih terbukti tetap bisa berdiri di atas fondasi semangat yang sama dari putra-putri ibu pertiwi.

    Salah seorang veteran perang kemerdekaan yang kemudian dikenal sebagai sastrawan, arsitek, dan rohaniwan, YB Mangunwijaya mengatakan, "Tanah air ada di sana, di mana ada cinta dan kedekatan hati, di mana tidak ada manusia menginjak manusia lain." Sembari mensyukuri kemerdekaan negeri ini, saatnya kita merenung apakah kita adalah bagian dari orang-orang yang memiliki cinta dan kedekatan hati dengan sesama warga bangsa, saudara-saudari sebangsa setanah air.

    Yang namanya saudara, satu-satunya keinginan adalah untuk saling bersatu apapun halangannya. Inilah saatnya menghidupkan semangat pengorbanan demi persatuan bangsa kita. Mungkin itulah bentuk kepahlawanan yang bisa dihidupkan pada masa ini.

    Terdengar lirih suara di dalam hati, "Torang Samua Basudara! Awake dhewe kabeh sedurul! Kita semua bersaudara!"

    Dirgahayu negeriku yang ke-78. Terus Melaju Untuk Indonesia Maju.



    Oleh: Martinus Joko Lelono pastor Katolik, pengajar Matakuliah Pancasila di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 

    detik/nor

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Berdiri di Atas Semangat Pengorbanan "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com