• Ateis Arab dan Tantangan Muslim Moderat

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Senin, 24 Juli 2023
    A- A+


    KORANRIAU.co-Sosok ateis Arab bernama Salwan Monika menjadi sorotan masyarakat dunia, setelah aksinya membakar dan menodai al-Quran di luar masjid Stockholm Swedia. Salwan merupakan mantan anggota organisasi Islam garis keras di Irak yang bermigrasi dan mendapatkan suaka politik di Swedia.


    Aksi yang dilakukan Salwan pada saat masyarakat Muslim Swedia merayakan Idul Adha itu bermotif kritik dirinya pada agama yang dianggap tidak dapat menyelesaikan problematika kehidupan. Salwan Monika mendeklarasikan dirinya sebagai "mulhid" (tidak beragama) dan menjadi bagian kelompok ateis Arab yang menyebar di mana-mana.

    Sejak meletus revolusi Arab pada akhir tahun 2010 ditengarai keberadaan ateis Arab jumlahnya meningkat. Sejumlah orang orang Arab menyatakan skeptisisme mereka tentang agama, dan beberapa dari mereka bahkan mempublikasikan ateisme mereka di media sosial. Walaupun keberadaan mereka minoritas akan isu ateis Arab akhir-akhir ini berhasil mengalihkan perhatian dunia dari isu kelompok dan agama minoritas di Arab.


    Data statistik yang dilaporkan Dar Al Iftaa Mesir pada Desember 2014 menyebut terdapat 866 ateis di Mesir. Lebih mencengangkan lagi ialah laporan resmi lembaga bernama WIN / Gallup pada tahun 2012, yang telah mewanacarai lebih dari lima puluh ribu orang di 54 negara. Dari hasil survei, rata-orang orang Arab yang mengaku ateis dan skeptis terhadap agama meningkat menjadi 22 %, lebih tinggi dibandingkan penduduk Asia Barat Daya (17%) dan Amerika Latin (16) yang mengaku ateis.

    Menurut hasil survei ini, keberadaan kelompok ateis Arab paling sedikit di Arab Saudi (5%) sedangkan peningkatan drastis presentasi kelompok ateis terjadi di Lebanon (33%) dan Tunisia (22%). Fakta ini tentu saja mengagetkan semua pihak, tidak hanya bagi dunia Islam tetapi juga dunia Barat, karena penguatan kelompok ini berpotensi menjadi arus lain di balik arus benturan peradaban yang diteorikan Samuel Huntington.

    Clash of civilization

    Sebagai seorang ateis, Salwan Monika seharusnya tidak membenci agama, termasuk membenci Islam. Namun karena masa lalunya dan pengaruh lingkungan sebelum dia pindah ke Swedia menyebabkan ada semacam rasa dendam dalam dirinya.

    Disebut demikian sebab orang ateis di negara-negara sekuler umumnya memilih beragama atau tidak beragama adalah menjadi urusan masing-masing. Sedangkan ateis dari kalangan yang berpindah keyakinan atau berasal dari lingkungan yang kuat keyakinannya mereka cenderung lebih bersikap radikal.

    Aksi Salwan melakukan penodaan kitab suci Al-Qur'an yang dilakukan Salwan Monika sebagai ateis radikal di Swedia adalah bukti nyata, dan sepantasnya ditindak dan diberikan sanksi. Sekalipun banyak yang meragukan ketegasan pemerintah Swedia karena selama ini aksi-aksi serupa dibiarkan terjadi di negara itu.

    Tak dipungkiri bahwa Swedia termasuk negara demokratis yang sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Alasan itu pula yang menyebabkan tidak ada penindakan oleh pemerintah Swedia kepada oknum-oknum yang mengekspresikan kebebasan pendapat sekalipun mengusik keyakinan agama orang lain.

    Akibatnya tidak sedikit kelompok Islam yang memandang aksi-aksi penodaan agama seperti dilakukan Salwan Monika sebagai bagian dari isu islamophobia dunia Barat. Walaupun dalam pemberitaan telah disebutkan motif Salwan Monika adalah ekspresi personal dari dalam dirinya sebagai seorang ateis yang radikal.

    Dia mengritik terhadap agama yang anut sebelumnya, dimana menurutnya tidak memberikan penyelesaian masalah hidupnya. Sayangnya masalah ini terlanjur dianggap mewakili islamophobia sebagian orang-orang Swedia, walaupun tidak demikian realitasnya.

    Berkaca dari masalah semacam ini, penindakan dan pemberian sanksi kepada setiap pelaku penodaan agama adalah jembatan di tengah kerumitan yang timbul dari persinggungan peradaban yang berbeda. Pembiaran aksi yang oleh bangsa Timur dianggap penodaan, sekalipun tidak dianggap demikian oleh bangsa Barat, dikhawatirkan memicu terjadinya clash of civilization.

    Benturan peradaban sangat mungkin terjadi jika tidak ada sinergi lintas peradaban. Jembatan antar peradaban itu penting, seperti dikemukakan Robert W. Hefner, jika kita sama sama ingin menjauh dari apa yang diramalkan oleh Samuel Huntington.

    Pluralisme Berkeadilan

    Meningkatnya angka kelompok ateis Arab perlu disikapi serius, terutama oleh kalangan muslim moderat. Kesan menutup-nutupi keberadaan kelompok ateis Arab, karena anggapan Arab identik dengan Islam dan hanya ada kelompok minoritas selain penganut Islam di Arab justru akan menjadi ancaman ke depan.

    Masyarakat Arab pada umumnya bersikap deskrimatif kepada kelompok minoritas termasuk kelompok ateis. Kekerasan kepada kelompok minoritas juga disahkan dan dilegalkan oleh hukum agama maupun hukum negara dengan alasan untuk menghukum orang-orang yang pindah agama.

    Hal inilah yang menyebabkan sakit hati kelompok minoritas di kalangan bangsa Arab. Di negeri asalnya mereka merasa dibungkam, tidak ada jembatan untuk berdialog apalagi berkolaborasi, maka pelampiasannya ditumpahkan ketika mereka berada di negeri orang.

    Problem mendasar timbulnya kelompok ateis Arab adalah ketidakadilan tetapi dibungkus rapat dengan norma agama. Ada seorang perempuan ateis Arab yang berlatarbelakang Islam salafi dan sehari-harinya berprofesi sebagai dokter.

    Pengakuan dirinya berpindah ateis karena alasan dia mengalami kekerasan fisik dari mantan suaminya. Dia mencari pembelaan kepada keluarga dan guru agamanya, tapi semua justru membela tindakan yang dilakukan mantan suaminya serta menyalahkan dirinya.

    Perlakuan yang tidak adil dapat menyulut dendam. Oleh sebab itu dalam menyikapi munculnya gelombang ateisme Arab, hal utama yang harus ditegaskan adalah keadilan untuk semua. Para tokoh formal dan informal Islam harus berkomitmen merealisasikan keadilan dalam kehidupan masyarakat yang plural dan berperadaban.

    Terutama bagi kalangan muslim moderat, seyogyanya isu-isu pluralisme, inklusivisme, moderasi beragama, dan sebagainya tidak sekedar menjadi jargon semata. Akan tetapi direalisasikan secara nyata untuk menjawab kegelisahan dan keraguan orang-orang yang bermasalah dengan agama yang diyakininya. Wallahu a'lambis-shawab.

    Oleh:  M. Ishom El Saha, Ketua Rumah Moderasi Beragama (RMB) UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. detik/nor

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Ateis Arab dan Tantangan Muslim Moderat "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com