Foto: Sidang Prapid yang diajukan Esron Sipayung terhadap DLHK Riau.
KORANRIAU.co,PEKANBARU- Ahli Pidana Fakultas Hukum Universitas Riau Erdiansyah SH MH menegaskan, penyitaan yang dilakukan tanpa ada surat izin pengadilan adalah tidak sah secara hukum.
Pernyataan Erdiansyah ini disampaikannya saat memberikan keterangan sebagai ahli pada sidang para peradilan (Prapid) yang diajukan Esron Sipayung, terhadap Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau Cq Kepala Satuan Polisi Kehutanan (Polhut) DLHK Riau, Selasa (27/6/23) di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru.
Foto: Ahli Pidana Erdiansyah SH MH diambil sumpahnya sebelum memberikan keterangan.
"Secara prosedur penyitaan biasa harus dilakukan dengan menunjukkan surat izin penyitaan dari pengadilan negeri. Apabila surat izin dari pengadilan tidak ada, maka penyitaan yang dilakukan tidak sah dan cacat hukum,"kata Erdiansyah, dihadapan hakim tunggal Iwan Irawan SH.
Bahkan lanjutnya, apabila penyitaan yang dilakukan dalam keadaan mendesak pun, penyidik juga wajib meminta izin dari pengadilan. Walaupun izin diminta setelah dilakukan penyitaan terlebih dahulu.
Terhadap penyitaan barang bergerak yang tidak ada hubungannya dengan pidana lanjut Erdiansyah, maka penyidik wajib mengembalikan kepada pemiliknya. Apalagi, penyidik (termohon) tidak bisa membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh pemohon.
Kemudian soal alas hak sebagai bukti kepemilikan lahan menurut Erdiansyah, seharusnya dibuktikan melalui Keperdataan. Demikian juga terkait membuktikan SK kawasan hutan dari Menteri Kehutanan (Mnehut) harus melalui PTUN.
Saksi lainnya yang dihadirkan kuasa hukum pemohon yakni Effendi selaku operator alat berat ekskavator dan Nainggolan sebagai Sekretaris Kelompok Tani (Poktan) Ayu Mandiri.
Effendi menerangkan, pada tanggal 10 Mei 2023 tepatnya lebih kurang jam 14.30 WIB, dimana dia sedang mengoperasikan 1 unit alat berat excavator, milik Esron, yang berlokasi di Desa Muara Bungkal, Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Siak. Saat sedang bekerja melakukan pembersihan lahan milik Kelompok Tani Ayu Mandiri Muara Bungkal itu, tiba-tiba datang termohon sebanyak 8 orang.
"Mereka datang dan meminta saya untuk menghentikan pekerjaan. Saat itu mereka menunjukkan surat perintah tugas dan tidak ada menunjukkan surat izin penyitaan,"ungkapnya.
Selanjutnya, termohon membawa keluar ekskavator itu dari kawasan yang diklaim lahan konsesi PT Arara Abadi. Alat itu dibawa menggunakan Trado dan dibawa ke Kantor Satpolhut DLHK Riau Jalan Dahlia Pekanbaru.
Setibanya di kantor itu, Effendi kemudian dimintai keterangannya dan dibuat berita acara pemeriksaan (BAP). Kepada penyidik, dia menjelaskan tidak mengetahui siapa pemilik lahan.
Sementara Nainggolan menerangkan, jika lahan yang dikelola oleh Effendi itu adalah milik Poktan Ayu Mandiri. Lahan itu telah mereka kelola sejak tahun 2003 silam.
"Kami telah memiliki izin pelepasan lahan dari Menhut dan sudah ada SK Nomor 1077. Lahan itu juga tidak ada tumpang tindih dengan lahan perusahaan,"jelasnya.
Tidak hanya itu sebutnya, status lahan itu adala APL. Mereka juga telah mendapatkan izin dari PT Arara Abadi.
Gugatan Prapid ini diajukan oleh Erson melalui kuasa hukumnya Budi Harianto SH, Adeli Rahmad Fitri SH dan Armen SH, karena tidak terima alat beratnya disita oleh Satpol Kehutanan DLHK Riau. Pasalnya, saat penyitaan, petugas tidak ada menunjukkan izin dari pengadilan.
Tidak hanya itu, lahan yang dikelola oleh pemohon merupakan milik Pokta Ayu Mandiri. Bukan berada dalam Kawasan Hutan Produksi pada Areal Konsesi PT Arara Abadi.
"Karena itu, kami meminta kepada hakim untuk menerima permohonan pemohon seluruhnya. Menyatakan tidak sah tindakan Termohon melakukan penyidikan,"ungkap Budi.
Selain itu, meminta hakim untuk menyatakan tidak sah tindakan penyitaan yang dilakukan oleh Termohon. Memerintahkan Termohon untuk mengembalikan kepada Pemohon satu unit alat berat excavator Merek HITACHI. nor
KORANRIAU.co,PEKANBARU- Ahli Pidana Fakultas Hukum Universitas Riau Erdiansyah SH MH menegaskan, penyitaan yang dilakukan tanpa ada surat izin pengadilan adalah tidak sah secara hukum.
Pernyataan Erdiansyah ini disampaikannya saat memberikan keterangan sebagai ahli pada sidang para peradilan (Prapid) yang diajukan Esron Sipayung, terhadap Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau Cq Kepala Satuan Polisi Kehutanan (Polhut) DLHK Riau, Selasa (27/6/23) di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru.
Foto: Ahli Pidana Erdiansyah SH MH diambil sumpahnya sebelum memberikan keterangan.
"Secara prosedur penyitaan biasa harus dilakukan dengan menunjukkan surat izin penyitaan dari pengadilan negeri. Apabila surat izin dari pengadilan tidak ada, maka penyitaan yang dilakukan tidak sah dan cacat hukum,"kata Erdiansyah, dihadapan hakim tunggal Iwan Irawan SH.
Bahkan lanjutnya, apabila penyitaan yang dilakukan dalam keadaan mendesak pun, penyidik juga wajib meminta izin dari pengadilan. Walaupun izin diminta setelah dilakukan penyitaan terlebih dahulu.
Terhadap penyitaan barang bergerak yang tidak ada hubungannya dengan pidana lanjut Erdiansyah, maka penyidik wajib mengembalikan kepada pemiliknya. Apalagi, penyidik (termohon) tidak bisa membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh pemohon.
Kemudian soal alas hak sebagai bukti kepemilikan lahan menurut Erdiansyah, seharusnya dibuktikan melalui Keperdataan. Demikian juga terkait membuktikan SK kawasan hutan dari Menteri Kehutanan (Mnehut) harus melalui PTUN.
Saksi lainnya yang dihadirkan kuasa hukum pemohon yakni Effendi selaku operator alat berat ekskavator dan Nainggolan sebagai Sekretaris Kelompok Tani (Poktan) Ayu Mandiri.
Effendi menerangkan, pada tanggal 10 Mei 2023 tepatnya lebih kurang jam 14.30 WIB, dimana dia sedang mengoperasikan 1 unit alat berat excavator, milik Esron, yang berlokasi di Desa Muara Bungkal, Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Siak. Saat sedang bekerja melakukan pembersihan lahan milik Kelompok Tani Ayu Mandiri Muara Bungkal itu, tiba-tiba datang termohon sebanyak 8 orang.
"Mereka datang dan meminta saya untuk menghentikan pekerjaan. Saat itu mereka menunjukkan surat perintah tugas dan tidak ada menunjukkan surat izin penyitaan,"ungkapnya.
Selanjutnya, termohon membawa keluar ekskavator itu dari kawasan yang diklaim lahan konsesi PT Arara Abadi. Alat itu dibawa menggunakan Trado dan dibawa ke Kantor Satpolhut DLHK Riau Jalan Dahlia Pekanbaru.
Setibanya di kantor itu, Effendi kemudian dimintai keterangannya dan dibuat berita acara pemeriksaan (BAP). Kepada penyidik, dia menjelaskan tidak mengetahui siapa pemilik lahan.
Sementara Nainggolan menerangkan, jika lahan yang dikelola oleh Effendi itu adalah milik Poktan Ayu Mandiri. Lahan itu telah mereka kelola sejak tahun 2003 silam.
"Kami telah memiliki izin pelepasan lahan dari Menhut dan sudah ada SK Nomor 1077. Lahan itu juga tidak ada tumpang tindih dengan lahan perusahaan,"jelasnya.
Tidak hanya itu sebutnya, status lahan itu adala APL. Mereka juga telah mendapatkan izin dari PT Arara Abadi.
Gugatan Prapid ini diajukan oleh Erson melalui kuasa hukumnya Budi Harianto SH, Adeli Rahmad Fitri SH dan Armen SH, karena tidak terima alat beratnya disita oleh Satpol Kehutanan DLHK Riau. Pasalnya, saat penyitaan, petugas tidak ada menunjukkan izin dari pengadilan.
Tidak hanya itu, lahan yang dikelola oleh pemohon merupakan milik Pokta Ayu Mandiri. Bukan berada dalam Kawasan Hutan Produksi pada Areal Konsesi PT Arara Abadi.
"Karena itu, kami meminta kepada hakim untuk menerima permohonan pemohon seluruhnya. Menyatakan tidak sah tindakan Termohon melakukan penyidikan,"ungkap Budi.
Selain itu, meminta hakim untuk menyatakan tidak sah tindakan penyitaan yang dilakukan oleh Termohon. Memerintahkan Termohon untuk mengembalikan kepada Pemohon satu unit alat berat excavator Merek HITACHI. nor
No Comment to " Ahli Pidana Sebut Penyitaan Polhut DLHK Riau Tidak Sah "