KORANRIAU.co- Tumbuh kembangnya Muhammadiyah di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) tidak bisa dilepaskan dari sosok yang satu ini. Dia adalah Ibad Amin.
Ibad Amin kelahiran Desa Sangau, Kecamatan Kuantan Mudik sekitar tahun 1910. Ceritanya berawal, ketika Ibad Amin mendapat mandat dari Ahmad Rasyid Sutan Mansur untuk mempersiapkan pendirian ranting Muhammadiyah di Lubuk Jambi.
Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang lebih dikenal sapaan AR Sutan Mansyur merupakan konsul Muhammadiyah Minangkabau meliputi Tapanuli dan Riau pada 1931 hingga 1944. Ia diangkat jadi konsul berdasarkan keputusan Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau pada 14-26 Maret 1930.
Kongres melahirkan sebuah keputusan agar setiap Karesidenan memiliki wakil dari Hoofdbestuur Muhammadiyah yang disebut sebagai Konsul Muhammadiyah.
Kelak AR Sutan Mansyur nikah dengan Fatimah – Kakak Buya HAMKA dan menjadi Ketua PP Muhammadiyah (1953-1956 dan 1956-1959). Mantan Ketua PP Muhammadiyah ketujuh, Kiai Jusuf Anies menyebut AR Sutan Mansur sebagai ‘Bintang Muhammadiyah dari Barat’. Gelar ini diberikan karena kedalaman ilmu tasawuf yang dimiliki
Sebelum kedatangan Ibad Amin ke Lubuk Jambi, dua orang utusan dari Lubuk Jambi: Dasin Jamal dan Sulaiman Khatib menemui AR St. Mansyur di Padang Panjang. Mereka minta bantuan AR St. Mansyur mengirimkan utusan untuk mempersiapkan pendirian ranting Muhammadiyah di Lubuk Jambi.
AR Sutan kemudian menyanggupi dan berjanji segera mengirim Ibad Amin. “Putra daerah ” asal Lubuk Jambi yang waktu itu sedang bertugas mengajar di Kerinci, Sungai Penuh sebagai utusan Sumatra Thawalib Padangpanjang.
Pada awal September 1933, Ibad Amin datang dengan membawa mandat dari AR Sutan Mansyur ke Lubuk Jambi. Ia menjumpai Dasin Jamal dan Sulaiman Khatib yang sebelumnya sudah menjumpai AR Sutan Rasyid di Padangpanjang.
Kedatangan Ibad Amin mendapat sambutan hangat. Setelah selesai mengurus segala sesuatu yang menyangkut dengan perizinan kepada Pemerintah, Penghulu, dan Orang Godang, Ibad Amin mengadakan rapat persiapan. Rapat dilaksanakan di Surau Gadang, Pasar Lubuk Jambi.
Lalu pada 9 September 1933, terbentuklah kepengurusan Muhammadiyah Ranting Lubuk Jambi. Semua tokoh yang mengambil inisiatif dan jadi pengurus pertama Ranting Muhammadiyah adalah putra Lubuk Jambi sendiri.
Akhirnya Ibad Amin ditunjuk sebagai Penasehat dan Ketua, Mudasin (Wakil Ketua), Sulaiman Khatib (Sekretaris), Raja Ibrahim (Keuangan), Sa’ad Manan dan Arsyad (Pembantu). Kepengurusan ini langsung berhubungan dengan Pengurus Utama di Yogyakarta.
Ternyata dalam perjalanan setelah kepengurusan Muhammadiyah ini mendapatkan pertentangan. Kalangan ninik mamak dan kaum adat merasa dilangkahi.
Akibat kedatangan Muhammadiyah ninik mamak dan kaum adat merasa dilangkahi. Pengaruh mereka dalam kehidupan masyarakat Lubuk Jambi terutama sebagai pengatur tatanan kehidupan sosial masyarakat merasa berkurang.
Sebelumya Ninik mamak ini mempunyai kedudukan yang sentral dan kuat dalam masyarakat Lubuk Jambi. Kedudukan mereka yang kuat ini juga mempengaruhi kehidupan beragama masyarakat dan paham agama pun dipengaruhi oleh syirik dan takhayul.
Pertentangan yang tampak pada waktu itu adalah ketika ninik mamak dan kaum adat menentang Organisasi Muhammadiyah mendirikan mesjid di perkampungan. Mereka menilai Muhammadiyah mengubah kebiasaan lama masyarakat Lubuk Jambi.
Misal dalam pelaksanaan salat Jumat. Sebelumnya salat Jumat dilaksanakan di satu tempat, yaitu di Masjid Jamik Koto Lubuk Jambi. Atau di satu komando di bawah ninik mamak.
Tujuannya ini bertujuan agar ninik mamak dapat melakukan pembinaan terhadap masyarakat Lubuk Jambi. Namun seiring dengan pertambahan jumlah penduduk tidak memungkinkan jika pelaksanaan sholat Jumat diadakan di Masjid Jamik di Koto Lubuk Jambi.
Akhirnya ninik mamak dan kaum adat mau menerima dan memberikan “laluan” kepada Muhammadiyah untuk mendirikan mendirikan mesjid di desa-desa. Hal ini bertujuan untuk mempermudah masyarakat dalam pelaksanaan salat Jumat.
Dalam perjalanannya, Muhammadiyah ranting Lubuk Jambi kemudian mengalami berkembang. Pada masa kepemimpinan Hasan Arifin (1935- 1940) Muhammadiyah Ranting Lubuk Jambi menjadi tiga Ranting. Yaitu Ranting Kinali (1937), Ranting Sungai Pinang (1938), Ranting Pebaun dan Ranting Cengar (1938).
Dengan adanya ranting ini maka persyaratan bagi Muhammadiyah Lubuk Jambi untuk mendirikan cabang terpenuhi, sehingga terbentuklah Muhammadiyah Cabang Lubuk Jambi tahun 1938.
Berdirinya Cabang Muhammadiyah Lubuk Jambi ini maka meluaslah Muhammadiyah sampai ke Telukkuantan, Baserah, Cerenti, Peranap sampai ke Indragiri.
Setelah berdirinya Muhammadiyah Cabang Lubuk Jambi, Organisasi Muhammadiyah Cabang Lubuk Jambi mulai berkembang. Perkembangan dapat dilihat dari amal usaha yang telah dimiliki.
Muhammadiyah cepat berkembang dan diterima masyarakat Kuantan Singingi.
Selain tokoh tokoh Muhammadiyah, Ibad Amin juga seorang pejuang yang namanya kini dikenang masyarakat Kuantan Singingi. Bersama pejuang lainnya seperti Intan Hoesin, Radja Roesli, Ma’rifat Mardjani, Sarmin Abrus, Umar Usman, Hasan Basri, Umar Usman, Syafii Yatimi, Thoha Hanafi, Syaidina Ali, Abdul Raoef, Muhammad Noer Raoef, Amin Husin, Ibnu Abbas ikut mengusir penjajahan.
Ketika Riau masih tergabung dengan Provinsi Sumatera Tengah, Ibad Amin pernah menjadi asisten wedana atau camat di Kabupaten Indragiri. Ia camat pertama Kuantan Mudik (1956-1958), dan Camat Kuantan Hilir (1958).
Ibad Amin menikah dengan Marissa seorang bidan kampung. Dari pernikahannya itu dikaruniai delapan orang anak.
Ibad Amin menjalani pendidikan di Sumatra Thawalib Padang Panjang. Ia berguru langsung kepada Buya Karim Amarullah yang juga orang tua Haji Abdul Karim Amarullah (HAMKA) dan AR Sutan Mansyur yang juga istri dari Kakak Hamka, Fatimah.
Ketekunannya dalam belajar, usai menyelesaikan sekolah di Twalib Padang Panjang, Ibad Amin diutus menjadi guru di Kerinci, Sungai Penuh. Dan tugas mulia sebagai “cik gu” itu ditinggalkannya setelah mendapatkan kepercayaan dari konsul Muhammadiyah AR Syutan Mansur mengembangkan Muhammadiyah di kampung halamannya Lubuk Jambi pada 1933.
Sebagai ulama dan tokoh pejuang Muhammadiyah, Ibad Amin meninggal dunia sekitar Tahun 1959. Selamat jalan 'Sang Pelopor'.
Oleh: Reflizar (Jurnalis Senior di Kuantan Singingi).
Ibad Amin awalnya menikah dengan Siti Khadijah di koto lubukjambi dan memiliki anak bernama siti nurani.
BalasHapusKemudian menikah dengan Marissa di seberangpantai dan mempunyai anak sebanyak 8.orang.
Dari semua anak Ibad Amin kini yg masih hidup tinggal satu orang yaitu siti nurani, itulah ibunda tercinta saya🙏🏻