KORANRIAU.co-Pada Senin (13/2), hakim telah menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap Ferdy Sambo atas kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat.
Dalam vonis tersebut, Hakim menyatakan, "Terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, turut serta melakukan pembunuhan berencana." Atas dasar hal tersebutlah hakim menjatuhkan pidana mati dengan dasar hukum Pasal 340 KUHP Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP tentang pembunuhan berencana.
Pidana Tertua
Pidana Tertua
Pidana mati merupakan jenis sanksi pidana tertua sepanjang sejarah sekaligus merupakan sanksi pidana paling kontroversial di semua negara di dunia baik penganut sistem hukum anglo saxon ataupun civil law system.
Di Indonesia, pidana mati berlaku sejak 1 Januari 1918 yang diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda berdasarkan asas konkordansi. Pidana Mati ini kemudian dinasionalisasikan dengan dituangkannya dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP, yang digolongkan ke dalam jenis sanksi pidana pokok.
Pidana mati atau dalam Bahasa Belanda dikenal dengan doodstraf merupakan sebuah praktik yang dilakukan suatu negara untuk membunuh seseorang sebagai bentuk hukuman atas kejahatan yang telah dilakukan. Hal ini tentunya sejalan dengan tujuan pembalasan (vergelding-theorie) dalam perkara pidana sebagaimana dikatakan oleh Emmanuel Kant bahwa hukum adalah suatu pembalasan yang berdasar atas pepatah kuno "siapa membunuh harus dibunuh".
Bertentangan dengan HAM?
Sekilas pandang dalam aspek filosofis, pidana mati tampak bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM)sebagaimana dikemukakan oleh A.V. Decey bahwa negara hukum haruslah menjamin keberlangsungan HAM. Namun tidak menutup kemungkinan, sebagaimana disampaikan oleh Prof. Mohammad Ali, bahwa pidana mati bukanlah sebuah tindakan yang melanggar HAM, melainkan menjaga HAM setiap orang agar tidak dilanggar oleh orang lain dengan semena-mena. Dan, untuk mencapai hal tersebut, menjatuhkan vonis pidana mati yang menimbulkan efek jera adalah salah satu alternatif yang dapat digunakan.
Pernyataan tersebut secara yuridis juga sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan hak hidup yang dijamin dalam UUD 1945. Demikian juga Putusan MK Nomor 21/PUU-VI/2008 yang menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.
Ditinjau dari segi sosiologisnya, penjatuhan pidana mati juga merupakan bentuk social defence (pertahanan sosial). Tujuannya untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman kejahatan besar yang mungkin terjadi pada masyarakat yang dapat menimbulkan kesengsaraan dan mengganggu ketertiban serta keamanan masyarakat umum.
KUHP Lama vs KUHP Baru
Pelaksanaan pidana mati dalam KUHP lama terdapat dalam Pasal 11, yakni dilakukan oleh algojo ditempat penggantungan dengan menggunakan sebuah jerat di leher terpidana yang kemudian diikatkan pada tiang penggantungan dan diakhiri dengan menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.
Seiring berjalannya waktu, ketentuan pelaksanaan pidana mati dalam pasal tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 02/Pnps/1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati dalam lingkungan pengadilan umum dan militer, yang dilakukan dengan cara ditembak sampai mati. Dalam Undang-undang tersebut, disebutkan juga bahwa penentuan waktu dan tempat dilaksanakannya pidana mati ditentukan oleh hakim.
Berbeda dengan KUHP lama, dalam KUHP baru, pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir dalam penjatuhan sanksi pidana, sebagaimana termaktub dalam Pasal 98 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Dalam ketentuan undang-undang tersebut dinyatakan bahwa hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun. Dalam masa percobaan ini, apabila terdakwa berkeinginan untuk memperbaiki dirinya dan menunjukkan sikap yang terpuji, maka pidana mati yang telah ditetapkan dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.
Tidak Dapat Diberlakukan
Menilik dari adanya perbedaan ketentuan hukum yang lama yaitu UU Nomor 02/Pnps/1964 dengan ketentuan hukum yang baru yaitu UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, maka aturan manakah yang akan dipakai jika dikaitkan dengan vonis pidana mati Sambo?
Dalam hukum pidana dikenal asas non-retroaktif, yaitu asas yang melarang keberlakuan surut dari suatu undang-undang. Sederhananya apabila didapati sebuah perkara pidana yang terjadi pada suatu waktu, kemudian pada waktu yang dekat, muncul sebuah aturan baru yang mengatur perkara pidana tersebut, maka aturan tersebut tidak dapat diberlakukan pada perkara pidana yang terjadi lebih dahulu sebelum aturan tersebut ditetapkan.
Untuk itu, dalam hal ini, jika dikaitkan dengan vonis pidana mati Sambo, maka mekanisme pelaksanaan sanksi tersebut tetap menggunakan UU Nomor 02/Pnps/1964. Saat hakim menjatuhkan vonis pidana mati, UU Nomor 1 Tahun 2023 atau lebih dikenal dengan KUHP baru memang telah disahkan. Namun sesuai dengan ketentuan Pasal 624 UU tersebut, KUHP baru mulai berlaku setelah tiga tahun diundangkan, yang artinya akan berlaku pada 2 Januari 2026.
Sehingga, apabila aturan yang digunakan dalam pelaksanaan vonis tersebut adalah KUHP baru, maka secara tidak langsung akan menggugurkan penggunaan asas non-retroaktif dalam hukum pidana. Namun perlu digarisbawahi bahwa ketentuan ini berlaku apabila tidak ada upaya hukum yang diajukan lagi dan tidak selesai sebelum tahun 2026.
Oleh: Uli Rosari Siregar mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas
detik/nor
detik/nor
No Comment to " Vonis Sambo, Hukuman Mati, dan KUHP Baru "