• Ekstremisme dalam Sejarah Indonesia Modern

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Kamis, 09 Februari 2023
    A- A+




    KORANRIAU.co-Gagasan tentang Indonesia sebagai sebuah bangsa belum berusia satu abad. Sebelumnya memang telah bangun-jatuh beberapa kerajaan penting di nusantara, baik yang muncul di Jawa maupun yang di Sabrang (luar Jawa). Ada yang bercorak Hindu, Budha, atau kemudian bangkit pula kerajaan-kerajaan Islam sejak abad ke-13/14.


    Semua kerajaan ini berdiri sendiri dan merdeka, karenanya tidak dapat dikategorikan sebagai Indonesia sifatnya, sebab gagasan tentang Indonesia baru muncul pada periode akhir sistem kolonial. Dengan kata lain, akan sulit kita membayangkan sebuah Indonesia tanpa didahului oleh penjajahan. Dari perspektif ini, dapat kita katakan bahwa periode penjajahan itu merupakan faktor penentu bagi kelahiran Indonesia.


    Jika kita tidak mau menelusuri terlalu jauh ke belakang, kita ambil saja misalnya periode pergerakan nasional sebagai embrio kelahiran Indonesia sebagai bangsa --dan kemudian sejak 1945 sebagai negara-- yang dimulai sejak permulaan abad ke-20.


    Puncaknya ialah dicetuskannya Sumpah Pemuda 1928 yang terkenal itu, sebuah sumpah yang dimotori oleh kaum intelektual hasil didikan Barat, bukan oleh para kiai atau tokoh lokal yang secara sporadis memang telah memimpin berbagai perlawanan terhadap sistem penjajahan sebelumnya.

     
    Dengan kata lain, akan sulit kita membayangkan sebuah Indonesia tanpa didahului oleh penjajahan.

     
    Perlawanan lokal ini sepanjang bacaan saya tidak satu pun yang menjurus kepada pembentukan sebuah Indonesia, baik itu yang dilancarkan oleh Padri, Diponegoro, atau perlawanan Aceh sekalipun pada abad ke-19.


    Oleh sebab itu, bila kita kemudian berbicara tentang persatuan, kesatuan, dan integrasi nasional, semuanya itu adalah sebuah on-going process (proses yang masih berlangsung), sama sekali belum final.


    Maka, adalah kecerobohan historis jika orang mengatakan bahwa dengan Sumpah Pemuda dan Proklamasi 17 Agustus 1945, bangunan keindonesian sebagai sebuah negara-bangsa sudah merupakan sesuatu yang mapan dan solid, tidak perlu dirawat lagi.


    Tetapi, gesekan-gesekan yang terjadi di Aceh, Papua, Maluku, Riau, dan di bagian-bagian lain nusantara adalah bukti konkret bahwa konsep tentang keindonesiaan itu perlu dimantapkan terus-menerus, jangan sampai lengah.


    Gerakan-gerakan ekstrem yang menggugat Indonesia haruslah ditanggapi secara bijak, karena memang proses integrasi nasional jauh dari selesai, seperti yang baru saja disinggung. Kesalahan dalam membaca fenomena ini dapat berakibat fatal dan berdarah-darah, sebagaimana yang kita alami sekian lama.


    Gerakan-gerakan ekstrem yang menggugat Indonesia haruslah ditanggapi secara bijak.

     
    Bentuk ekstrem lain yang lebih dipicu oleh ideologi politik kekuasaan terlihat pada gerakan DI/TII sebagai kekuatan sayap kanan dalam sejarah komtemporer Indonesia. Adapun ekstremisme kiri tampak pada berbagai pemberontakan yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun-tahun 1926/27, 1948, dan 1965/66.


    Semua gerakan ini tidak menggugat Indonesia sebagai sebuah bangsa, tetapi ingin memberi corak ideologis tertentu kepada Indonesia merdeka. Namun, semuanya berakhir dengan kegagalan.


    Dari segi ideologis, sesungguhnya tidak ada lagi yang harus dirisaukan karena mayoritas mutlak rakyat Indonesia telah menerima Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Adapun masih saja muncul kelompok-kelompok sempalan yang menggugat Pancasila dan ingin menggantinya dengan yang lain, umurnya tidak akan panjang, karena semakin tipis dan melemahnya dukungan rakyat terhadapnya.


    Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka musuh Indonesia di masa depan bukanlah ekstremisme, dari manapun asalnya, tetapi kegagalan negara mencapai tujuan Indonesia merdeka dan berdaulat berupa: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagai sila kunci dari Pancasila.

     
    Sudah lebih 60 tahun kita merdeka, tetapi mengapa kabut kebingungan masih saja melingkari kita?


    Bagi saya, persoalan yang satu ini menjadi sangat serius, karena negara yang gagal mencapai tujuannya lambat atau cepat dapat mengalami kelumpuhan, jika bukan keruntuhan, karena proses pembusukan dari dalam tidak kuasa dibendung oleh kekuatan-kekuatan formal yang masih saja main-main dengan negeri ini.


    Sudah lebih 60 tahun kita merdeka, tetapi mengapa kabut kebingungan masih saja melingkari kita? Apakah kita belum layak untuk merdeka atau Indonesia memang terlalu besar untuk dapat diurus sebagai sebuah negara?


    Pertanyaan semacam ini pasti akan terus bermunculan, jika tidak ada terobosan-terobosan strategis untuk memperbaiki keadaan yang semakin memburuk dari waktu ke waktu.


    Akhirnya formula yang hendak diajukan oleh Resonansi ini adalah: "Semakin dekat kita kepada bangunan Indonesia yang berkeadilan, semakin sempit ruang gerak bagi kekuatan-kekuatan ekstrem yang selalu mengacau keadaan, dan begitu pula sebaliknya."


    Buya Ahmad Syafii Maarif (1935–2022) adalah Ketua umum PP Muhammadiyah pada periode 1998-2005.

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Ekstremisme dalam Sejarah Indonesia Modern "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com