• Latihan, Latihan...Latihan Terus, Menangnye Kagak!

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Selasa, 17 Januari 2023
    A- A+

     




    KORANRIAU.co- Alkisah suatu hari keluarga Sabeni melakukan kaul atau nazar atas keberhasilan sang anak, Kasdoelah atau Si Doel, mendapat gelar 'tukang insinyur'. Sabeni sebagai kepala keluarga membawa serta istri, mertua, anak, dan adik ipar melancong ke beberapa tempat yang merupakan tempat para leluhur.


    Lapangan di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) jadi salah satu tempat tujuan ziarah. Luar Biasa!


    Ujug-ujug keluarga Betawi itu lantas masuk ke kotak penalti! Padahal ada sekumpulan orang sedang bermain bola di sana. Seketika gol tercipta. Sejurus itu pula seorang sosok pelatih mengusir keluarga tersebut tanpa menghiraukan niat mulia mengucap syukur atas keberhasilan sang anak makan bangku kuliah.


    Perdebatan singkat sempat terjadi antara sang pelatih yang menjelaskan anak asuhnya sedang berlatih dan keluarga Sabeni yang tengah bernostalgia. Dengan berat hati Sabeni dan keluarganya lantas angkat tikar, cabut dari lapangan.


    Sebelum keluarga Sabeni benar-benar ke luar lapangan, sang pelatih kembali menegaskan, "Kita sedang latihan pak."


    Mendengar penjelasan berulang dari sosok tersebut. Sabeni kontan melontarkan jawaban yang hingga kini kiranya masih cukup terngiang di benak anak-anak 90-an.


    "Latihan, latihan. Latihan mulu, menangnye kagak!"


    Kaul keluarga Sabeni bubar jalan.


    Itulah sebuah adegan ikonis dalam sebuah sinetron berjudul Si Doel Anak Sekolahan yang tayang pada tahun 1990-an.


    Sebenarnya tak jelas untuk siapa ocehan Sabeni itu ditujukan. Apakah ke tim yang sedang bermain, atau ke sebuah klub, atau ke Timnas Indonesia?


    Kalimat ajaib itu konon menurut sang sutradara sekaligus aktor Si Doel, Rano Karno, merupakan kreativitas dan improvisasi Benyamin Sueb alias tidak ada di dalam skrip .


    Dalam sebuah perbincangan singkat beberapa tahun lalu, Rano pun tak tahu kepada siapa kata-kata tersebut ditujukan. Rano hanya menjelaskan Benyamin sang pemeran Babe Sabeni adalah penggemar sepak bola dan juga fans Timnas Indonesia.


    Yang jelas puluhan berlalu, kalimat dari Babe kembali terngiang di kepala tiap kali Timnas Indonesia kalah.


    Seperti ketika pupus harapan Timnas Indonesia di Piala AFF 2022 usai dikalahkan Vietnam.


    Bosan sudah kita mendengar kekalahan Timnas Indonesia di berbagai ajang. Tidak ada koleksi gelar juara yang bisa dibanggakan. Tak pernah ada senyum juara angkat piala dan pamer medali emas. Paling banter medali perak dan senyum yang kurang maksimal, terkesan dipaksakan.


    Kegagalan dalam sebuah ajang sepak bola sudah hampir jadi keniscayaan bagi Indonesia. Mantan striker Inggris Gary Lineker pernah bilang kalau sepak bola adalah permainan sederhana, ada 22 orang mengejar bola dan pada akhirnya Jerman selalu menang.


    Jika Lineker tahu sepak bola Indonesia, maka bisa jadi petikan akan berubah menjadi: "Sepak bola adalah permainan simpel, ada 22 orang mengejar bola dan pada akhirnya Indonesia selalu gagal jadi juara."


    Menuju Piala AFF 2022, Timnas Indonesia sudah berlatih. Fachruddin Wahyudi Aryanto dan kawan-kawan sudah menjalani pemusatan latihan sejak November.


    Sudah berlatih bersama selama sekitar satu bulan, tetapi dalam laga melawan Vietnam seolah tidak ada bekas bahwa mereka sudah berlatih oper-operan, kerja sama satu dua, memaksimalkan bola mati, dan lain sebagainya.


    Pelatih yang mengarahkan skuad Merah Putih juga bukan sosok kaleng-kaleng. Shin Tae Yong punya nama besar. Pernah melatih Korea Selatan dan tak tanggung-tanggung bisa mengalahkan Jerman di Piala Dunia 2018.


    Perkara pemain juga tidak main-main. Selain pemain lokal dengan 'spek' seperti yang diinginkan Shin, terdapat pula sederet aset-aset negara yang bermain di luar negeri. Bahkan pemain naturalisasi pun sudah ada dalam daftar susunan starter Timnas Indonesia.


    Apa yang salah dengan sepak bola Indonesia? Pelatih sudah kelas dunia, pemain juga setidaknya demikian.


    Setelah kegagalan demi kegagalan yang dialami Timnas Indonesia, sebenarnya hal ini sudah banyak dibahas di mana-mana. Hanya saja PSSI sebagai induk organisasi olahraga terkesan tidak tanggap.


    Pembibitan, kompetisi, infrastruktur, dan kepelatihan jauh tampak jauh dari tangan PSSI.


    Dengan sumber daya manusia, seharusnya mudah mencari 11 orang terbaik. Ya, seharusnya gampang jika kurikulum dan pendidikan sepak bola Indonesia terstandarisasi dengan rapi.


    Model pembibitan di Indonesia, kebanyakan dilakukan oleh pihak SSB sementara PSSI hanya ikut dalam materi kurikulum. Masalah penyeragaman kurikulum baru mulai hangat dibicarakan beberapa tahun lalu di saat Luis Milla jadi pelatih Timnas Indonesia.


    Selain dari kurikulum, PSSI kini tak punya wadah kompetisi junior. Beruntung ada pihak swasta yang punya andil macam Liga TopSkor atau Liga Kompas sehingga ada sarana bagi bakat-bakat muda menyalurkan kemampuan dan kelak jadi wadah pencarian pemain-pemain untuk level U-16.


    Untuk kompetisi di usia atasnya, semisal U-18, ada program Elite Pro Academy yang pada beberapa musim lalu sudah mulai menghasilkan pemain-pemain junior laik tampil meski masih banyak butuh polesan. Hanya saja kelanjutan EPA musim ini dalam tanda tanya.


    EPA, Liga 3, dan Liga 2 masih belum jelas. Masalah mendadak muncul setelah Tragedi Kanjuruhan. Tragedi yang menelan korban ratusan jiwa itu juga menjadi cermin buruk PSSI.


    Kembali jadi pengingat bahwa mengurus sepak bola tak cuma sekedar yang terlihat di puncak gunung es, seperti kompetisi kasta teratas atau Timnasnya saja. Ada aspek-aspek di level bawah yang juga wajib jadi perhatian PSSI.


    Melihat kinerja dalam tahun-tahun yang lampau, PSSI sibuk menjadikan sepak bola sebagai hiburan semata dengan mengabaikan sisi olahraganya itu sendiri.


    Belum lagi jika terjadi pergantian ketua umum, maka hampir pasti akan ada perubahan. Bahkan perubahan bisa mencakup ke pelatih Timnas.


    Dengan kondisi demikian bakal betul pula ucapan anonim yang menyebut, "Siapapun pelatihnya Indonesia tidak akan juara" karena tidak ada konsep dalam pembangunan sepak bola.


    Setelah dualisme PSSI, sanksi FIFA untuk PSSI, bahkan Tragedi Kanjuruhan ada saja yang berharap Indonesia bisa meraih juara seperti layaknya Italia yang sukses di Piala Dunia 2006 kala tersandung kasus Calciopoli.


    Benar-benar mimpi di siang bolong membandingkan Indonesia dan Italia tanpa memperhatikan fondasi sepak bola Negeri Piza yang sudah dibangun sejak jauh-jauh hari.


    Tak kalah menyedihkan bagaimana orang-orang yang menjadikan PSSI sebagai tempat mencari popularitas demi jabatan lain.


    Sebut lagi sederet masalah dalam sepak bola Indonesia, mafia wasit, sampai dokter palsu bisa ditemukan di sini. Ajaib betul memang.


    Kita tunggu saja dalam waktu tak lama lagi akan ada Kongres dan Kongres Luar Biasa PSSI. Apa yang akan terjadi? Sebuah perubahan radikal atau sekadar ganti pelatih Timnas?


    Jika ucapan almarhum Bang Ben soal Si Doel alias Rano Karno yang menjadi gubernur benar menjadi kenyataan pada beberapa waktu lalu ketika aktor kawakan itu menjadi orang nomor satu di Banten, tentu kita atau minimal saya berharap kata-kata Bang Ben soal 'latihan mulu menangnye kagak' tidak benar-benar kejadian di Timnas Indonesia.


    Oleh: Nova Arifianto/cnnindonesia


    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Latihan, Latihan...Latihan Terus, Menangnye Kagak! "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com