• Dari Islam Demokrasi ke Demokrasi Islam

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Selasa, 31 Januari 2023
    A- A+



    KORANRIAU.co-Sebagaimana ditulis oleh Asef Bayat, seorang pengamat partisipan revolusi Islam Iran, kalangan sarjana Barat berpandangan bahwa Islam adalah akar dari pemerintahan otoriter dalam masyarakat Muslim. Atas dasar pandangan itulah mereka mendukung sekularisme di dunia Islam, walaupun sekularisme itu ditegakkan oleh pemerintahan otoriter.


    Akibatnya, di dunia Islam timbul perlawanan yang menggunakan cara kekerasan yang disebut sebagai terorisme. Padahal, terorisme itu oleh pelakunya dianggap sebagai satu-satunya jalan melawan rezim sekularisme yang otoriter.


    Di Tunisia yang diperintah oleh rezim sekularisme yang otoriter, seorang ulama cendekiawan Muslim moderat yang mengusung paham demokrasi, Syekh Ershad Ghannoushi, mendirikan partai Ennahda pada 1986. Tetapi, partai itu dilarang oleh rezim militer Ben Ali sehingga setelah dipenjarakan, Ghannoushi harus hidup di pengasingan di Inggris selama lebih dari 20 tahun.


    Ibarat Imam Khomeini, Ghannoushi kembali ke Tunisia sebagai tokoh intelektual dan spiritual yang mengawali gerakan Arab Spring dari Tunisia dengan menggulingkan rezim sosialisme Arab yang sekuler dan otoriter. Reputasi dari rezim sekularisme otoriter itu sendiri adalah korupsi di tingkat pemerintahan dan kemiskinan di tingkat masyarakat yang menjadi alasan utama gerakan penggulingan kekuasaan.


     Terorisme itu oleh pelakunya dianggap sebagai satu-satunya jalan melawan rezim sekularisme yang otoriter.

     
    Bayaf dari Iran yang juga tinggal di Mesir yang mengamati gerakan Ikhwanul Muslimin juga menulis bahwa oleh kalangan Barat, Islam dianggap sebagai akar pemerintahan otoriter karena Islam berpaham kedaulatan Tuhan yang merampas kedaulatan rakyat. Dengan paham itu, masyarakat Muslim asing dengan kebebasan, kewarganegaraan, keterbukaan, kreativitas, dan demokrasi.


    Karena itu, agar bisa membebaskan diri dari paham sekularisme yang otoriter, Ghanoushi mengusung paham demokrasi Islam dalam wacana publik. Hal yang sama diusung juga oleh Ikhwanul Muslimin di Mesir yang ingin membebaskan diri dari rezim sosialisme Arab yang sekuler dan otoriter itu.


    Kalangan Barat berpendapat bahwa sekularisme adalah syarat (necessary condition) bagi demokrasi. Dengan sekularisme itu, doktrin kedaulatan Tuhan dapat dibendung untuk mengolonialisme ruang publik. Sedangkan, gerakan sekularisasi adalah pintu pembuka ke arah demokratisasi di dunia Islam.


    Mesir dan Tunisia


    Namun, kenyataannya sekularisme di Timur Tengah dan Afrika Utara justru harus ditegakkan melalui rezim otoriter. Hal itu terjadi terlebih dulu di Turki melalui revolusi Kemal Ataturk 1924. Sekularisme itu di Turki justru telah memberangus kebebasan beragama, dengan etatisme, suatu paham serbanegara.


    Jika sekularisme berpendapat bahwa Islam yang masuk ke ruang publik telah membendung kebebasan, sekularisme keras Turki yang menganut sekularisme Prancis itu justru memberangus kebebasan, khususnya dalam beragama dan demokrasi dengan paham etatismenya.

     
    Sekularisme keras Turki yang menganut sekularisme Prancis itu justru memberangus kebebasan.

     
    Jika dalam sekularisme, agama sebagai masalah privat dibentuk untuk masuk ke ruang, di Turki, negara justru mengolonisasi agama yang dianggap sebagai ruang privat itu. Gejala kontradiktif itu juga terjadi di dunia Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk Tunisia sejak diperintah oleh Habib Bourguiba yang mengacak-acak agama Islam.


    Gerakan demokratisasi di Tunisia itu diikuti di Mesir. Jika di Tunisia, Ennahda memenangkan pemilihan umum, maka demikian pula Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tetapi, dalam perkembangannya, jika di Tunisia Islamisme yang moderat berhasil mencapai konsensus dalam perumusan konstitusi baru, tetapi di Tunisia konsensus itu terjadi karena kompromi dalam persetujuan koeksistensi antara sekularisme moderat dan Islam yang demokratis yang disebut pasca-Islamisme itu.


    Perbedaan antara Ikhwanul Muslimin dan Ennahda, walaupun Ennahda adalah versi Ikhwanul Muslimin di Tunisia, yang pertama menganut haluan "Islam demokratis", sedangkan di Tunisia melalui konseptualisasi Ghannoushi, Islamisme telah berkembang dari "Islam demokrasi" menjadi "demokrasi Islam."


    Jika yang pertama masih berpendapat bahwa "syura itu bukan demokrasi", maka yang kedua berpandangan bahwa "syura itu adalah demokrasi Islam". Tentu saja syura itu ada perbedaannya dengan demokrasi liberal.

     
    Dalam tahap pasca-Islamisme, demokrasi juga tujuan dalam aksiologi.


    Jika demokrasi liberal dalam pengertian free fight liberalism yang bersifat prosedural melalui pemilihan umum, maka syura adalah "demokrasi deliberatif" dalam teori Jurgen Habermas yang diterjemahkan oleh Frans Budi Hardiman sebagai "demokrasi musyawarah". Konsensus yang terjadi di Tunisia adalah hasil dari demokrasi musyawarah.


    Tetapi, di Mesir Ikhwanul Muslimin baru memasuki tahap "Islam demokrasi" yang menganggap demokrasi sebagai instrumen menuju kekuasaan. Dalam tahap pasca-Islamisme, demokrasi juga tujuan dalam aksiologi.


    Konsensus yang disebut oleh Ghanoushi sebagai kompromi dalam koeksistensi antara sekularisme dan Islam sebagai doktrin komprehensif dapat dijelaskan lewat teori Liberalisme Politik John Rawls sebagai "konsensus tumpang tindih" atau "persetujuan kedua belah pihak" antara doktrin-doktrin komprehensif. Dalam hal ini, persetujuan mengenai pengertian sekularisme.


    Di satu pihak, sekularisme dipahami sebagai diferensiasi antara agama dan negara. Keduanya tidak bisa diintegrasikan karena akan melahirkan pemerintahan yang otoriter. Sebaliknya, sekularisasi juga dipahami sebagai asas kebebasan, terutama kebebasan beragama.


    Dalam konsensus itu, maka orde sekularisme telah digantikan dengan orde "pascasekularisme", yaitu suatu orde yang mengandung komunikasi, dialog, atau musyawarah terus-menerus antardoktrin komprehensif.


    Demokrasi Islam


    Konsensus tumpang tindih itu dalam teori Liberalisme Politik terjadi dalam prinsip keadilan, sebagaimana pandangan filsuf Yunani kuno, Plato. Konsensus seperti itu sebenarnya telah terjadi dalam proses demokrasi musyawarah di Indonesia menjelang kemerdekaan 17 Agustus 1945.

     

    Dengan demikian, sekularisme tidak membendung doktrin komprehensif Islam untuk masuk ke dalam ruang publik.

     

    Berbeda dengan teori Raws, konsensus itu terjadi pada Pancasila, walaupun Pancasila itu masih mengalami proses diskursif untuk mencapai sebuah paradigma. Dalam Pancasila yang ditetapkan sebagai ideologi negara pada 5 Juli 1959, Indonesia pada dasarnya masih merupakan negara sekuler, tetapi syariat Islam sebagai doktrin komprehensif masih bisa diperjuangkan secara demokratis.


    Dengan demikian, sekularisme tidak membendung doktrin komprehensif Islam untuk masuk ke dalam ruang publik, seperti dianjurkan oleh Sukarno sebagai penggali Pancasila.


    Demokrasi Islam sebenarnya terkandung dalam Pancasila. Tetapi, Pancasila itu sendiri sebagai ideologi negara bukanlah suatu doktrin komprehensif, melainkan sebagai prinsip tata kelola kemasyarakatan dan kenegaraan yang lestari dan berkelanjutan. Titik temunya terjadi pada setiap sila.


    Masalahnya bagi kaum cendekiawan Muslim, bagaimana menyusun suatu teori mengenai demokrasi Islam secara ilmiah dan berdasarkan nalar moral dan nalar publik. Teori itu harus didasarkan pada wahyu yang terkandung dalam Alquran dan sunah Rasul, tetapi melalui pembahasan nalar moral dan nalar publik.

     

    Tidak ada pertentangan antara doktrin kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat.

     
    Dalam Alquran surah asy-Syura [42]: 38, misalnya, dibedakan antara kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat. Kedaulatan Tuhan dilaksanakan berkaitan dengan urusan ibadah, seperti shalat dan zakat, sedangkan musyawarah dilakukan untuk memecahkan masalah kemasyarakatan.


    Demikian pula dalam QS Ali Imran [3]: 159, musyawarah adalah perilaku lemah lembut dan damai nirkekerasan karena rahmat Allah agar masyarakat tidak menjauh dari ajaran agama. Dengan kata lain, Islam tidak mengajarkan perilaku kasar dengan menggunakan kekerasan.


    Dalam QS an-Nahl [16]: 125 juga dikatakan bahwa hendaknya kita membawa masyarakat ke jalan Tuhan dengan ilmu pengetahuan dan dalam diskusi dengan cara yang baik. Karena itu, maka dalam hadis, Nabi SAW dikabarkan sebagai orang yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya.


    Dalam demokrasi Islam, Islam itu inheren dengan demokrasi. Tidak ada pertentangan antara doktrin kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat yang melekat pada diri manusia sebagai khalifah selaku mandataris Tuhan di bumi yang mengemban amanah untuk tidak melakukan kerusakan.


    Oleh : DAWAM RAHARDJO/Republika

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Dari Islam Demokrasi ke Demokrasi Islam "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com