permintaan tiket kapal ferry mulai membaik, namun solar subsidi mengalami keterbatasan |
KORANRIAU.co, DUMAI - Jika dihitung secara matematis, harga tiket Motor Vessel (MV) atau kapal ferry terancam naik 100 persen. Pasalnya jatah minyak subsidi untuk transportasi umum khusus di daerah pesisir Provinsi Riau dan Kepri tersebut dikurangi.
Padahal, pada tahun ini, dengan kondisi Covid yang mulai membaik membuat para pengusaha kapal ferry menaruh harapan besar. Khususnya dampak positif setelah secara nasional masyarakat sudah dinyatakan herd immunity atau kekebalan massal pasca suksesnya vaksinasi.
Kerugian dari usaha yang lesu saat pandemi kemarin diharapkan bisa kembali memulih. Apalagi sejalan dengan harapan itu, jumlah permintaan tiket oleh penumpang mulai semakin meningkat, menyusul membaiknya situasi Covid.
Namun sebaliknya, dengan pengurangan kuota Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis Solar membuat pengusaha jasa transportasi umum jenis kapal ferry menjerit. Khususnya yang home base di Kota Dumai, Riau.
Seperti yang diakui pemilik SPBB Sinar Riau Petrolindo, Rachmad Harahap. Ia sudah dikirimkan surat keberatan dari dua perusahaan pelayaran nasional yang mengeluhkan kuota Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar yang terbatas. Karena tidak mencukupi kebutuhan operasional kapal ferry dari Dumai tujuan Batam.
Rachmad menceritakan bahwa sebelum terjadi pandemi Covid-19 kuota Solarnya mencapai 400 Kilo Liter (KL) per bulan. Namun pada Tahun 2022 ini, dikurangi menjadi 140 KL per bulan.
"Memang pada tahun lalu, saat dilakukan pembatasan aktivitas masyarakat, serapan Solar oleh kapal ferry menurun akibat turunnya permintaan tiket kapal oleh masyarakat. Hal itu juga yang menjadi acuan pihak Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) untuk mengurangi kuota Solar subsidi kami. Namun, kini permintaan tiket kapal oleh masyarakat kembali naik. Sehingga kapal ferry terancam tidak bisa jalan nantinya secara maksimal," ungkapnya, Senin (28/3/2022) lalu.
Seharusnya, menurut Rachmad kuota Solar bisa dikembalikan menjadi 400 KL setiap bulannya. Dengan begitu bisa memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat di wilayah pesisir tersebut.
Jumlah kapal ferry yang harus disuplai Solar subsidi oleh PT Sinar Riau Petrolindo yakni empat unit. Dengan kebutuhan setiap kapal sebesar 5 KL per hari. Tentunya jika dihitung secara matematis, maka hanya bisa memenuhi kebutuhan satu unit kapal ferry saja.
Sebaliknya, jika harus mengoperasikan seluruh kapal ferry, maka mau tak mau harus diisi Solar non subsidi yang harganya jauh lebih mahal yakni dua kali lipat lebih dari harga Solar subsidi. Menurutnya, hal itu akan berdampak terhadap masyarakat pengguna jasa transportasi umum laut tersebut.
"Harga Solar subsidi hanya Rp5.150 per liter dan Solar non subsidi atau industri mencapai Rp13.550 per liter. Dengan harga tiket dari Dumai ke Batam saat ini sebesar Rp450.000, maka dengan kondisi kuota Solar dikurangi saat ini, maka harga tiket nantinya bisa saja menjadi Rp1 juta lebih. Tentunya akan memberatkan masyarakat luas. Masa tiket ferry bisa lebih mahal dari tiket pesawat dengan jarak yang relatif lebih dekat," terangnya.
Dua perusahaan pelayaran kapal yang sudah menyurati Sinar Riau Petrolindo diantaranya Pelnas Lestari Indomabahari yang memiliki MV Dumai Ekspress dan MV Dumai Line dan Pelnas Batam Bahari Sejahtera yang memiliki MV Batam Jet. Dimana keduanya menegaskan bahwa kebutuhan kapal ferry mereka setiap harinya membutuhkan asupan Solar sebesar 5 KL atau 150 KL dalam setiap bulan.
Jumlah tersebut belum termasuk hari besar. Karena saat itu, otomatis meningkatnya jumlah armada yang beroperasi sejalan dengan meningkatnya jumlah penumpang.
Sementara, dengan terjadinya pengurangan kuota Solar subsidi yang penyalurannya melalui Sinar Riau Petrolindo, maka mereka tidak bisa beroperasi dan masyarakat juga tidak bisa melakukan aktivitas perjalanan seperti biasanya.
Rachmad mengaku pemotongan kuota Solar tersebut menjadi kebijakan dari BPH Migas. Namun, secara berjenjang pihak Sinar Riau Petrolindo juga sudah menyurati persoalan tersebut kepada pihak Pertamina. Sehingga kuota Solar nya bisa kembali normal sebanyak sebelum pandemi Covid.
Pihak Pertamina Patra Niaga Sales Area Riau saat dikonfirmasi, mengatakan penyaluran biosolar untuk lembaga penyalur sesuai dengan kuota yang sudah ditetapkan per lembaga penyalur oleh BPH Migas sesuai dengan SK.
"Jika SPBB mau diusulkan tambahan kuota ke BPH Migas, dari pemda bersurat ke BPH migas saja," ungkap Sales Area Manager, Wira Pratama.
Pemerintah Peduli Pesisir, Hanya Tagline Belaka
Kebijakan pemerintah terhadap kebutuhan minyak subsidi masyarakat daerah pesisir tersebut, khususnya di Wilayah Provinsi Riau menimbulkan reaksi keras dari pengamat kebijakan publik, Dr Morris Adidi Yogia S Sos MSi. Menurutnya pemerintah tidak memiliki sense krisis.
"Padahal, dengan pengurangan kuota Solar subsidi bagi sarana transportasi umum tersebut berdampak langsung kepada masyarakat. Pemerintah seolah tidak peduli. Seharusnya sebelum diambil kebijakan pengurangan kuota Solar tersebut, dilakukan kajian dan analisis yang mendalam. Sehingga masyarakat tidak terkorbankan seperti kondisi saat ini. Ini menandakan pemerintah tidak memiliki sense krisis. Dan ini berpotensi sebagai pemicu meningkatnya inflasi daerah," ujarnya.
Kemudian, jargon selama ini dengan memberdayakan pesisir hanya sebuah tagline belaka. Karena, realita di lapangan tidak menggambarkan tagline tersebut.
"Masyarakat yang sudah terpuruk secara mental dan ekonomi dengan kondisi Pandemi Covid-19, semakin terpuruk akibat efek domino dari pengurangan kuota BBM jenis Solar subsidi ini. Mana yang katanya pemberdayaan pesisir yang didominasi masyarakat miskin," tegas Ketua Prodi Pasca Sarjana Fisipol UIR ini.
Lebih jauh pemerintah selalu menjadikan daerah terpencil yang berada di pesisir sebagai pembentuk opini bahwa pemerintah bersikap empati. Nyatanya, malah sebaliknya.
" Daerah terpencil selalu dijadikan sarana pembentuk opini bahwa pemerintah bersikap empati. Tapi seolah tidak mau peduli dengan kondisi masyarakatnya. Istilah masyarakat wilayah pesisir Riau sama dengan cakap tak serupa buat," tutup Morris.
Kuota Akan Ditambah Sesuai Kebutuhan
Sementara itu, pihak BPH Migas mengaku akan menambah kuota Solar subsidi untuk di Dumai sesuai kebutuhan. Penambahan itu setelah dilakukan evaluasi dan koreksi pada triwulan pertama.
Seperti yang ditegaskan oleh Sub Koordinator Ketersediaan BBM BPH Migas, Cristian kepada Koran Riau, Selasa (5/4/2022). Ia akhirnya menjawab setelah meminta waktu untuk menelusuri persoalan di Dumai.
Sebelumnya, saat wartawan mengkonfirmasikan persoalan di Dumai kepada Kepala BPH Migas, Erika Retnowati mendelegasikan persoalan tersebut kepada Direktur BBM, Patuan Alfons. Sedangkan Direktur BBM BPH Migas mendelegasikan lagi kepada Cristian.
"Kuotanya akan disesuaikan dengan kebutuhan. Hal itu setelah kita lakukan evaluasi triwulan pertama dengan koordinasi dengan pihak Pertamina," kata Cristian.
Oleh karena itu, ia juga mengharapkan pemerintah setempat nantinya dapat mengawasi distribusi Solar subsidi ini. Sehingga tidak disalahgunakan.
"Dengan keterbatasan dan kelangkaan ini, kami berharap pemerintah daerah bisa ikut mengawasi distribusinya. Jangan sampai disalahgunakan," pintanya.
Selanjutnya, ia juga meminta Ditjen Perhubungan Laut dapat menjadwalkan keberangkatan kapal ferry bisa lebih efisien. Sehingga dapat mengurangi jumlah pemakaian BBM Solar Subsidi nantinya.
"Karena memang secara nasional kuota Solar subsidi ini dikurangi sebesar 7 persen. Jadi, dengan keterbatasan itu kita harus bisa menggunakannya secara efisien," terang Cristian. (Ahmad)
No Comment to " Kuota Solar Dikurangi, Harga Tiket Kapal Ferry di Pesisir Riau Terancam Naik 100 Persen "