• Hentikan Penyidikan Kasus Korupsi SPPD Fiktif DPRD Rohil, Formasi Prapid-kan Polda Riau, Kejati dan KPK

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Selasa, 12 April 2022
    A- A+

     

    Foto: Sidang Prapid terhadap Polda Riau yang diajukan Formasi Riau di PN Pekanbaru.


    KORANRIAU.co,PEKANBARU- Forum Masyarakat Bersih (Formasi) Riau mengajukan pra peradilan (Prapid) terhadap Polda Riau, Kejati Riau dan KPK RI, karena menghentikan penyidikan dugaan  Korupsi massal SPPD Fiktif di DPRD Rokan Hilir sebesar Rp9 miliar lebih.


    Sidang Prapid ini dipimpin oleh hakim tunggal Yuli Artha Pujayotama, Senin (11/4/22) di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru. Agenda sidang tinggal pembacaan putusan yang dijadwalkan Rabu (13/4/22) besok. 


    Ketua Formasi Riau Muhammad Nurul Huda selaku pemohon mengatakan, Prapid ini diajukan ke PN Pekanbaru karena pihaknya menilai Polda Riau selaku Termohon I telah melakukan pengusutan/proses hukum dugaan korupsi masal sppd fiktif masal dewan Rohil TA 2017 sejak 26 September 2018, hingga terakhir memberikan informasi perkembangan pengusutan/proses hukum kepada masyarakat tertanggal 20 September 2021 bahwa perkara sudah naik ke tingkat penyidikan dengan nomor SP.Sidik/53/RES.3.3/2021/Reskrimsus, tanggal 27 Mei 2021.


    "Berdasarkan informasi dari pengumpulan dokumen diduga telah terjadi dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dari instansi lainnya Tahun anggaran 2017 yang berindikasi adanya kerugian negara sebesar Rp.9.023.592.147,27,"jelasnya.



    Termohon I tidak sungguh-sungguh mengusut dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang atas pengelolaan keuangan bendahara pengeluaran pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dan instansi lainnya TA. 2017 dengan memulai kembali melakukan penyelidikan hal ini tertuang dalam surat perintah penyelidikan Nomor Sprin.Lidik/145/VIII/RES.3.3/2020/Reskrimsus tanggal 14 Agustus 2020, harusnya laporan BPK ke Penegak hukum langsung dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik. Bukan lagi untuk melakukan penyelidikan, hal ini ditegaskan dalam Pasal 14 ayat 1 undang-Undang 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara dikatakan bahwa “apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Kemudian dalam Pasal 8 ayat 3 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK mengatakan bahwa, “apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenangsesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama satu bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut”. Selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK mengatakan bahwa “laporan BPK sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat 3 dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan;


    BPK telah melaporkan temuannya kepada Polda Riau dengan ditindaklanjuti melalui Laporan Informasi Nomor R/LI-85/VII/RES 3.3.5/2018/Ditreskrimsus, tanggal 31 Juli 2018 yang kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya surat perintah penyelidikan Nomor Sprin.Lidik/145/VIII/RES.3.3/2020/Reskrimsus tanggal 14 Agustus 2020. Kemudian adalagi Laporan Informasi Nomor R/LI-59/VIII/RES 3.3./2020/Ditreskrimsus, tanggal 4 Agustus 2020 dan terbitlah surat perintah penyelidikan Nomor Sprin.Lidik/09//I/RES.3.3/2021/Reskrimsus tanggal 5 Januari 2021 dan kemudian keluar lagi surat perintah penyelidikan Nomor Sprin.Lidik/77//III/RES.3.3/2021/Reskrimsus tanggal 23 Maret 2021 dan terakhir terbitlah laporan polisi Model A Nomor LP/192/V/RES.3.3/2021/RIAU/DITRESKRIMSUS tanggal 25 mei 2021 dan kemudian keluarlah surat perintah penyidikan dengan Nomor SP.Sidik/53/77/V/RES.3.3.5/2021/Reskrimsus tanggal 27 Mei 2021.


    "Termohon I tidak cermat dalam melakukan proses penegakan hukum terhadap penyalahgunaan keuangan negara yang diduga mengandung unsur pidana dengan melakukan penyelidikan terlebih dahulu serta penyelidikan yang berlarut-larut,"sebutnya.


    Dikatakan, Termohon I hanya mengirimkan SPDP kepada kejati Riau tanggal 28 Mei 2021, tetapi tidak mengirimkan SPDP (surat perintah dimulainya penyidikan) kepada KPK dan terlapor atau terperiksa hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 menyatakan penyampaian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum, akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor dengan waktu palimg lambat 7 (tujuh) hari. Adapun alasan MK didadasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasehat hukum yang akan mendampinginya, sedangkan bagi korban atau pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya. Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, SH. MH mengatakan bahwa pemberitahuan dimulainya suatu proses hukum merupakan hak konstitusional yang dijamin pelaksanaannya oleh apratur hukum sehingga SPDP sebagai bagian dari proses hukum perlu dipastikannya pelaksanaannya;


    Selain itu, Termohon I tidak menyebutkan secara jelas dan terang dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang atas pengelolaan keuangan bendahara pengeluaran pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dan instansi lainnya TA. 2017 yang bagian mana naik ketingkat penyidikan.


    Termohon I semenjak telah mengeluarkan surat perintah penyidikan tanggal 27 Mei 2021 belum ada menetapkan terduga-terduga sebagai tersangka, sehingga menimbulkan persepsi publik, termohon I tidak cukup serius menuntaskan perkara dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang atas pengelolaan keuangan bendahara pengeluaran pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dan instansi lainnya TA. 2017.


    Kemudian lanjutnya, KPK sebagai termohon III tidak cukup serius mendesak termohon I untuk segera melengkapi berkas perkara guna memberi petunjuk-petunjuk untuk menuntaskan pengusutan dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang atas pengelolaan keuangan bendahara pengeluaran pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dan instansi lainnya TA. 2017 yang telah naik ketingkat penyidikan;


    "Termohon III kami anggap lalai melakukan pengawasan pengusutan tindak pidana korupsi, mengingat sudah tiga tahun lebih dan 8 bulan sejak naik ke tahap penyidikan belum menetapkan terduga-terduga sebagai pelaku dalam dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang atas pengelolaan keuangan bendahara pengeluaran pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dan instansi lainnya TA. 2017,"ulasnya. 


    KPK menurutnya, tidak cukup serius melakukan supervisi dan koordinasi kepada termohon I sehingga pengusutan dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang atas pengelolaan keuangan bendahara pengeluaran pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dan instansi lainnya TA. 2017 menjadi berlarut-larut.


    Masih Nurul, KPK tidak segera mengambil alih penanganan perkara, padahal telah nyata adanya hambatan dari termohon I dengan adanya Surat Telegram Kabareskrim Nomor: ST/206/VII/2016 tanggal 25 Juli 2016 yang menyebutkan “jika dalam proses penyelidikan ada pengembalian kerugian keuangan negara ke kas negara agar penyidikan tidak ditingkatkan penyidikan”, hal ini bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatakan bahwa “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”. 


    Oleh karena berlarut-larutnya Penyidikan perkara a quo, maka selanjutnya PARA TERMOHON diperintahkan untuk melakukan proses hukum selanjutnya. Sesuai dengan ketetentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 


    "Berdasarkan hal-hal tersebut, kami memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru atau hakim yang memeriksa perkara ini dalam putusannya nanti menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan ini untuk seluruhnya,"pinta Nurul.


    Kemudian, menyatakan Pemohon sah dan berdasar hukum sebagai pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan permohonan praperadilan atas perkara a quo. Lalu, menyatakan secara hukum Para Termohon telah melakukan tindakan PENGHENTIAN PENYIDIKAN secara materiel dan diam – diam yang tidak sah menurut hukum.nor


  • No Comment to " Hentikan Penyidikan Kasus Korupsi SPPD Fiktif DPRD Rohil, Formasi Prapid-kan Polda Riau, Kejati dan KPK "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com