KORANRIAU.co-Pangeran Hamlet sudah tidak sabar menikam jantung Raja Claudius, pamannya sendiri yang menjadi raja setelah menggantikan ayahnya yang sudah tiada. Bisikan gaib dari hantu ayahnya yang bergentayangan pun selalu datang ke dalam genderang telinga. Dia percaya bahwa kematian Sang Ayah adalah bagian dari upaya Raja Claudius untuk mendapatkan tahta dan cinta Ibu Hamlet Ratu Gertrude.
Namun nyatanya, hantu sang ayah tidak pernah benar-benar ada. Semuanya hanya luapan rasa takut kehilangan yang sangat membara. Sepenggal kisah karya Sastrawan legendaris Inggris William Shakespeare ini sangat relevan dalam melihat panggung drama elit politik Tanah Air.
Elit-elit politik seperti ingin menikam jantung demokrasi, yang sudah diperjuangkan sebagai the only game in town sejak Reformasi 1998. Esensi dari demokrasi adalah membatasi, bukan memperluas kekuasaan. Namun, bisikan-bisikan ghaib dari hantu otoritarianisme membuat mereka terus mencari-cari berbagai alasan.
Padahal otoritarianisme sudah lama menjadi fosil purba, namun elit-elit politik sudah kepalang dikuasai oleh rasa takut pada ketidakpastian politik. Situasi hari ini memperlihatkan situasi elit politik kita yang sedang rapuh.
Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar adalah pimpinan partai politik yang pertama menabuh genderang isu perpanjangan masa jabatan Presiden ini kembali menyala. Sebagai Ketua Umum PKB, langkah Muhaimin dapat dipahami sebagai sebuah legitimasi formal agar wacana tersebut menjadi kenyataan.
Kemudian, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyusul untuk menaikkan wacana perpanjangan masa jabatan Presiden satu oktaf lebih tinggi.
Kedua partai tersebut, PAN dan PKB, sebenarnya tidak bisa lepas dari cerita perjuangan Reformasi. Amien Rais dan Presiden Abdurrahman Wahid adalah tokoh penting Reformasi yang sempat menjadi wajah dari masing-masing partai tersebut. Tentunya, tidak mudah bagi kedua Ketua Umum partai menyatakan dukungan pada isu yang berseberangan dengan DNA partainya.
Oleh karena itu, wacana perpanjangan masa jabatan Presiden lebih tampak sebagai upaya menghasilkan keseimbangan politik internal, baik itu bagi Muhaimin Iskandar atau Zulkifli Hasan. Mereka ingin menunjukkan ke barisan pendukungnya soal kedekatan dengan Istana.
Muhaimin saat ini dianggap tidak dekat lagi dengan "ruling group" di NU, yang selama ini merupakan pendukung utama PKB. Sementara, Zulkifli Hasan juga sudah pisah jalan dengan ikon PAN Amien Rais. Legitimasi eksternal sangat dibutuhkan untuk memperkokoh posisi internal. Tujuannya adalah kepastian politik dari "kelompok pengganggu".
Apalagi, PAN masih belum dapat "jatah" menteri dari Presiden Jokowi. Tentunya, keputusan Zulkifli Hasan menjadi pendukung partai pendukung pemerintah akan semakin dipertanyakan kalangan internal partainya. Bayangan ketidakpastian pun semakin pekat.
Sementara itu, cara yang agak berbeda ditunjukkan oleh Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Meskipun esensinya sama-sama mewacanakan perpanjangan masa jabatan Presiden, Airlangga menunjukkan gestur yang sangat hati-hati. Menko Perekonomian ini menerima aspirasi perpanjangan masa jabatan Presiden dari petani sawit, yang sedang menikmati harga komoditas yang membaik.
Tujuan Airlangga yang menunjukkan respon yang lebih terukur adalah berupaya menjaga suasana hati penguasa dan sekaligus meredam resistensi. Sejarah sudah memperlihatkan penguasa Partai Golkar adalah mereka yang memiliki jarak paling dekat dengan gerbang Istana, bukan orang paling kaya, saleh, atau kuat. Namun, resistensi pendukungnya sebagai bakal calon Presiden dari Partai Golkar juga harus diperhitungkan.
Lepas dari benefit yang diraih oleh para elit, wacana perpanjangan masa jabatan Presiden bisa saja menjadi beban bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kalau Presiden bisa diperpanjang tanpa pemilu, berarti bisa jadi pemerintah daerah juga tidak dipilih lewat pemilu. Penjabat pilihan Presiden akan memimpin seluruh daerah dalam waktu yang panjang. Sampai masa yang ditentukan, legitimasi kepemimpinan akan mengalami penurunan. Ketegangan antara masyarakat dan negara akan sulit terhindari.
Di sisi lain, situasi tersebut akan sangat menguntungkan bagi pimpinan partai politik untuk memperkokoh posisi di internal, sekaligus mengurangi kekuatan kepala-kepala daerah unggulan survei capres yang sudah tak menjabat. Maka, opsi kepemimpinan nasional pun akan semakin bergantung pada selera elit partai politik.
Elit-elit saat ini digerakkan oleh ketidakpastian politik. Kalau wacana perpanjangan masa jabatan benar-benar jadi kenyataan, maka jangan heran demokrasi tidak lagi dipercaya sebagai teknologi politik untuk membatasi kekuasaan, melainkan akan menjadi sebuah alat bantu masturbasi politik.
Oleh: Arie Putra co-founder Total Politik, host Adu Perspektif detikcom X Total Politik
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
No Comment to " Tragedi Perpanjangan Masa Jabatan Presiden "