KORANRIAU.co—Alquran mengabadikan sejumlah kecaman dan larangan memakan harta yang bukan miliknya seperti dengan korupsi atau gratifikasi.
Badan Wakaf Diminta Kreatif Kelola Wakaf Jelang Harlah ke-99, PWNU DKI Jakarta Luncurkan Halal Centre NU Jerman akan Akhiri Sebagian Besar Pembatasan Covid-19 pada Maret
Di antara ayat yang kerap dijadikan landasan larangan korupsi adalah surat Ali Imran ayat 161 sebagai berikut:
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ ۚ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”
Ayat tersebut secara jelas menyinggung salah satu tanda korupsi yakni pengkhianatan kepercayaan. Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menafsirkan ayat ke-161 hingga ke-164 surat Ali Imran.
Menurut dia, konteks turunnya ayat-ayat tersebut adalah pembagian harta rampasan perang.
Pelaku ghulul adalah mereka yang lebih dahulu menyembunyikan sebagian harta rampasan perang (ganimah) sebelum harta itu dibagi-bagi secara adil oleh komandan perang sehingga bagian yang disembunyikan itu tidak masuk dalam pembagian.
Perbuatan itu jelas melanggar ketentuan Islam, yakni ganimah baik besar maupun kecil dikumpulkan terlebih dahulu seluruhnya, kemudian komandan membagikannya secara adil.
Pada zaman Nabi Musa AS, pernah suatu ketika bani Israil memenangi perang. Sejumlah orang kemudian menyembu nyikan sebagian ganimah ke dalam ikat pinggangnya karena takut bagian itu tidak diberikan kepadanya.
Nabi Musa AS kemudian menye rukan kepada pengikutnya tentang barang-barang ganimah. Seketika barangbarang yang disembunyikan oknum yang curang tersebut berloncatan dari ikat pinggang.
Untuk diketahui, syariat yang berlaku pada beliau AS dan bani Israil adalah kaum beriman tidak boleh mengonsumsi ganimah sehingga seluruh harta itu harus dibakar habis dengan mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Hal itu berbeda dengan syariat yang berlaku untuk Rasulullah SAW dan umat nya. Ganimah boleh dikonsumsi setelah harta itu dikumpulkan kepada dan dibagi-bagikan oleh Nabi SAW sebagai panglima perang dan kepala negara.
Buya Hamka mengutip sebuah riwayat bahwa asbabun nuzul ayat surat Ali Imran di atas berkenaan dengan suatu kasus pasca-Perang Uhud. Para pemanah yang meninggalkan pos-posnya di bukit menyangka tidak akan kebagian ganimah sehingga mereka lalai dari tugasnya.
Mengetahui hal tersebut, Nabi SAW bersabda kepada mereka, "Apakah kamu sangka kami akan berbuat curang dan tidak akan membaginya kepada kamu?" Maka turunlah firman Allah SWT tersebut.republika/nor
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
No Comment to " Tanda Korupsi dan Beda Syariat Ghanimah Nabi Musa AS dan Rasulullah SAW "