KORANRIAU.co-DULU, ketika saya masih sekolah, setiap tanggal 1 Oktober, Indonesia biasanya berkabung untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Sebuah ideologi “tengah” yang telah memosisikan Indonesia sebagai entitas berbeda dan independen dari tangan-tangan kolonialis-imperialis, komunis agresionis, maupun dari tangan-tangan separatis invasionis yang ingin menyetir arah bangsa sesuai keyakinan komunal yang di-fait accompli sebagai keyakinan yang layak secara nasional.
Setiap kali bertemu dengan tanggal tersebut, Pancasila diposisikan kembali sebagai “simbol yang terselamatkan” karena “konon” ketika itu ada sebuah simbol baru yang “konon pula katanya” super agresif secara domestik dan ekstra ekspansionis secara internasional, yang ingin menurunkan gambar burung Garuda dari dinding Istana Negara. Sehingga spirit ideologis plus nostalgis tertempel kuat pada hari itu dan hampir pasti akan hilang begitu saja sehari setelahnya karena “sindrom memori pendek” yang sudah biasa mendarah daging di dalam diri anak bangsa pascamerdeka. Dan memang begitulah sentimen ideologis bekerja, butuh patok-patok waktu dan lempengan-lempengan ingatan untuk menggelorakannya.
Terlepas dari malapetaka yang kemudian berhasil mengeramatkan tanggal 1 Oktober tersebut, nampaknya saat ini agak jarang kita berbicara tentang Pancasila sebagai sebuah cita-cita demokrasi ekonomi yang sangat diidam-idamkan oleh para pendiri negara sedari dulu, sebut saja, misalnya, yang paling dominan adalah Bung Hatta. Karena itu, ada baiknya kebiasaan bernostalgia secara ideologis tersebut kita alihkan kepada ingatan nilai-nilai demokrasi ekonomi yang tersirat komprehensif di dalam ajaran Pancasila, agar bisa menjadi “patok ideologis” bagi penguasa-penguasa baru yang bermunculan, saat ini maupun yang akan datang, di daerah maupun di level nasional.
Secara umum, sudah menjadi imperatif ideologis bagi bangsa Indonesia untuk berjuang tanpa lelah menjaga irama demokratisasi sampai ke titik konsolidasi sebagaimana diamanatkan sila keempat Pancasila. Kemudian, jika irama demokrasi sudah relatif stabil, baik secara institusional maupun prosedural, maka sila kelima Pancasila akan menyempurnakannya (keadilan sosial). Dengan sederhana bisa diartikan bahwa dibutuhkan komitmen demokrasi yang tinggi, konsisten, dan berkelanjutan, untuk memperjuangkan berdiri tegaknya keadilan sosial dan bertumbuhkembangnya kesejahteraan masyarakat.
Dengan lain perkataan, segala daya upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi sejatinya harus pula berbanding lurus dengan konsistensi dan sustainabilitas peningkatan kualitas keadilan sosial untuk seluruh masyarakat Indonesia. Idealitas ideologis semacam ini tentu sekadar netral di atas kertas, namun cenderung distortif dan reduktif pada tataran teknis operasionalnya. Kita semua memahami bahwa demokratisasi pastinya bukanlah sekadar urusan penyelenggaraan pemilihan umum yang jujur dan adil semata (procedural democracy) alias "schumpeterian democracy". Namun juga soal persamaan kesempatan beserta segala usaha untuk mendukung kesamaan kapasitas semua warga negara di segala bidang persaingan (pemberdayaan/empowerment).
Artinya, persamaan kesempatan tidak hanya soal aturan main yang fair (fairplay), tapi juga harus diiringi dengan upaya-upaya untuk menyeimbangkan kapasitas persaingan (playing level capacity), harus ada proteksi untuk yang tak berdaya dan measurable support untuk yang lemah. Apalagi jika demokratisasi tersebut berjalan di bawah agenda setting liberalisasi ekonomi dengan panji-panji globalisasi. Maka pertaruhannya adalah amanat konstitusi yang mengharuskan negara untuk melindungi segenap tumpah darah dan seluruh rakyat Indonesia.
Liberalisasi ekonomi akan mereduksi kekuasaan negara atas eksistensi pasar (self regulating market) dan membiarkan dinamika ekonomi bergerak dalam peta buta "invisible hand" ala Adam Smith. Nah, darwinisme ekonomi semacam ini pada gilirannya akan memperbesar ketimpangan ekonomi, kerusakan alam, dan mendorong terjadinya alienasi sosial terhadap lapisan masyarakat yang tak berdaya, masyarakat yang terpinggirkan oleh ganasnya persaingan kehidupan sosial ekonomi. Arti lanjutannya, agenda kesejahteraan sosial juga akan tersubordinasi ke bawah bayang-bayang kepentingan pihak-pihak yang kuat atau pemilik modal, bahkan oligarki.
Walhasil, Pasal 33 UUD 1945 yang berfungsi sebagai roh dari demokrasi ekonomi Pancasila akan terus digiring menjauh dari idealitas konstitusionalnya. Padahal Bung Hatta sudah berjibaku hampir setengah mati untuk memperjuangkan Pasal 33 tersebut masuk ke dalam batang tubuh UUD 1945 di tengah-tengah sengitnya percaturan ideologi antara sayap kiri dan sayap kanan di masa lalu itu. Dan pada akhirnya beliau bisa mendamaikan keduanya cuma dengan satu pasal plus tiga ayat tersebut. Tentu spirit yang terkandung di dalamnya tidak hanya berkat andil besar dari moralitas dan intelektualitas ekonomi seorang Mohammad Hatta saja.
Bahkan substansi dalam pasal tersebut beliau serap dengan sangat brilian dari Tan Malaka sekira dua puluh tahunan sebelum UUD 1945 ada. Ketika Hatta masih menjadi seorang mahasiswa baru di Belanda, pada Juli 1922, Ia pernah bertemu dengan Tan Malaka di Berlin, Jerman. Dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Darsono tersebut Hatta mendapatkan pemahaman awal mengenai interpretasi Tan Malaka terkait “komunisme”, yang notabene berbeda jauh dengan interpretasi versi Lenin-Stalin.
Dalam penjelasan Tan Malaka mengenai “diktatur proletariat” di pertemuan itu, yang juga sekaligus merupakan kritik Tan Malaka terhadap interpretasi Lenin- Stalin dan Uni Soviet, Hatta memperoleh kata-kata yang belakangan menjadi “keramat”, yakni: “Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”. Ya, kata-kata yang belakangan menjadi Penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945 itu diserap oleh Hatta dari Tan Malaka, meski secara redaksional ditampilkan dalam bahasa yang kontekstual dan tidak tendensius. Nah, liberalisasi ekonomi yang ingin dipagari oleh pasal Bung Hatta tadi akan membuat kekuasaan pemerintah (penguasa) menjadi tumpul pada sisi-sisi tertentu dan dialihkan pada mekanisme dan dinamika pelaku pasar, baik domestik maupun global.
Namun celakanya, di sisi lain, penguasa (atau calon penguasa) kian membutuhkan sumber-sumber dana alternatif untuk memenangkan kontestasi demokrasi yang semakin mahal. Sehingga situasi dilematisnya adalah bahwa di satu sisi kekuasaan politik terhadap dinamika ekonomi relatif konstan, bahkan tak jarang malah berkurang, namun disisi lain aktor-aktor ekonomi (pengusaha, konglomerasi, oligar) terjun ke arena politik untuk menawarkan sumber-sumber dana alternatif demi membiayai kontestasi demokrasi (political financing) yang kian mahal tersebut.
Dalam relasi mutualisme simbiosis semacam itulah barter dan konsesi-konsesi ekonomi politik dilahirkan (Stein Ringen, Journal Democratization, vol.11, April 2004). Selanjutnya, di bawah agenda setting seperti itu pula, akhirnya aglomerasi modal hanya akan berpusat di lingkaran segelintir elite ekonomi (konglomerasi/oligarki) yang mampu menjamin ketersediaan dana untuk menutupi ongkos kontestasi demokrasi yang super mahal.kompas.co
Oleh: Jannus TH Siahaan (Doktor Sosiologi Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM).
No Comment to " Ketika Oligarki Mengakali Ekonomi Pancasila "