Foto: Al-Faribi
KORANRIAU.co-Al-Fârâbî dalam kitab ihsâ al-‘ulûm mengklasifikasikan ilmu. Dia menyusun ilmu menjadi beberapa bagian, yaitu ilmu bahasa (îlm al-lisân), logika (‘ilm al-manthiq), ilmu matematika atau propaedetik (‘ulûm al-ta’âlîm), fisika atau ilmu kealaman (al-‘ilm al-thabî’î), metafisika (al-‘ilm al-ilâhî), ilmu politik (al-‘ilm al-madanî), yurisprudensi (‘ilm al-fiqh), dan teologi dialektis (‘ilm al-kalâm).
Al-Fârâbî menyusun klasifikasi ini dengan maksud: (1) agar pengkaji hanya memilih subjek yang benar-benar membawa manfaat, (2) agar para pemelajar belajar tentang hierarki ilmu, (3) pembagian sub-bab pada setiap ilmu untuk menentukan sejauh mana spesialisasi dapat ditentukan secara sah, dan (4) klasifikasi itu menginformasikan agar para pengkaji mengetahui, apa yang seharusnya dipelajari sebelum seseorang dapat mengeklaim diri sebagai ahli dalam suatu ilmu tertentu. Bagi al-Fârâbî, pengajaran terhadap klasifikasi sebagai kegiatan yang sah, asalkan tidak merusak kesatuan dan hierarki ilmu.
Menurut al-Fârâbî, matematika merupakan ilmu filosofis yang meluas hingga luar lingkup Quadrivium Latin (aritmatika atau ilmu hitung (‘ilm al-‘adad), geometri (‘ilm al-handasah), ilmu perbintangan (‘ilm al-nujûm), astronomi (‘ilm al-nujûm al-ta’lîmî), musik (al-mûsîqâ), dan meliputi ilmu tentang berat (‘ilm al-atsqâl), teknik atau ilmu tentang pembuatan alat (‘ilm al-hiyal) dan optika (‘ilm al-manâzhir), yang dalam ilmu modern, ilmu ini merupakan disiplin dalam fisika.
Ia membagi aritmatika, geometri, dan musik menjadi bagian teoretis dan praktis, dan hanya aritmatika dan geometri teoretis, yang menurutnya benar-benar matematika murni. Sebab, keduanya berkaitan dengan bilangan dan besaran yang secara mutlak bebas dari objek material.
Dia juga menganggap, kedua ilmu ini merupakan akar dan landasan setiap ilmu, sedangkan materi-subjek matematika berupa bilangan dan besaran (a’zam). Besaran adalah garis, bidang, dan bentuk-bentuk padatan, yang dikatakan sebagai kuantitas-kuantitas kontinu (al-kam al-muttashil), sedangkan bilangan adalah kuantitas diskret (al-kam al-munfashil).
Lebih lanjut, Al-Fârâbî juga memandang penguasaan matematika tidak dapat dikesampingkan, dalam upaya memiliki pengetahuan yang tepat mengenai kebenaran-kebenaran spiritual.
Lebih lanjut, Al-Fârâbî juga memandang penguasaan matematika tidak dapat dikesampingkan, dalam upaya memiliki pengetahuan yang tepat mengenai kebenaran-kebenaran spiritual. Hal serupa juga diungkapkan oleh para sarjana Ikhwan Al-Shafa dan Qutb Al-Din Al-Syirazi.
Dalam tradisi Intelektual Islam, matematika juga dipandang sebagai gerbang dari dunia indra menuju dunia pengertian, tangga antara dunia perubahan dan dunia arketipe. Dengan demikian, mempelajari matematika berarti merenungi berbagai lambang dan demikian menuju dunia intelligible, sebuah alam yang abstrak, tetapi riil dan nyata.
Telaah matematika melatih pikiran seseorang untuk bebas dari kebergantungan akan penampakan fisik lahiriah semata, dan dengan begitu mempersiapkan dirinya untuk tamasya ke dunia intelligible, alam metafisis, dan akhirnya kepada unitas (keesaan).
Akibatnya, pandangan ini menyimpulkan bahwa matematika tidak hanya dikaji dari sudut pandang kualitatif semata, tetapi juga berhubungan dengan kuantitatif sehingga dalam mempelajarinya, ilmuwan tidak menolak realitas di luar realitas alam tabii.
Matematika pun berkembang untuk menyelesaikan berbagai persoalan praktis, seperti penyelesaian pembagian warisan dan jual beli. Persoalan tersebut melahirkan bidang dalam matematika, yang dikenal dengan aljabar oleh Muhammad ibn Mûsâ al-Khawârizmi, yang ditulis dalam kitab al-Mukhtasar fi Hisâb al-Jabr wa al-Muqâbalah.
Realitas matematika
Syekh 'Abdullāh b. Ḥusayn b. ‘Alī Makkī al-Ḥusnī al-‘Ajalānī menyatakan lima jenis atau martabat keberadaan, yaitu: (1) wujûd dzâtî; (2) wujûd ‘aynî; (3) wujûd dzihnî; (4) wujūd lafdzhî; dan (5) wujûd khaththî. Di antara lima tipe atau martabat adanya ini, wujûd dzâtî adalah khusus untuk Allāh SWT saja, sedangkan wujûd ‘aynî juga khusus untuk makhluk.
Sementara itu, wujûd dzihnî, wujûd lafdzhî, dan wujûd khaththî dimungkinkan untuk Allah SWT dan untuk makhluk. Dua tingkatan yang bersifat hakiki yang tidak berbeda karena perbedaan person, yaitu: (1) eksistensi suatu objek di luar pikiran yang disebut wujud eksternal (wujûd ‘aynî), dan (2) eksistensi sesuatu atau objek di dalam pikiran, yang disebut wujud mental (wujûd dzihnî) atau forma yang diketahui (shûrah ma’lûmah).
Sedangkan dua tingkatan yang bersifat konvensional dan berbeda karena perbedaan person adalah eksistensi objek sebagai kata (lafdzh) yang disebut wujud verbal (wujûd lafdzhî), dan eksistensi objek dalam tulisan (kitâbah) yang disebut (wujûd khaththî).
Matematika pun berkembang untuk menyelesaikan berbagai persoalan praktis, seperti penyelesaian pembagian warisan dan jual beli.
Pertanyaan selanjutnya ialah dalam kategori kewujudan yang manakah letaknya objek-objek matematika? Sekilas dipahami bahwa objek-objek matematika adalah objek-objek akliah atau ma'qûlât. Sebagai suatu konsep atau pemahaman yang "terdefinisikan”. Misalnya, konsep “apel” tidak dianggap sebagai objek matematika, sedangkan “segitiga” merupakan objek matematika, yang keduanya berada pada bentuk dzihnî.
Perbedaan antara kedua objek ini terletak pada konsepnya ‘segitiga” sudah dipahami sebagaimana didefinisikan (tiga titik non-linier terhubung satu sama lain dengan garis lurus yang disebut sisi), sedangkan “apel” tidak dapat didefinisikan dengan cara apa pun, sehingga sama dengan yang sesungguhnya (setidaknya tidak mudah).
Definisi ini dan konstruksi matematis selanjutnya dilakukan pada tingkat wujûd khaththî karena masing-masing objek akan diwakili oleh simbol. Definisi simbol ini menentukan bagaimana itu terhubung simbol lain yang mewakili objek dzihnî lainnya. Hal ini adalah fitur utama dari objek matematika.
Pernyataan matematika yang mengasumsikan aspek khusus ini di tingkat wujûd khaththî, pada akhirnya menjelaskan aspek-aspek asal dari bentuk 'aynî makhluk atau fenomena alam tertentu. Karena, ia bisa diungkapkan dengan cara mendefinisikan pada tingkat wujûd khaththî, yang kemudian dimanipulasi agar dapat dilakukan proses matematis, dan inilah yang dilakukan pada sains modern.
Hal demikian karena fenomena alam sebenarnya adalah ayat atau tanda untuk perbuatan-perbuatan Allah SWT, yang merupakan bayangan dari atribut Tertinggi-Nya, matematika dapat digambarkan sebagai wasilah untuk melihat keagungan Sifat-Nya.
Dengan penjelasan kedudukan matematika dalam sistem hierarki ilmu dan ontologis yang jelas, kita dapat menghadapi tantangan yang muncul dari ilmu pengetahuan modern, tanpa harus menolak atau berlebihan dalam mengkritisi kelemahannya sehingga manfaatnya, tidak dapat dikelola dengan baik.
Hal tersebut sejalan dengan sikap imam al-Ghazali yang tidak melakukan penolakan yang sembrono karena hanya akan membuat agama dianggap bodoh. Sementara itu, penerimaan yang berlebihan hanya akan mengingkari dan menganggap tidak bermakna, apa yang ada di dalam agama hanya karena tidak bisa diungkapkan melalui metode matematis.
Wallahu a'lam.
Oleh: FEBRI DAUS, Wacana Fikir Islam (WAFI) Padang
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
No Comment to " Islam dan Realitas Matematika "