Foto: Dua ahli pidana saat memberikan keterangan pada sidang dugaan investasi bodong PT Fikasa.
KORANRIAU.co,PEKANBARU- Sidang dugaan penggelapan uang investasi nasabah senilai Rp84,9 miliar dengan terdakwa empat anggota Keluarga Konglomerat Salim, selaku petinggi PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (PT TGP) company profil Fikasa Grup, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Senin (24/1/22).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Heru SH MH, Herlina SH MH, Lastarida SH dan Rendi Panalosa SH MH menghadirkan dua ahli hukum pidana untuk terdakwa Bhakti Salim alias Bhakti selaku Direktur Utama (Dirut) PT WBN dan PT TGP, Agung Salim selaku Komisaris Utama (Komut) PT WBN, Elly Salim selaku Direktur PT WBN dan Komisaris PT TGP dan Christian Salim selaku Direktur PT TGP.
Kedua ahli itu adalah, Prof Dr Agus Surono SH MH yang merupakan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Al Azhar Indonesia. Kemudian, Dr Rouli Anita Valentina SH LLM, selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).
Dihadapan majelis hakim yang dipimpin Dr Dahlan SH MH dengan dibantu dua hakim anggota Estiono SH MH dan Tomy Manik SH itu, Agus menjelaskan, jika perusahaan yang menghimpun dana masyarakat tanpa ada izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maka itu dianggap perbuatan pidana. Bahkan beban pidana itu bisa dikenakan kepada pengurus perusahaan (koorporasi-red) itu, selaku penanggungjawab.
"Kalau tak ada izin dari OJK, koorporasinya (perusahaan-red) bisa dikenakan pidana. Karena deliknya, perbuatan tidak ada memiliki izin itu tadi,"tegas Agus.
Terlebih lagi lanjut Agus, jika perusahaan menawarkan investasi berbentuk tabungan Promissory Note dan bukan deposito. Maka, izin dari OJK harus mutlak ada.
Lalu Hakim Dahlan mempertanyakan, apabila yang dihimpun itu hanya untuk satu orang saja, apakah harus mendapatkan izin dari OJK."Misalnya, satu lawan satu,"sebut hakim.
Atas pertanyaan hakim itu, Agus mengatakan perusahaan tetap meminta izin ke OJK. Alasannya, walaupun hanya satu orang, namun itu sudah mewakili warga negara Indonesia.
Pada sidang sebelumnya, salah satu saksi yakni AN mengungkapkan, pernah mempertanyakan izin PT Fikasa kepada terdakwa Agung Salim. Saat itu, Agung mengatakan, perusahaan yang dipimpinnya memiliki izin dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Namun saat saya minta dilihat izinnya itu, Agung tidak bisa menunjukkannya. Dia berjanji akan mengirimkan dan sampai saat ini tidak pernah ada,"ulas saksi.
Bahkan, saat saksi AN ingin menarik uangnya sebagai nasabah di PT Fikasa, Agung sempat menahannya. Agung merayu saksi untuk tidak memutuskan kontrak investasi di PT Fikasa.
"Agung merayu saya untuk terus memperpanjangnya. Dia berjanji akan membayarnya, namun kenyataannya sampai saat ini belum dibayarkan,"terang saksi AN.
Parahnya lanjut saksi, sejak terjadinya kemacetan pembayaran bunga tiap bulannya itu, semua terdakwa tidak bisa lagi dihubungi. Hingga akhirnya, kasus penipuan ini dilapirkan ke Bareskrim Mabes Polri Juli 2020.
Dugaan penggelapan uang nasabah yang dilakukan para terdakwa ini terjadi pada tanggal 14 Oktober 2016 sampai dengan 25 Maret 2020. Setidaknya ada 10 orang nasabah yang menjadi korban para terdakwa dengan total dana Rp84.916.000.000.
Berawal dari tahun 2016 PT WBN yang bergerak di bidang usaha consumer product dan PT TGP yang bergerak dibidang usaha properti dan perhotelan dan merupakan bagian dari Fikasa Grup, sedang membutuhkan tambahan modal untuk membiayai operasional perusahaan maupun perluasan usaha. Pada saat itu terdakwa Agung Salim mencari ide untuk mendapatkan tambahan modal tersebut.
Diputuskan untuk menerbitkan Promisorry Note atas nama Perusahaan yang ada dalam Fikasa Grup, yaitu PT Wahana Bersama Nusantara dan PT Tiara Global Propertindo. Kemudian terdakwa Agung menyuruh terdakwa Maryani (tuntutan terpisah-red) menjadi Marketing Freelance PT WBN dan PT TGP (Fikasa Grup).
Kemudian dengan menggunakan company profil Fikasa Grup yaitu PT WBN dan PT TGP, Maryani pada sekitar bulan Oktober 2016 mendatangi korban AN yang beralamat di Jalan Mawar Nomor 55 RT 33 RW 002 Kelurahan Padang Terubuk, Kecamatan Senapelan, Kota Pekanbaru. Maryani menawarkan investasi dengan bunga 9 % sampai 12 % pertahun dengan cara menjadi pemegang Promissory Note PT WBN dan PT TGP.
Saat menawarkan Promissory Note atas nama PT.WBN dan PT. TGP kepada masyarakat di Pekanbaru, Maryani menyampaikan Fikasa Grup menghimpun dana dengan menerbitkan Produk Tabungan berbentuk Promissory Note dengan tingkat bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan bunga Bank pada umumnya. Jika bunga deposito pada Bank umumnya berkisar 5 % pertahun, maka Fikasa Group bisa memberikan bunga 6-12 % pertahun, sehingga tabungan berbentuk Promissory Note ini lebih menguntungkan.
Dana nasabah yang seharusnya digunakan untuk operasional dan modal pengembangan usaha dari PT WBN dan PT TGP itu, justru digunakan para terdakwa untuk operasional dan modal usaha perusahaan lain yang ada dalam Fikasa Group. Diantaranya, untuk usaha air minum dan perhotelan dimana usaha tersebut merupakan badan hukum yang berbeda tanpa dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada pemilik modal/nasabah pemegang Promissory Note.
Hasil keuntungan dari usaha perhotelan dan air minum tersebut masuk ke perusahaan-perusahaan group Fikasa, juga masuk ke rekening pribadi terdakwa Bhakti Salim, Agung Salim, Elly Salim, Christian Salim dan Maryani. Hal ini dapat dilihat dari aliran uang keluar dan masuk atas nama PT WBN Bulan Oktober tahun 2016 sampai dengan bulan September 2020.
Bahwa para nasabah pemegang Promissory Note PT. WBN dan TGP pada saat investasi mereka sudah jatuh tempo dan sudah tidak mendapatkan keuntungan berupa bunga dari PT. WBN dan TGP, telah mengambil sikap untuk tidak melanjutkan menempatkan uangnya di PT.WBN dan PT. TGP dan meminta kembali pokok investasinya kepada PT.WBN dan TGP pada awal tahun 2020 dan para terdakwa menjanjikan dalam surat pernyataannya tanggal 26 Februari 2020 akan mengembalikan uang para nasabah pada tanggal 25 Maret 2020 tetapi sampai saat ini uang para nasabah belum dikembalikan oleh para terdakwa, sehingga para nasabah mengalami kerugian dengan total lebih kurang Rp.84.916.000.000.
Akibat perbuatannya itu, JPU menjerat para terdakwa dengan Pasal 46 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Jo Pasal 64 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana, Pasal 378 Jo Pasal 64 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana, Pasal 372 Jo Pasal 64 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana dan Pasal 372 Jo Pasal 64 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.nor
No Comment to " Sidang Dugaan Investasi Bodong PT Fikasa, Ahli Hukum: Tak Ada Izin Bisa Pidana... "