Foto: Prof. Haedar Nashir
KORANRIAU.co-Berbahasa bukan sekadar urusan gramatika. Bahasa mengandung semantik makna.
“Mulutmu harimaumu!” Pepatah bijak Melayu itu terasa menyengat. Segala ujaran buruk yang diproduksi akan mencengkeram pemiliknya, bak harimau Sumatra menerkam mangsa. Hatta atas nama niat baik dan kebaikan.
Sebaliknya, kata-kata baik dan energi positif berbuah positif. Berlakulah hukum kausal aksi-reaksi, sebagaimana pesan Ilahi: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri” (QS al-Isra: 7).
Bila jagat kehidupan di ruang sosial saat ini terdapat kegaduhan, sisirlah dari awal kata-kata yang potensial menebar bara. Mungkin tidak dilakukan oleh banyak orang. Boleh jadi karena ujaran satu dua orang yang berulah melampaui takaran.
erbahasa bukan sekadar urusan gramatika. Bahasa mengandung semantik makna. Kata-kata tidak hanya ranah rasio, tetapi dzauq yaitu dunia rasa. Setiap ujaran cermin dari si empunya. Kata-kata itu wajah keadaban suatu bangsa. Sebab, dunia hewan tidak mengenal peradaban.
Berbahasa bukan sekadar urusan gramatika. Bahasa mengandung semantik makna.
Apalagi, hidup pada era digital yang memanjakan mengumbar kata. Indonesia, menurut survei Microsoft 2021, termasuk bangsa yang rendah tingkat kesopanannya sebagai pengguna media sosial. Sungguh ironi, bagaimana bangsa yang beragama, berideologi Pancasila, dan berkebudayaan adiluhung luruh tata sopan!
Potret Kehidupan
Kegaduhan sosial sering dipicu oleh silang sengketa di dunia maya bertemali dengan dinamika hidup di dunia nyata. Dunia medsos dan kehidupan saat ini bak simulakra, dalam bahasa Alquran “lahwa wa la’ib”. Realitas baru itu nyaman untuk segala perang kata-kata. Orang dibuat tenggelam dalam dunia semu yang serba-menyenangkan, tetapi sejatinya menggerus akal budi.
Kehidupan di negeri ini dalam sejumlah hal cenderung panas karena lalu lintas kata dari persilangan dunia media sosial dan interaksi sosial langsung yang melibatkan banyak kepentingan. Prasangka, saling tuding, dan silang sengketa banyak hal sering saling berhadapan.
Perang kata dan pernyataan tidak terlepas dari rebutan kepentingan yang saling bersenyawa (cross cuting of interest) atas nama segala hal. Jika masing-masing pihak tidak dapat menahan diri, benturan kepentingan semakin keras dan jagat Indonesia pun memanas.
Manusia sendiri memiliki “hawa nafsu” yang cenderung ingin berlebih dalam segala hal sehingga sepanjang dunia masih digelar maka hasrat berebut itu tidak akan berhenti sampai kematian tiba (QS at-Takatsur: 1-2). Manusia berebut kata dan tafsir pun tidak lepas dari kepentingan dan kadang berbalut hawa nafsu.
Herbert Spencer menyebutnya survival of the fittest, perjuangan hidup yang tiada akhir untuk menjadi sang pemenang. Karena pertarungan hidup yang keras berlakulah hukum Hobbessian, homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi sesamanya.
Apalagi, perjuangan hidup itu bersentuhan dengan ideologi atau keagamaan, sering mengalami sakralisasi yang absolut.
Apalagi, perjuangan hidup itu bersentuhan dengan ideologi atau keagamaan, sering mengalami sakralisasi yang absolut. Hasrat pribadi pun ikut tersakralisasi dan tidak jarang mendapatkan sokongan pengikut.
Tampillah “true believers”, para aktor fanatik buta yang ekspresinya dalam berbahasa, bersikap, dan bertindak cenderung ekstrem atau berlebihan dalam kredo hidup-mati. Ketika saling bersilang pandangan, tidak ada ruang dialog, yang menyeruak sikap monolitik dan benturan (clash) saling menegasikan dan berhadapan yang menimbulkan kegaduhan dan konflik sosial yang keras.
Sekali konflik terjadi, lebih-lebih dalam intensitas tinggi dan saling berhadapan (vis a vis), maka sulit menghentikannya sampai salah satu atau keduanya jatuh. Bagi mereka yang biasa bertarung, boleh jadi pertarungan keras itu hal lumrah dan risiko kehidupan yang niscaya.
Mereka mungkin tidak peduli bila pertarungan keras itu berujung tragedi yang merugikan kehidupan yang luas, seperti perang di Kurusetra dalam kisah pedih Mahabharata yang mengorbankan banyak jiwa. Padahal, sejatinya tiada yang keluar sebagai pemenang, yang terjadi kehancuran hidup bersama.
Hidup pada era disrupsi dan kedigdayaan media sosial tidak berhenti menjadi tantangan baru untuk inovasi dan perubahan besar membangun peradaban maju milik bersama. Disrupsi seperti wajah lain Dewa Janus, yang menurut Francis Fukuyama menjelma sebagai kekacauan besar (the great disruptions) dalam kehidupan masyarakat modern.
Tatanan kebudayaan rusak, kepercayaan tentang nilai tergerus, kriminalitas memuncak, keluarga berantakan, dan individualisme mengalahkan komunitas. Mirip anarki sosial.
Etika, moral, dan nilai luhur mengalami penjungkirbalikan. Berkata-kata tercerabut dari keadaban dan harmoni kehidupan. Bila pada masa klasik para demagog menguasai panggung dunia dengan orasi-orasi membakar emosi massa, yang menjerumuskan umat manusia pada tragedi konflik dan perang.
Kini, pada era dunia digital dan media sosial, para demagog itu menjelma sebagai aktor-aktor influencer, buzzer, dan para penguasa jagat maya yang memproduksi narasi-narasi panas yang membangkitkan potensi perseteruan dan konflik antarsesama.
Simulakra kehidupan pada era disrupsi berlanjut ke jantung kekacauan pemikiran post-truth, yakni ideologi penjungkirbalikan kebenaran, logika, dan fakta palsu untuk menjadi benar dan asli. Nalar awam dibikin kacau hingga tidak dapat membedakan mana yang benar dan salah, baik dan buruk, serta pantas dan tidak pantas.
Semua hal seolah benar, baik, dan pantas meskipun sejatinya salah, buruk, dan tidak patut. Pikiran-pikiran dangkal dan apologi meluas saling mencari lawan. Ilmu dan hikmah menjadi barang mewah di jagat sosial. Nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa mengalami peluruhan sehingga kehilangan kepastian sebagai pedoman hidup.
Jika mengaku pengikut dan pewaris Nabi, tampillah dengan keadaban kata dan perilaku mulia. Seraya menjauhi ujaran-ujaran kasar dan buruk yang berujung mafsadat dan hilangnya kemaslahatan dalam kehidupan bersama.
Dasar keadaban
Bagaimana kaum beriman hidup pada era baru dunia sosial yang mengalami disrupsi sosial? Bagi kaum beriman, sejatinya hidup merupakan jalan kebaikan untuk meraih kebahagiaan dunia-akhirat.
Interaksi antarmanusia baik langsung maupun melalui media digital niscaya menjadi sarana (washilah) mewujudkan nilai-nilai yang baik, damai, bersatu, adil, dan ihsan demi kemajuan dan kemuliaan hidup bersama.
Silaturahim, ta’awun, tarahum, ta’aruf, takaful, dan ukhuwah adalah kunci dalam berinteraksi yang bermartabat itu. Fungsi kata-kata dan segala jenis ujaran lisan maupun tulisan merupakan instrumen penting penyambung interaksi sosial yang berkeadaban luhur.
Nabi Muhammad bersabda, “Fal-yaqul khairan auw liyasmut,” berkatalah yang baik atau diam. Frasa hikmah itu terangkai dalam hadis yang artinya, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata baik atau diam.” (HR Bukhari-Muslim).
Kaum beriman niscaya berkata baik dan jangan berujar buruk. Sungguh tidak mudah mempraktikkan ajaran luhur Nabi itu. Bila tidak bisa berujar baik, lebih baik diam. Berkata yang baik tentang isi maupun cara dan ujarannya. Jangan pula banyak berkata laghauw atau kesia-siaan dan menimbulkan masalah.
Jika mengaku pengikut dan pewaris Nabi, tampillah dengan keadaban kata dan perilaku mulia. Seraya menjauhi ujaran-ujaran kasar dan buruk yang berujung mafsadat dan hilangnya kemaslahatan dalam kehidupan bersama. Kata-kata baik maupun buruk dari para pemilik ilmu dan otoritas sosial dapat berdampak luas.
Kemarahan setinggi apa pun atas keadaan yang tidak menyenangkan atau dipandang salah, berkatalah yang baik dan tidak terpancing memproduksi kontroversi yang meresahkan. Berkata baik itu pantulan keadaban mulia yang diajarkan Nabi, bukan pertanda lemah dan pengecut.
Ketika mendakwahkan kebenaran niscaya dengan hikmah, mauidhah hasanah, dan mujadalah yang terbaik (QS an-Nahl: 125). Bukan dengan cara sebaliknya yang mengirim masalah.
Apalagi, untuk suatu kebenaran menyangkut urusan duniawi yang terbuka untuk didialogkan, bukan kebenaran tunggal yang dipaksakan dengan keyakinan dan nalar subjektif diri. Sebab, hidup, kebenaran, dan dunia itu bukan milik sendiri, melainkan milik bersama dalam segala keragaman yang dianugerahkan Tuhan sebagai sunatullah.
Berkatalah yang baik atau diam! Sungguh mengandung mutiara ilmu dan hikmah yang tinggi dari ajaran Nabi akhir zaman yang berakhlak agung dan bermahkota uswah hasanah.
Kebenaran mutlak hanya milik Allah dan kaum beriman harus meyakininya tanpa ragu (QS al-Baqarah: 147). Namun, insan beriman harus tetap rendah hati dalam memahami dan mendialogkan kebenaran Ilahi itu secara mendalam, luas, dan tidak memutlakkan pandangan sendiri.
Penyampaian kebenaran mengikuti khazanah fikih dakwah yang luas disertai kekayaan nalar bayani, burhani, dan irfani yang interkoneksi dan multiperspektif. Siapa pun tidak boleh memonopoli kebenaran dengan sikap merasa paling benar dan bersih sendiri (QS an-Najm: 32).
Apalagi dalam mengurus persoalan dunia yang bersifat muaamalah. Spektrum kebenarannya terbentang luas dari A sampai Z yang memerlukan dialog dan musyawarah berbasis keluasan ilmu dan hikmah. Memaksakan pandangan pribadi dan kelompok terhadap pihak lain dalam urusan dunia tidaklah bijaksana.
Semua pihak harus terbuka pada dialog secara bermartabat. Kata-kata pun niscaya bijak dan seksama. Urusan muamalah bisa makin berat karena bersilang pandangan yang makin keras disertai narasi-narasi yang memanas. Perlu titik jeda untuk saling berefleksi dan menemukan solusi.
Kata-kata bukan sekadar urusan morfologi yang dengan mudah diproduksi sekehendak diri. Setiap kata mengandung makna dan rasa. Interaksi sosial pun melibatkan relasi antarmanusia yang memiliki cipta, karsa, dan rasa.
Manusia bukan benda mati dan robot hidup. Jika anak cucu Adam dimuliakan Tuhan, fi ahsan at-taqwim, maka interaksi antarmanusia mesti saling memuliakan. Islam mengajarkan hifdz al-lisan dan hikmah dalam berinteraksi dengan sesama sebagai penanda keadaban mulia, yang tidak diberikan Tuhan kepada makhluk lainnya. Apalagi bagi mereka yang berilmu dan paham agama, maka setiap ujaran kata haruslah mutiara ilmu dan hikmah yang menebar pencerahan bagi sesama dan rahmat untuk semesta.
Berkatalah yang baik atau diam! Sungguh mengandung mutiara ilmu dan hikmah yang tinggi dari ajaran Nabi akhir zaman yang berakhlak agung dan bermahkota uswah hasanah. Bila Rasul mengajarkan akhlak mulia dalam misi kerisalahannya, kewajiban pengikutnya adalah menjadikannya teladan ke dalam praktik hidup mulia.
Meneladan bukan dalam kegagahan orasi dan retorika indah di panggung fatamorgana, melainkan menjalaninya di bumi nyata. Ilmu setinggi langit—apalagi sedangkal tanah—tidak akan berbuah peradaban utama manakala nihil hikmah dan mozaik akhlak mulia dalam keadaban kata-kata dan perbuatan nyata!
Oleh: PROF. HAEDAR NASHIR