• Ilmu Bahagia Pangeran Jawa

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Minggu, 31 Oktober 2021
    A- A+
    Foto: Ki Ageng Suryomentaram


    KORANRIAU.co- Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa pada rentang waktu 1892-1962 hidup seorang bangsawan Kraton Yogyakarta yang pada awal kehidupan remaja-dewasanya mengalami krisis identitas hingga hampir membuatnya bunuh diri. Dia mengalami kegalauan luar biasa, mempertanyakan habis-habisan tentang jati dirinya, tidak pernah puas dengan dirinya, bahkan mengatakan, "Aku tidak pernah bertemu dengan manusia."

    Dia seorang anak raja yang akibat dari gejolak batin pada dirinya menganggap yang ada di istananya hanyalah yang disembah dan yang menyembah, yang diperintah dan yang memerintah. Sebuah potret kejumudan tingkat tinggi pada diri seorang manusia.


    Kudiarmaji nama kecilnya. Menginjak usia 18 tahun dinobatkan sebagai pangeran dengan gelar Bendoro Pangarena Haryo (BPH) Suryomentaram. Tuhan memberinya anugerah garis kehidupan yang tidak mampu ia tolak untuk terlahir sebagai buah cinta Sri Sultan Hamengkubuwono VII dengan Bendoro Raden Ayu (BRA) Retnomandoyo putri Patih Danurejo VI.



    Ayahnya seorang raja dan ibunya seorang putri pepatih dalem atau jabatan setingkat perdana menteri di Kraton Yogyakarta. Memiliki latar belakang keluarga seperti ini jelas posisi luar biasa terpandang dalam struktur sosial masyarakat di belahan bumi mana pun. Posisi sosial yang begitu prestise nyatanya tidak sejalan dengan kebahagiaan dan kepuasan hidup yang dirasakan Kudiarmaji. Kegalauan dan pertanyaan-pertanyaan tentang hidup dan dirinya sendiri terus menerus bergentayangan.


    Menurut catatan, kegalauannya ditambah dinamika politik kraton dan istri pertamanya yang meninggal sempat membuat Suryometaram muda melakukan percobaan bunuh diri dengan melompat ke Sungai Progo. Seiring berjalannya waktu ia terus mencari jawaban dengan belajar dari satu pemuka agama ke pemuka agama yang lain, dari satu guru ke guru lain. Berbagai aliran kebatinan ia jejali, kerap bertapa di berbagai tempat yang kramat, namun hasilnya belum memuaskan dan menyisakan kekecewaan.


    Kondisi penuh tanda tanya seperti ini menyebabkan pangeran kelahiran 20 Mei 1892 ini benar-benar memiliki sikap yang nyeleneh. Harta yang dimilikinya dikuras untuk dibagikan kepada orang-orang. Mobil mewah yang ia miliki diberikan cuma-cuma kepada sopirnya, kuda-kuda pilihan miliknya dihadiahkan untuk pekathik-nya (juru piara kuda).



    Tidak sampai di situ, Sang Pangeran juga sempat meninggalkan istana minggat ke Cilacap menjadi penggali sumur, bertani, dan berdagang busana laiknya rakyat biasa. Kondisi ini menyebabkan sang ayah harus memutar otak untuk membujuknya kembali ke kraton karena sebagai seorang pangeran tindakan ini jelas tak mungkin dibiarkan begitu saja.


    Melepaskan Kebangsawanan


    Kepada sang ayah dan pemerintah Hindia Belanda, Suryomentaram sampai memohon agar gelar kebagsawanan yang ia terima ditanggalkan saja. Permohonan ini baru dikabulkan ketika saudaranya naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan mengantikan ayahnya yang wafat. Setelah peristiwa ini Suryomentaram pensiun dari kraton dan tinggal di Salatiga.


    Pada tahun 1925 Suryomentaram menikah dan tinggal di Salatiga oleh warga sekitar dijuluki Ki Gede Beringin. Suryometaram benar-benar mendalami rasa dirinya. Melakukan riset dengan menggunakan dirinya sediri sebagai laboratorium untuk meneliti rasa dirinya dan mencoba mengungkap pertanyaan-pertanyaan dan kegalauan yang sejak dulu masih tersimpan.


    Sosok Suryometaram yang telah meninggalkan kraton memilih gaya eksentrik dengan celana pendek, kaos oblong, dan mengenakan jarit motif parang rusak yang dikenakannya sebagai syal banyak orang kemudian menganggapnya sebagai dukun. Orang-orang di sekitar kerap menjadikannya tempat untuk mengadu dan bertanya pelbagai persoalan hidup, bahkan ada pula yang meminta berkah.


    Pencerahan dan Jalan Kebahagiaan


    Perjalanan hidup dan gejolak yang dialami Suryomentaram pada akhirnya menghantarkannya pada titik pencerahan. Suatu malam ia membangunkan istrinya yang tengah terlelap dan berkata:


    "Bu sudah aku temukan yang aku cari. Aku tidak bisa mati. Ternyata yang merasa belum pernah bertemu dengan manusia, yang merasa kecewa dan tidak puas ya itulah manusia, wujudnya Si Suryamentaram ini. Diperintah kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa, dimintai berkah kecewa, dianggap dukun kecewa, dianggap gila kecewa, jadi pangeran kecewa, jadi pedagang kecewa, jadi petani kecewa, ya itulah orang bernama Suryomentaram, lalu mau apa lagi? Sekarang tinggal dilihat, diawasi dan dijajaki."


    Kalimat terakhir dari Suryomentaram kepada istrinya dalam bahasa aslinya, bahasa Jawa berbunyi, "Saiki mung kari disawang, diweruhi, lan dijajaki" inilah yang pada level kesadaran selanjutnya dijadikannya dasar dalam mentransformasikan pengalaman hidup menjadi kawruh atau pengetahuan tentang jiwa untu menggapai begja atau kebahagiaan.


    Dari begitu banyak ajarannya tentang jiwa hingga mengkristal dan disebut Kawruh Jiwa, dia pernah merumuskan secara sederhana jalan menju kebahagiaan. Grangsang Suryomentara yang merupakan putra Ki Ageng Suryomentaram sebagaimana dikutip dari Psikologi Raos: Saintifikasi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryamentaram karya Ryan Sugiarto menuliskan bahwa Ki Ageng pernah menyampaikan pidato di hadapan audiens dari Belanda dengan naskah yang diberi judul De Inwijding Tot Het Euwigdurende atau dalam Bahasa Jawa Kawruh Kang Marakke Begja yang memuat rumusan tentang 10 langkah untuk sampai pada Ilmu Bahagia.


    10 Langkah Hidup Bahagia


    Pertama, di antara bumi dan langit tidak ada barang yang pantas dicari dan sebaliknya tidak ada yang pantas dihindari mati-matian. Sebab barang yang dicari secara mati-matian tersebut tidak akan menyebabkan bahagia selamanya. Begitu pula dengan barang yang dihindari mati-matian pun juga tidak menyebabkan celaka selamanya.


    Kedua, manusia adalah karep yang dalam konteks ini dapat diartikan sebagai keinginan, harapan, dorongan yang pada kenyataannya mati-matian dicari atau dihindari. Sebab manusia punya pemikiran jika keinginan itu bisa dicapai atau keinginannya bisa dilakukan pasti merasa bahagia, senang selamanya, dan begitu pula jika sebaliknya maka akan celaka selamanya. Pemikiran demikian menurut Suryomentaram salah. Sudah banyak keinginan terlaksana, tidak menyebabkan senang apa-apa apa dan begitu pula sebaliknya tidak celaka selamanya.


    Ketiga, bungah dan susah adalah rasa hidup. Kedau istilah itu bisa disebut juga dengan istilah lain prihatin-seneng, rekasa-kepenak, kebeneran-ora kebeneran. Bungah dan susah ada dalam setiap hidup manusia, dan sifatnya bolak-balik, keduanya abadi atau ajeg. Bungah adalah hasil dari keinginan yang tercapai. Susah adalah hasil dari keinginan yang tidak tercapai.


    Sifat dari keinginan atau karep adalah mulur-mungkret. Mulur artinya bertambah sedangkan mungkret artinya menyusut. Setiap keinginan yang terlaksana akan diikuti dengan perasaan senang, namun keinginan tidak akan berhenti begitu saja, pencapaian akan keinginan akan memunculkan keinginan baru dan begitulah seterusnya.


    Hal itu akan terus menerus sampai ada keinginan yang tidak terlaksana, maka raos atau yang dirasakan kemudian berubah menjadi susah dan keinginanya akan mungkret (menyusut). Jadi hidup seseorang itu bergerak dinamis antara senang-susah-senang-susah yang terus mulur dan mungkret.


    Keempat, memahami di mana letak dari keinginan; keinginan orang hidup itu mencari semat, derajat, dan kramat. Semat adalah kekayaan material. Drajad adalah kedudukan atau posisi sosial dalam masyarakat. Kramat adalah mencari kemampuan atau keunggulan yang lebih dari orang lain.


    Kelima, karep adalah sumber hidup yang terdalam pada diri manusia. Sifatnya, sebagaimana yang telah disebutkan, mulur dan mungkret, yang melahirkan rasa senang dan susah yang menjadi dasar hidup manusia. Jika ditarik dalam pengalaman individu satu dengan lainnya, maka didapati raos sami (perasaan yang sejatinya sama). Orang kaya sama dengan orang miskin, raja sama dengan kuli, dalam artian sama dalam merasakan rasa hidupnya yaitu senang dan susah. Ukuran dan waktu merasakan senang dan susah bisa jadi sama, tetapi barang-barang atau wahana pemuasnya lah yang berbeda.


    Keenam, memahami dan merasakan setiap orang adalah sama, yaitu terkadang senang dan terkadang susah orang akan keluar dari raos meri (iri) dan pambegan (sombong). Meri adalah rasa kurang dibanding dengan orang lain, sedangkan pambegan adalah perasaan unggul dibandingkan dengan orang lain.


    Iri dan sombong adalah watak manusia yang menyebabkan rasa menbeda-bedakan, lawan dari raos sami. Kondisi ini menyebabkan manusia memiliki gambaran atau pemahaman yang salah terhadap barang-barang kebendaan atau kejadian-kejadian di lingkungannya. Yang paling celaka adalah dengan penilaian tersebut orang bisa bertindak di luar nalar, atau bisa berpikiran bahwa hidup itu seperti neraka.


    Maka jika seseorang mengetahui dan menumbuhkan raos sami pada diri, mereka akan keluar dari neraka iri-sombong dan menjadi manusia yang tenteram, damai, dan mudah untuk menggapai syukur atas hidupnya.


    Ketujuh, Karep (keinginan) itu bersifat tunggal, tidak dapat dibagi-bagi, tidak terbentuk dari unsur, oleh karena itulah karep disebut barang asal yang menggerakkan hidup. Sifat dari karep adalah bertambah dan menyusut yang menyebabkan perasaan senang dan susah, itulah rasa hidup. Bahkan menurut Suryomentaram ketika masih bayi seseorang sudah memiliki karep, tandanya adalah mencari susu ibu. Dalam pandangannya juga karep tidak pernah mati, ketika orang meninggal karep pun tetap langgeng.


    Kedelapan, untuk mengetahui dan mengakui bahwa sifat karep adalah langgeng, diri harus keluar dari neraka getun dan sumelang. Getun (kecewa) adalah rasa susah karena kejadian yang sudah terjadi, sedangkan sumelang (khawatir) adalah rasa tidak enak akan sesuatu yang belum terjadi. Getun dan sumelang menyebabkan orang mudah tergesa-gesa (kemrungsung) dan putus asa (semplah) yang juga dapat menyebabkan seseorang bertindak macam-macam tanpa nalar atau tanpa harapan.


    Memahami bahwa seseorang tidak bisa lebih bahagia atau lebih celaka akan melepaskan orang dari belenggu kecewa dan khawatir. Orang yang kekarepan-nya (keinginannya) sudah bebas dari kekecewaan dan kekhawatiran tidak akan gundah dalam hatinya, karena telah mengerti dengan benar bahwa karep sifatnya langgeng. Jika sudah demikian, maka diri keluar menjadi pribadi tatag. Tatag dapat berarti berani, tidak takut, dan kuat menghadapi apapun.


    Kesembilan, jika orang sudah memahami bahwa sifat karep adalah langgeng, maka dalam hidup ini isinya adalah susah-senang dan dalam hidupnya ini tidak ada yang ditakutki namun juga tidak ada yang pantas untuk diinginkan.


    Pokok yang ditakuti manusia adalah merasa susah, orang tidak berani melakukan sesuatu yang menyebabkan dirinya mendapati perasaan susah, namun tidak ada susah yang tidak bisa dijalani manusia. Sebaliknya pokok yang paling dicari manusia adalah senang, namun di dunia ini nyatanya tidak ada senang yang abadi.


    Agaknya butuh kehati-hatian dalam memahami poin kesembilan ini. Dalam konteks ini yang disebut keinginan lebih kepada keinginan yang merupakan manifestasi dari sifat serakah atau bahkan tamak di luar dari apa yang memang benar-benar menjadi kebutuhan berdasarkan kemampuan seseorang tersebut.


    Kesepuluh, jika seseorang sudah mampu memahami langkah sebelumnya hendaknya ia mampu mengajak dialog dengan karep-nya sendiri: "Hai Karep, apa kamu sudah mengetahui kalau kamu bakal terlaksana?" jawabannya pasti "belum mengerti". Dialog lalu dilanjutkan dengan: "Aku telah memahamimu kamu akan merasa senang jika kamu tercapai, tetapi kamu lalu mulur (mengembang). Jika tidak tercapai, kamu akan merasa susah, dan kamu lalu mungkret (menyusut). Sekarang terserah, tidak ada yang perlu Aku takuti atasmu."


    Seseorang mampu berdiskusi dengan karep dan menyadari bahwa sifat karep ini tidak mampu diubah karena memang begitulah hukumnya: bunggah-susah, meri-pambegan, getun-sumelang, maka ia akan mengambil jarak dan memisahkan diri dari karep-nya sendiri. Ia memberikan pernyataan kepada si karep: "Berlakulah semaumu, itu tidak mempengaruhiku. Keadaan apa pun bisa mempengaruhimu, tapi tidak dengan Aku."


    Kesadaran pada level ini menyebabkan diri memainkan peran sebagai Aku yang berdaulat atas karep. Sedangkan watak Aku adalah senang dan cinta kasih; Aku mengasihi karep; karep dianggap lucu, menjadi tontonan dan mainan yang abadi karena sudah mampu diidentifikasi, diawasi, dan dikendalikan.


    Seseorang yang telah memiliki kesadaran bahwa Aku paham, Aku mengawasi, dan Aku berdaulat atas karep mengantarkan pada raos begja atau tumbuhnya perasaan bahagia di mana saja, kapan saja, dan bagaimanapun keadaan orang itu. Kini karep tidak mampu lagi mengombang-ambingkan Aku. Kendali sepenuhnya berada pada Aku. Dengan cara seperti inilah kurang lebih begja atau kebahagiaan versi Suryomentaram diraih, secuil mutiara dari begitu dalamnya samudera pemikiran sang pangeran.


    Bagaimanapun juga Ki Ageng Suryomentaram tidak pernah mengklaim pemahamannya sebagai kebenaran absolut, juga tidak mengklaim apa yang disampaikannya sebagai ilmu tentang benar-salah, baik-buruk, dan lain sebagainya. Ia hanya mencoba memaparkan hasil penelitiannya terhadap dirinya sendiri di mana metode yang ia pilih dalam mengkonfirmasi temuannya adalah mendiskusikan apa yang ia rasakan kepada orang-orang di sekitar secara egaliter.detikcom/nor



    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Ilmu Bahagia Pangeran Jawa "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com