KORANRIAU.co,PEKANBARU- Kepala Dinas (Kadis) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau Mamun Murod mengungkapkan, upaya penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Provinsi Riau memang harus dilakukan secara ekstra. Meskipun dalam upaya penanganan ini sudah melibatkan banyak pihak.
Hal itu lantaran, lahan gambut di Riau sangat luas. Sehingga jika terjadi Karhutla di lahan gambut membutuhkan waktu yang lama, dan biaya yang besar, baik untuk penanganan hingga pemulihan fungsi gambut tersebut.
“Pertanyaan yang sering kami terima, kan sudah ada BRGM (Badan Restorasi Gambut dan mangrove) tapi kenapa Kebakaran masih terjadi? Karena memang luasan lahan gambut di Riau sangat luas. Jadi upaya pencegahan dan penanganan juga harus ekstra,” tuturnya dalam Dialog Bernas Pengelolaan Lahan Gambut Wilayah Sumatera yang dilaksanakan oleh BRGM secara virtual, Jumat (6/8/21).
Dari data yang dipaparkan Mamun Murod, dia menyebut, luas gambut di Riau saat ini hingga 4,9 juta hektar atau 64% dari total luasan lahan di Riau. Dengan luas lahan gambut ini, menurutnya, tentulah akan sulit melakukan pengendalian jika sudah terjadi Karhutla.
Dia menambahkan, saat ini di Riau sudah ada 59 kawasan hidrologis gambut atau KHG yang masuk dalam daftar intervensi. Dari jumlah tersebut, baru 16 KHG yang masuk dalam intervensi oleh BRG. Dengan kata lain, di Riau masih banyak KHG yang membutuhkan tindakan intervensi untuk pemulihan gambut agar berfungsi sebagaimana mestinya.
Masalah lain yang juga menjadi faktor penyebab munculnya Karhutla di Provinsi Riau, yakni letak antara Riau dengan Provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan dalam beberapa kasus, adanya tekanan - tekanan dari pendatang ilegal untuk menguasai suatu kawasan
“Kasus ini sudah terjadi di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul). Ada indikasi dari sekelompok masyarakat untuk coba - coba (membakar lahan) sehingga diharapkan itu bisa dijadikan keterlanjuran. Dengan demikian mereka bisa membangun kebun yang baru. Di Riau untuk sekarang indikasi keterlanjuran sudah tidak ditolerir lagi. Ini lah salah satu persoalan yang kami hadapi di lapangan,” tutur Mamun Murod.
Pada tahun 2021, Riau mendapat dukungan dana dari BRGM sebesar Rp18,3 miliar. Jumlah ini jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, meningkat signifikan sebesar Rp3 miliar, dan diharapkan jumlahnya akan terus naik di tahun 2022, dengan luasan KHG yang menjadi sasaran intervensi juga bertambah.
“Seperti yang kita ketahui, bahwa Karhutla yang terjadi selama ini didominasi oleh faktor manusia.Meskipun perubahan iklim juga memberikan kontribusi terhadap potensi munculnya Karhutla, khususnya di Provinsi Riau,” ucapnya.
Terakhir, Mamun Murod pun menguraikan beberapa usulan yang harus dilakukan dalam upaya memaksimalkan pencegahan karhutla di Provinsi Riau. Pertama, optimalisasi fungsi sekat kanal, sumur bor dengan sistem silvo fishery di sekat kanal.
Kedua, beberapa daerah menjadikan kanal sebagai jalur transportasi sehingga perlu di pikirkan jenis sekat kanal yang di bangun cocok untuk kondisi ini dengan sisten buka tutup.
Ketiga, sekat kanal yang sudah dibangun di Riau pada tahun 2017 - 2018, sudah banyak yang rusak, sehingga perlu perbaikan dengan pembangunan sekat kanal permanen.“Sebab kami melihat betapa ampuhnya sekat kanal dalam upaya pencegahan Karhutla,” tuturnya.
Keempat, studi kasus di Desa Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, di mana sebelum sekat kanal dilakukan, hampir setiap tahun terjadi Karhutla di daerah tersebut. Namun sejak dibangunnya sekat kanal tak muncul lagi Karhutla. “Keuntungan lain, dengan terjaganya kadar air di lahan gambut di daerah itu, telah meningkatkan produktivitas panen sagu masyarakat,” sebutnya.nor
No Comment to " Kadis LHK Riau: Cegah Karhutla, Optimalisasi Fungsi Sekat Kanal "