KORANRIAU.co-Tadi sore, sehabis Webinar Literasi Digital, saya dihubungi wartawan yang bertanya perbudakan di Indonesia era Belanda. Pertanyaan itu berkaitan dengan permintaan maaf Walikota Amsterdam Femke Halsema atas peran negaranya dalam perdagangan budak.
Saya nggak mau jawab. Alasannya, yang seharusnya minta maaf bukan setingkat walikota tapi pemerintah Belanda atas nama Ratu. Wartawan itu bertanya lagi; "Lho, koq gitu."
Saya bilang yang menjajah kita bukan pemerintah kota Amsterdam, tapi pemerintah Kerajaan Belanda. Ngapain pula walikota itu minta maaf kepada bangsa Indonesia.
Sebelum Amsterdam, Rotterdam dan Groningen juga minta maaf lebih dulu. Perdagangan budak di Belanda itu dimulai di Rotterdam. Sebab, Vatikan menyetujui perbudakan pada Konsili Rotterdam.
Wah, wartawan itu tambah bingung. Lalu saya bilang lagi, yang gamang aja dah, mau nggak pemeirntah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945?
Sesuatu yang tidak mungkin. Jika kita akui, maka apa yang dia lakukan di Indonesia antara 1945-1949 adalah kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Artinya, Belanda harus mengadili dirinya sendiri di Den Haag.
Saya bilang kepada wartawan itu, kita ini sampai sekarang nggak bisa lepas dari mental inlander (anak jajaha). Dielus walikota saja senangnya bukan main. Seharusnya, pernyataan seperti itu nggak usah dibikin ramai pers. Anggap saja angin lalu, sebab bukan itu yang kita butuhkan!
Setelah itu saya telepon wartawann Muhammad Subarkah. Saya ceritakan soal walikota Amsterdam itu. Jadilah, berita Subarkah di Republika yang mengutip Batara Hutagalung.cnnindonesia/nor
Oleh: Teguh Setiawan, Jurnalis Senior.
No Comment to " Lucuan Permitaan Maaf Wali Kota Amsterdam "