KORANRIAU.co-“Tak ada sama sekali pengakuan atas serangan yang membuat keluarga-keluarga Palestina dicerabut dari rumah-rumah mereka saat ini. Anak-anak yang ditahan dan dibunuh tak disebutkan. Tak ada pengakuan atas tindakan penuh kekerasan kepolisian Israel terhadap jamaah yang sujud dan berdoa sembari merayakan hari-hari paling suci mereka di tempat paling suci mereka. Tak disebut sama sekali bahwa al-Aqsha dikepung kekerasan, gas air mata, asap, saat orang-orang beribadah…”
Sembari berulang kali tercekat menahan tangis, anggota parlemen Amerika Serikat (AS) keturunan Palestina dari Partai Demokrat, Rashida Tlaib membacakan pernyataan kerasnya itu di ruang rapat House of Representatives, pada Kamis (13/5) waktu setempat. Yang ia sesalkan adalah sikap Joe Biden, presiden yang separtai dengannya, juga Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin.
“Membaca pernyataan dari Presiden Biden, Menteri Blinken, dan Jenderal Austin serta pimpinan kedua partai, Anda bisa mengira bahwa tak ada yang namanya Palestina,” Tlaib melanjutkan.
Belum setahun berlalu --tepatnya pada Agustus 2020, tiga bulan sebelum pemilihan presiden AS-- Joe Biden merayu pemilih Muslim Amerika Serikat dengan sejumlah janji. “Joe Biden percaya pada nilai setiap warga Palestina dan Israel. Dia akan bekerja untuk memastikan bahwa Palestina dan Israel menikmati kebebasan, keamanan, kemakmuran, dan demokrasi yang setara,” tulis sikap resmi yang dilansir tim kampanyenya dan dilansir untuk komunitas Muslim Amerika Serikat.
Janji itu mengesankan, Biden bakal berbeda dari pendahulunya Donald Trump Jr yang kebijakan-kebijakannya sangat pro-Israel. Misalnya soal pengakuan sepihak AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang disusul pemindahan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke wilayah sengketa itu, atau soal dukungan bagi Israel mencaplok wilayah-wilayah di Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan serta Lembah Jordan.
Tapi belakangan, saat sudah lebih seratus warga Palestina gugur dalam pengeboman udara Israel, seperempat di antaranya anak-anak, janji kampanye itu macam tiada bekasnya. Joe Biden yang berulang kali menegaskan perlunya kebebasan beragama tak menyinggung perayaan hari raya suci Idul Fitri yang dirusak kedukaan dari bom-bom Israel.
Kepada wartawan di Gedung Putih, seperti dilansir Aljazirah pada Jumat (14/5) ia malah mengatakan bahwa bom-bom yang dijatuhkan Israel tersebut bukan “reaksi berlebihan”. Berulang kali ia menekankan hak Israel mempertahankan diri dan meminta roket-roket Hamas berhenti ditembakkan. Seperti yang dibilang Rashida Tlaib, Biden seperti hidup dalam ilusinya sendiri di mana roket-roket itu meluncur dengan sendirinya tanpa provokasi brutal sebelumnya.
Pada Rabu (12/5), AS juga memblokir upaya anggota-anggota lain di Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang menyatakan kerisauan atas meningkatnya kekerasan di wilayah Yerusalem Timur dan Jalur Gaza serta meminta kekerasan segera dihentikan. "Anggota dewan mendesak dihentikannya segera seluruh aksi kekerasan, provokasi, peghasutan, dan penghancuran. Meminta hukum internasional dihormati termasuk hukum kemanusiaan internasional dan perlindungan warga sipil," bunyi proposal resolusi itu.
Dengan penolakan AS yang merupakan salah satu anggota tetap itu, resolusi tersebut tak jadi terbit. Bahkan untuk resolusi yang tak secara eksplisit menyebut Israel itu saja Gedung Putih tak mau mendukung!
Mengapa sikap Biden dan AS tersebut krusial? Begini, merujuk laporan lembaga penyedia informasi bagi legislator AS, Congressional Research Service, sejak Israel didirikan pada 1948, AS telah menggulirkan sedikitnya 146 miliar dolar AS bagi negara Zionis tersebut. Sementara sejak 1985, AS secara reguler menggelontorkan 3 miliar dolar AS per tahun untuk Israel. Hampir semua bantuan itu untuk keperluan militer.
Pada 2016, AS dan Israel menyepakati memorandum sepuluh tahun. Isinya sepanjang tahun fiskal 2019-2028, AS bertekad menggelontorkan bantuan senilai 38 miliar dolar AS untuk Israel. Dari jumlah itu, 33 miliar dolar AS adalah bantuan militer luar negeri dan 5 miliar dolar AS untuk misil pertahanan.
Israel juga ditetapkan sebagai negara di luar AS pertama yang boleh mengoperasikan F-35, pesawat tempur generasi terbaru yang tengah dikembangkan di AS. Saat ini, Israel telah memesan 50 unit pesawat tempur tersebut yang dibiayai bantuan dana dari AS.
Untuk tahun fiskal 2021, administrasi sebelumnya telah meminta persetujuan kongres bagi dana bantuan militer untuk Israel senilai 3,3 miliar dolar AS dan bantuan misil pertahanan senilai 500 juta dolar AS. Tak kalah penting, pemerintah AS juga meminta persetujuan 5 juta dolar AS untuk membantu mendanai migrasi ke Israel yang tentunya akan memicu dibangunnya pemukiman ilegal dan menyingkirkan warga Palestina.
Secara diplomatik, menurut Sahar Okhtovat dalam makalahnya untuk Universitas Sidney, "The United Nations Security Council: Its Veto Power and Its Reform", Amerika Serikat sebagai anggota tetap DK PBB telah 42 kali memveto keputusan soal Israel. Sepanjang 1991-2011, sebanyak 11 veto digunakan AS untuk melindungi Israel.
Artinya, saat bom-bom meluncur ke Jalur Gaza; saat polisi-polisi menggunakan peluru tajam, granat kejut dan bom asap di Masjid al-Aqsha; ada uang rakyat Amerika Serikat yang disalurkan pemerintah mereka untuk Israel di situ. Ada cap persetujuan dari Gedung Putih di situ.
Tak heran, saat serangan ke al-Aqsha dan Gaza berlangsung, ribuan warga AS berunjuk rasa di berbagai lokasi dari barat ke timur mulai Los Angeles, Washington, Chicago, New York. Bahkan juga di tempat-tempat yang jadi “markas” kalangan konservatif semacam Oklahoma dan Ohio. Senada dengan sentimen warga dunia, mereka mendesak pemerintah mereka ikut mengakhiri kekerasan terhadap bangsa Palestina.
Pada akhirnya, serangan-serangan ke Palestina secara tak langsung bukan hanya tarian Israel sendirian. Ia adalah juga dansa dengan Amerika Serikat. Sejauh ini, Joe Biden masih ikut menari.republika/nor
No Comment to " Mana Janjimu Soal Palestina, Biden? "