• Harga TBS Petani Membaik setelah Berdirinya BPDPKS

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Jumat, 14 Mei 2021
    A- A+

     


    JAKARTA, koranriau.co - Petani sawit merasakan berkah kenaikan harga TBS setelah berdirinya BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) melalui Inpres Nomor 61 Tahun 2015. Kebijakan mandatori biodiesel berdampak terhadap serapan sawit dan harga TBS petani, dan harga TBS penutupan sebelum libur lebaran naik signifikan. 

    Salah satu tujuan berdirinya BPDPKS  adalah melakukan Pungutan Eksport CPO atau Levy dan dana ini akan dimanfaatkan untuk tujuan (1) pengembangan SDM Pekebun, (2) Riset, pengembangan perkebunan kelapa sawit, dan hilirisasi, (3) promosi perkebunan kelapa sawit, (4) Peremajaan sawit rakyat (PSR), (5) sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit.

    "Jangan salah pungutan ekspor ini bukan Pajak atau masuk ke APBN atau APBD. Berbeda dengan bea keluar (BK) peruntukannya pendapatan negara," ujar Dr (c) Ir. Gulat Manurung, MP.,C.APO, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO).

    Ia mengatakan, konsep yang ditaja dalam menjaga harga TBS adalah dengan cara meningkatkan  penyerapan CPO domestic.

    Program pencampuran CPO ke BBM jenis solar sudah dicanangkan sejak 2008 melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 32/2008, dengan target B10 pada 2015. Dimulai dari B10 lalu dapat meningkat menjadi B20.

    Selanjutnya, secara resmi pada 23 Desember 2019 Presiden Jokowi me-launching Program Mandatori B30 (campuran biodiesel 30% dan 70% BBM jenis solar), dan per 1 Januari 2020 efektif berlaku di seluruh SPBU Indonesia.  

    "Program Mandatori B30 inilah yang menjadi titik nol sejarah mengapa harga TBS Petani sangat terjaga dan Indonesia pun tercatat sebagai negara pertama di dunia yang mengimplementasikan B30," jelas kandidat Doktor Lingkungan ini.

    Menurutnya, implementasi B30 menciptakan  double effect yang membuat dunia terpesona. Pertama,  serapan Domestik meningkat signifikan dan kedua,  mengurangi impor solar sebesar bauran tersebut. 

    Dalam pandangan Gulat, ada lima faktor pendorong harga CPO dunia meskipun saat yang bersamaan ekonomi dunia melemah seiring badai Covid-19. Pertama, tingginya serapan CPO Domestik dengan B30 yang mencapai 7,226 juta ton CPO pada 2020 sehingga mengakibatkan kelangkaan CPO dunia dan  berlakulah teori ekonomi. 

    Kedua, dunia tidak bisa lepas dari ketergantungan CPO Indonesia, meskipun banyak negara sebagai penghasil minyak nabati dari tanaman selain sawit, namun efisiensi ekonomisnya 9,8 kali lebih mahal diibanding sawit (jika ditinjau dari penggunaan lahan), ibaratnya jika goreng pisang dipakai dengan minyak goreng sun flower maka harga goreng pisang bisa mencapai Rp 42ribu jika di rupiahkan. 

    Ketiga, faktanya tangki penimbunan CPO di negara-negara importir CPO Indonesia hanya terisi 30-60% dari total kapasitas normalnya karena terjadi kelangkaan CPO dunia. Dengan demikian permintaan CPO akan terus melaju. 

    Keempat,  terjadi penurunan aktivitas budidaya tanaman penghasil minyak nabati di Eropa dan negara penghasil minyak nabati lainnya (selain sawit), penurunan ini cenderung diakibatkan dampak pandemic covid-19. Sementara aktivitas agronomi dan agroindustry kelapa sawit sama sekali tidak terganggu (hasil survey APKASINDO di 22 Provinsi, 2020). 

    Kelima terbongkarnya rahasia negara-negara pengimport CPO Indonesia bahwa tujuan mereka mengimport CPO bukan hanya untuk kebutuhan konsumsi (yang selama ini digaungkan seperti itu), tetapi juga untuk kebutuhan biodiesel, bahan bakar lainnya dan resell (menjual kembali).

    "Kelima faktor inilah mengapa harga CPO meningkat drastis.  Sesungguhnya tanpa kejadian Pandemi Covid-19 pun harga CPO akan semakin naik. Kata kuncinya serapan domestik CPO Indonesia melalui program biodiesel," jelasnya.

    Menurut Gulat, data GAPKI menjelaskan, bahwa produksi CPO Indonesia 2021 ini akan berada pada kisaran 53,932 juta ton CPO, atau tumbuh 4,27% dibanding tahun 2020 (51,627juta ton). Persentase serapan dalam negeri (domestic) tahun 2021 adalah diprediksi 33,04% (18,504 juta ton CPO) dan tujuan eksport adalah 66,95% (37,01 juta ton CPO). 

    Struktur pemanfaatan CPO Indonesia untuk kebutuhan domestik ini antara lain kebutuhan pangan 47,02%, kebutuhan industry oleokimia 9,73%, dan Campuran Solar (B30) sebesar 43,26%. "Coba kita bayangkan jika tanpa B30 di tahun 2021 ini, berarti dari total produksi CPO Indonesia yang untuk serapan domestic hanya 19,46%, sisanya 80,53% adalah eksport, maka CPO Indonesia akan goyang dan Petani Sawit hanya nompang bengkak saja," ucapnya. 

    Faktanya, bahwa sebelum diberlakukannya B30, harga TBS Petani jika kita ambil tahun 2017, 2018, 2019 hanya pada kisaran Rp. 700-1200/kg TBS, tetapi setelah diberlakukannya B30 yang di support oleh dana BPDPKS terhitung mulai Januari 2020, harga TBS Petani berada pada level Rp1.800-Rp.2550. 

    Dengan semakin meningkatnya harga CPO Dunia, maka PE juga akan meningkat yang per hari ini PE mencapai 255 USD/ton CPO tujuan eksport dan pundi-pundi negarapun meningkat melalui Bea Keluar sebesar 144 USD/Ton CPO. 

    Jika dihitung potensi total uang yang terkumpul di tahun 2021 dari PE ini mencapai Rp136,265 Triliun dan dari BK sebesar Rp76,950 Triliun, Total PE dan BK ini Rp213,215 Triliun (dengan asumsi 1 USD=Rp14.250).

    "Kami Petani sawit sangat mensyukuri kebijakan Mandatori B30 ini, dan BPDPKS sebagai perpanjangan tangan Kemenkeu dalam mengelola dana PE tersebut harus benar-benar menjalankan 5 fungsi BPDPKS, biar irama dan musiknya sesuai dengan telinga Indonesia, kekurangan dan tidak tercapainya beberapa target adalah tantangan kepada semua pengambil kebijakan di negeri ini." pungkasnya.

     Sawit Indonesia adalah anugerah Tuhan untuk dunia, kita sebagai bangsa harus bangga dan paduserasi untuk menjaganya. Selamat hari Raya Idul Fitri 1442. (rls) 

    Subjects:

  • No Comment to " Harga TBS Petani Membaik setelah Berdirinya BPDPKS "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com