KORANRIAU.co-Stasiun Lempuyangan, 1883. Kereta itu bergerak pelan meninggalkan kerumunan orang yang mengantarkan sanak kerabatnya.
Dari kejauhan samar-samar masih terdengar kumandang adzan yang dilantunkan. Pada waktu itu lazim diperdengarkan suara adzan untuk mengantarkan calon tamu Allah yang hendak berangkat haji.
Di dalam kereta, dipandangi sapu tangan putih bersulam gambar bunga yang dipegangnya. Diusapnya perlahan seakan ingin mendapat kekuatan. Pandangannya menerawang jauh.
Ada titik hangat di sudut matanya. Perjalanan ini bukanlah perjalanan biasa. Waktu tempuh berbulan-bulan lamanya. Tak hanya menumpang kereta, ia harus ganti bermacam armada, dari kapal laut hingga unta, melintasi banyak negara.
Pemuda berusia 15 tahun itu tertunduk dalam. Berkelebat bermacam bayangan dalam pikiran. Orangtua yang sangat dihormatinya, berganti bangunan suci berselimut kiswah hitam, berganti orang-orang berihram yang melantuan talbiyah, lalu sosok gadis yang mengulurkan sapu tangan yang kini digenggamnya.
“Astaghfirullah!”
Tersentak, keduanya mengucapkan kalimat yang sama. Tak ada yang menyadari, kecuali semesta yang sunyi. Jarak terentang kian jauh.
Di dalam kamarnya, gadis itu tertunduk lesu. Hatinya disayat pilu. Berapa lama ia harus menunggu?
Pernikahan keduanya telah diatur keluarga sekembali Muhammad Darwis dari Tanah Suci, yang kemudian dikenal dengan dengan nama Kyai Ahmad Dahlan.
Gadis yang setia menunggunya itu adalah Nyai Walidah. Ia telah tumbuh menjadi Muslimah cerdas. Pikirannya visioner tanpa meninggalkan pijakan agama yang kuat.
Ia paham betul, di antara kewajiban sebagai istri dan ibu, perempuan juga bisa menjadi bagian dari para penulis narasi peradaban, sebagaimana yang dicontohkan para mujahidah terdahulu.
Diawali dengan menjadikan sebagian kediamannya di Kauman, Yogya, untuk digunakan sebagai pondok tempat belajar khusus perempuan. Dengan tangannya sendiri, ia mengajarkan agama Islam, keterampilan, pengetahuan umum, dan baca tulis pada anak-anak di sekitarnya.
Suaminya memberikan dukungan penuh. Tak ada penolakan dari keluarga besar atas kiprahnya. Bahkan, mereka menyokong dengan dana.
Pada 1917, yang bertepatan dengan 27 Rajab 1335 H, ia mendeklarasikan organisasi perempuan Islam Aisyiyah. Berbalut kain batik dan berhijab rapat, ia sampaikan isi kepalanya di atas podium di hadapan banyak orang, termasuk suami dan kawan-kawan seperjuangan.
Lalu didirikannya Froebel Kindergarten Aisyiyah tahun 1919. Dari satu sekolah, kini telah berkembang menjadi 5.865 TK Aisyiyah Bustanul Athfal. Juga 280 rumah bersalin, balai pengobatan dan posyandu, 459 rumah singgah, panti asuhan, 503 koperasi, Baitul Maal wa Tamwil, UMKM, dan banyak lagi.
Jangan bayangkan hari ini, karena itu terjadi lebih dari seabad yang lalu. Sebagai gambaran, pada waktu yang sama, para suami di Inggris masih melelang istrinya di pasar, saking dianggap tak berharganya perempuan.
Pahit manisnya perjuangan dakwah mengajarkan banyak hal. Ia tahu persis apa arti kata tegar dan istiqamah. Mendampingi seorang mujahid, berarti harus menjadi mujahidah.
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” [QS Muhammad: 7]
Seperti itulah seharusnya energi cinta. Menjadi api penggerak perubahan. Nyai Walidah telah membuktikan.republika/nor
Oleh: Uttiek M Panji Astuti, penulis dan traveller.
No Comment to " Nyai Walidah dan Romansa Pendirian PP Aisyah Muhammadiyah "