• Korupsi Triliunan, 'Bobrok' Proses Hukum, dan Apatis Publik

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Jumat, 05 Maret 2021
    A- A+


    KORANRIAU.co-Para penegak hukum, Polri, Kejaksaan Agung (Kejagung), hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani kasus dugaan korupsi yang ditaksir merugikan negara hingga triliunan rupiah.


    Polri setidaknya menangani kasus korupsi penjualan kondensat bagian negara oleh PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) yang merugikan negara sekitar Rp37,8 triliun. Kasus ini sudah berkekuatan hukum tetap.


    Kemudian Kejagung mengusut korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara Rp16,8 triliun. Enam terdakwa sudah divonis bersalah dan dipidana penjara seumur hidup, -satu tersangka banding dan hukumannya dipotong menjadi 20 tahun penjara.


    Kemudian dugaan korupsi pengelolaan dana investasi PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) ditaksir merugikan negara Rp23,7 triliun serta dugaan korupsi BPJS Ketenagakerjaan ditaksir merugikan negara Rp20 triliun.


    Sementara itu, KPK setidaknya masih mendalami beberapa kasus korupsi yang merugikan negara hingga triliunan rupiah, seperti proyek e-KTP sekitar Rp2,3 triliun, BLBI sebesar Rp5,4 triliun, serta dugaan suap Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi yang merugikan negara sekitar Rp5,8 triliun.


    Dalam kasus e-KTP beberapa pihak sudah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk mantan Ketua DPR yang juga politikus Partai Golkar Setya Novanto. Sedangkan dalam kasus BLBI, lembaga antirasuah itu menjerat Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim.


    Penanganan kasus korupsi yang ditaksir merugikan negara triliunan rupiah ini patut diapresiasi. Namun, tak sedikit yang sangsi bahwa proses hukum tersebut akan benar-benar memberikan efek jera dan mengembalikan kerugian negara.


    Peneliti Indonesia Coruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan proses hukum kasus korupsi, baik yang merugikan negara miliaran hingga triliunan rupiah membutuhkan keseriusan para penegak hukum, termasuk hakim di pengadilan.


    Berdasarkan catatan ICW, sepanjang 2019, rata-rata vonis majelis hakim kepada para koruptor hanya dua tahun tujuh bulan penjara. Belum lagi, hakim yang memotong hukuman pidana pada tingkat banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.


    Terbaru misalnya, vonis mantan Direktur Keuangan Jiwasraya, Hary Prasetyo yang diubah dari semula penjara seumur hidup menjadi penjara 20 tahun di tingkat banding. Kondisi ini, kata Kurnia, yang membuat masyarakat tak percaya hingga akhirnya tak peduli.


    "Jadi bagaimana mungkin pemberian efek jera dan bagaimana masyarakat akan percaya kalau tindakannya masih seperti itu," kata Kurnia kepada CNNIndonesia.com, Kamis (4/3).


    Kurnia mengatakan proses hukum perkara korupsi juga kerap bersinggungan dengan dimensi politik ini yang membuat perkara tersebut bisa diintervensi. Tuntutan pidana dan vonis yang rendah juga memiliki andil besar.


    "Ini juga menggambarkan dua hal, pertama memberikan efek jera kepada pelaku, kedua yang paling penting adalah isu pemulihan kerugian keuangan negara," ujarnya.


    Di sisi lain, Kurnia menyebut total kerugian negara dalam suatu perkara korupsi juga tak sebanding dengan uang pengganti yang diterima negara. Ia melihat ada yang besar antara total kerugian negara dengan total uang pengganti.


    Sepanjang 2019, ICW mencatat kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp12 triliun, namun total uang pengganti yang diterima negara hanya sekitar Rp748 miliar.


    "Jadi gap tersebut kan bertolak belakang dengan tujuan penindakan korupsi, karena korupsi itu adalah financial crime, titik dekatnya tidak hanya pemidanaan penjara atau pemidanaan badan, tapi juga masuk dalam isu pemulihan kerugian keuangan negara," ujarnya.cnnindonesia/nor

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Korupsi Triliunan, 'Bobrok' Proses Hukum, dan Apatis Publik "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com