• Gejala Deprivatisasi Agama

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Jumat, 19 Maret 2021
    A- A+


    KORANRIAU.co-Hilangnya frasa agama pada Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 Kemendikbud semakin memperjelas fenomena deprivatisasi agama. Ada semacam upaya sistematis meminggirkan peran agama dalam bernegara. Agama ditarik (dibatasi) hanya pada urusan privat.


    Mirip dengan konsep negara sekuler, di mana terdapat pemisahan tegas antara negara dan agama. Padahal, para pendiri negara kita telah sepakat tentang konsep negara Pancasila.


    Indonesia adalah negara beragama. Negara melalui pemerintah secara langsung ikut dalam pembangunan moral agama tanpa mencampuri urusan internal agama. Pendidikan agama wajib ada pada semua jenis dan setiap jenjang pendidikan.


    Peta jalan pendidikan (PJP) 2020-2035 berisi tonggak pendidikan 15 tahun mendatang. Slide 75 halaman PJP berisi tiga hal pokok, yakni tren global dan masa depan pembelajaran, pendidikan di Indonesia dan tantangannya, serta peta jalan pendidikan Indonesia.


    PJP terasa kering dan hanya melibatkan aspek teknokratik dari pendidikan.

      

    Banyak kritik terkait PJP. Pertama, konsep PJP berat pada satu aspek pendidikan yakni vokasional. Rancangan PJP mengesankan adanya industrialisasi pendidikan. Pendidikan direduksi hanya pada persoalan pemerolehan pekerjaan.


    Padahal pendidikan mencakup jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang beragam. Jalur pendidikan terdiri atas formal, nonformal dan informal. Jenjang pendidikan terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.


    Jenis Pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Kedua, PJP disusun tanpa mendasarinya pada nilai tertentu yakni fiosofis, historis, dan pedagogis.PJP terasa kering dan hanya melibatkan aspek teknokratik dari pendidikan.


    Ketiga, hilangnya frasa agama dalam PJP. Agama direduksi menjadi akhlak dan budaya. Implikasinya, pendidikan agama akan hilang dari kurikulum nasional.

      

    Visi Pendidikan 2035 “membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila” jelas bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 29 dan 31, dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, utamnya  Pasal 1 ayat (1) dan (2) serta Pasal 3.


    Usulan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir  perlu dipertimbangkan, agar  selaras dengan semangat konstitusi.


    Visi Pendidikan menjadi “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cerdas, unggul, sejahtera, dan terus berkembang dengan menumbuhkan nilai-nilai agama, Pancasila dan budaya Indonesia” (Republika, 12/3/2021). Meskipun tentu, tidak cukup hanya berhenti pada visi.


    Ketiga, hilangnya frasa agama dalam PJP. Agama direduksi menjadi akhlak dan budaya. Implikasinya, pendidikan agama akan hilang dari kurikulum nasional.


    Kecurigaan ini wajar karena pada 2020 sempat muncul wacana penyederhanaan kurikulum, pendidikan agama akan diintegrasikan dalam pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan. Agama akan direduksi menjadi “pendidikan akhlak” universal.


    Kecurigaan ini wajar karena pada 2020 sempat muncul wacana penyederhanaan kurikulum, pendidikan agama akan diintegrasikan dalam pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan.

      

    Agama direduksi hanya menjadi akhlak (aspek perilaku), padahal agama menyangkut tiga hal pokok yakni keimanan (akidah, dasar-dasar keyakinan), syariah (ritual, fikih) dan akhlak (perilaku terpuji).


    Glock and Stark membagi dimenasi agama menjadi lima, yakni belief (keimanan), ritual (ibadah), knowledge (pengetahuan agama), experiental (pengalaman) dan consequential (perilaku). Dalam Islam, dikenal iman, Islam, dan ihsan.


    Sehingga, agama tidak semata menyangkut aspek perilaku. PJP 2020-2035 sejatinya konsep yang bagus agar memberikan arah yang jelas tentang pendidikan. Sayangnya, hulu-hilir pendidikan lepas dari aspek historis, filosofis dan pedagogis dari pendidikan itu sendiri.


    Munculnya PJP 2020-2035, hemat penulis menunjukkan gejala deprivatisasi agama. Tiadanya frasa agama (sengaja atau lupa) menunjukkan, peran agama tidak penting. Selain PJP ada beberapa fenomena untuk menguatkan dugaan deprivatisasi agama ini.


    Pertama, prioritas riset nasional tidak memasukkan agama. Riset bidang agama “hilang” dan direncanakan masuk klaster “sosial humaniora”. Riset bidang agama mengalami marginalisasi diandingkan riset teknokratis dan menghasilkan nilai ekonomis. 


    Inilah tugas berat para nasionalis religius, membuktikan agama tetap relevan dan penting untuk kemajuan bangsa Indonesia. 

      

    Perpres Nomor 74 tahun 2019 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tidak memasukkan “agama” menjadi salah satu deputi tersendiri (Pasal 4). Berbeda dengan bidang lain seperti pertanian, kelautan, pertahanan, kesehatan, energi.


    Kedua, sensus BPS tahun 2020 tidak menyertakan agama sebagai bagian yang disensus. Pada sensus sebelumnya, jumlah penduduk berdasarkan agama ada. Namun, pada 2020 tidak ada (tidak muncul). Artinya, aspek ini bisa jadi dianggap tidak penting.


    Ketiga, muncul Perpres Nomor 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang memuat lampiran tentang pembukaan investasi untuk minuma keras. Namun, Alhamdulillah, Presiden Jokowi sudah mencabut lampiran perpres tersebut.


    Berbagai fenomena ini, bisa jadi menguatkan temuan Deny JA dalam bukunya yang terbaru “11 Fakta di Era Google: Pergeseran Pemahaman Agama dari Kebenaran Absolut Menuju Kekayaan Kultural Milik Bersama”.


    Dalam buku itu, peran agama menjadi tidak penting untuk kemajuan suatu bangsa. Inilah tugas berat para nasionalis religius, membuktikan agama tetap relevan dan penting untuk kemajuan bangsa Indonesia.republika/nor


    Oleh: AJI SOFANUDIN, Senior Researcher pada Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI


    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Gejala Deprivatisasi Agama "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com