KORANRIAU.co- "Aku bersabar," kata teman saya ketika via grup WA kami, yang hanya beranggotakan 5 orang itu, saya membagikan kabar tentang "Awkarin beli hotel" yang menghebohkan jagat media sosial.
Awalnya saya tidak paham dengan komentar pendek itu. Tapi saya menunggu, karena dia sedang mengetik lanjutannya.
"Dia kan suka prank."
Teman saya itu fans berat Awkarin. Hari ini Awkarin di mana, ngapain, sama siapa, besok mau melakukan apa, dan apa rencana seminggu ke depannya, dia tahu. Di grup WA pertemanan kami, dia satu-satunya perempuan. Dia salah satu teman paling unik di dunia.
Teman dekat saya bisa dihitung dengan satu jari tangan saja, dan semua memang manusia-manusia unik --dengan kekhasan masing-masing. Nah, teman saya yang satu ini unik di antara yang unik: seorang profesional di bidang farmasi, kerja di perusahaan asing, tapi "pergaulan budaya"-nya sangat luas.
Para junior di kantor dia sering dibuat terheran-heran. Kok kakak kenal si A? Kakak temenan sama si B ya? Begitulah mereka sering bertanya ketika melihat unggahan foto teman saya itu sedang bersama seorang filmmaker, atau minimal memperlihatkan keakraban dengan "orang-orang terkenal" di medsos.
Selain itu, sebagai "orang eksakta" yang biasanya dicitrakan sebagai manusia-manusia yang "kaku", teman saya ini wawasan seni dan kebudayaannya juga terbilang mencengangkan. Ketajamannya menilai film, misalnya, lebih saya percaya ketimbang kritikus mana pun. Dulu, sebelum mengenalnya secara langsung, dan masih hanya berinteraksi di online, saya mengira dia anak IKJ.
Di masa pandemi, saya belum pernah ketemu dengannya. Sebagai orang yang bergelut di industri obat-obatan, secara langsung maupun tidak, ia memang tersambung dengan situasi pandemi. Kami kerap mendapatkan update darinya hal-hal yang tak pernah terungkap di media massa.
Bila kebanyakan pekerja lain mungkin lebih santai, atau bahkan ada yang harus kehilangan pekerjaan, teman saya ini justru tambah sibuk berlipat-lipat --walaupun itu dilakukan dari rumah. Tapi di sela kesibukannya, dia rajin muncul di grup WA, ngobrol, bergosip, dan berdiskusi, tentang perkembangan pandemi, tentang politik, masa depan bangsa dan negara, juga isu-isu terkini yang sedang ramai di medsos.
Nah, soal kabar tentang Awkarin itu, belakangan terbukti teman saya benar belaka. Kecurigaannya bahwa itu hanya 'prank' seperti biasa dilakukan sang idola, dua hari kemudian terjawab. Bahwa "beli hotel" itu ternyata hanyalah gimmick dari sebuah situs pemesanan tiket dan hotel yang sedang menggelar program promo besar-besaran.
Saya teringat kejadian sebelumnya, ketika ahli kuliner terkenal Sisca Soewitomo dikabarkan akan "gantung panci". Netizen dan media heboh. Gantung panci bisa diartikan pensiun. Ternyata belakangan terungkap bahwa pernyataan itu adalah sebuah gimmick dari promo yang sedang digelar oleh aplikasi pemesanan makanan.
Dulu, kita dibombardir oleh iklan televisi yang menampilkan adegan-adegan lucu agar mudah diingat dan melekat di memori kolektif masyarakat. Satu-dua iklan yang terkenal pada zaman kejayaan televisi masih terus menjadi bagian dari kenangan generasi saya. Misalnya, iklan obat batuk yang menampilkan seorang ibu (diperankan oleh anggota grup vokal terkenal Elfa's Singer) sedang batuk-batuk, lalu disodori obat cair keluaran terbaru, dan si ibu dengan suara cemprengnya menyahut, "Sendoknya?"
Obat batuk baru itu tidak perlu diminum pakai sendok, karena bisa langsung dituang dari bungkusnya yang mungil ke dalam mulut. Iklan obat batuk lainnya menampilkan pelawak senior Tarzan yang dengan gaya lucu mengatakan, "Lho, batuk kok disuruh karaoke!" Nama obat batu itu diakhiri dengan suku kata "mic", yang mengingatkan pada mikrofon!
Kreativitas para profesional di balik pemasaran dan penjualan produk terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi dan platform media. Saya masih ingat, awal-awal bekerja di kantor yang dipimpin Pak Nukman Luthfie (alm.), tokoh digital marketing yang belakangan dijuluki Bapak Medsos Indonesia, kami menyelipkan "iklan" via obrolan di mailing list dan melakukan email blast. Ketika Facebook, Twitter, dan berbagai jejaring media sosial muncul, kami mulai "menyewa" tokoh-tokoh yang popular di platform-platform tersebut untuk meng-endorse produk.
Kala itu, dalam berbagai obrolan dan analisis, kami selalu mengatakan, "Iklan sudah mati," atau "Apa kata teman lebih dipercaya ketimbang iklan." Media sosial mengubah cara kita berkomunikasi, dalam hubungan antarpersonal, dalam bisnis, dan dalam mengkonsumsi informasi. Banyak teori yang saya pelajari di ruang kuliah Jurusan Ilmu Komunikasi dulu sudah ketinggalan zaman, tidak berlaku, atau harus dimodifikasi.
Dulu, bahkan selera kita pada musik misalnya, apa yang "harus" kita dengar, didikte oleh "tangga lagu" atau weekly top 40. Sekarang, lagu yang kita hapal dan tanpa sadar kita senandungkan sambil memasak di dapur adalah lagu-lagu yang cuma sepotong muncul mengiringi orang jodet-joget di Tiktok.
Bocah-bocah tetangga saya sambil bermain menyanyikan lirik, "Terpesona, aku terpsesona...." Sedangkan dari bocah yang lainnya lagi berkali-kali terlantun, "Mengapa semua menangis, padahal ku selalu tersenyum. BIASALAH!
Sebagai bagian dari Generasi Boomers, yang dalam konteks teknologi digital kerap disebut sebagai imigran, bukan native (untuk membedakan dengan generasi yang lahir ketika internet sudah bisa diakses via smartphone murah), saya kadang kepontal-pontal alias tergagap-gagap mengikuti apa yang sedang berkembang.
Lalu, dengan lagak seorang pemikir yang khatam dengan pendekatan-pendekatan teori-teori sosial narasi besar, dari Mazhab Frankfurt, strukturalisme, marxisme, feminisme....saya mencoba memahami apa yang sedang terjadi, zaman apa yang sedang saya alami sekarang, dan realitas sosial macam apa yang tengah berlangsung.
Di Twitter atau Facebook saya kadang melempar tanya dengan nada canda, "Fenomena apa ini?" untuk memancing diskusi. Berharap bisa menjaring suara-suara dari para pelakunya langsung, generasi terkini, yang saya bayangkan punya tatapan dan pemahaman lebih jujur dan jernih.
Kadang-kadang saya sendiri mencoba bermain-main ala Roland Barthes, berpikir secara semiologis, untuk membaca fenomena-fenomena sosial-budaya mutakhir tersebut, dari isu seorang selebgram kondang membeli hotel di usia 23 tahun hingga tren pria-pria macho bertato joget joget lenjeh-luwes memutar-mutar kedua tangannya di depan dada dan berakhir dengan menggoyang-goyangkan pinggulnya seiring dengan entakan irama lagu. (Saya masih ting ting/ Dijamin masih ting ting....)
Menghadapi semua itu, yang sejujurnya saya benar-benar berusaha keras memahaminya, saya jadi membayangkan kembali ketika Barthes duduk di sebuah tempat potong rambut sambil membaca Majalah Paris-Match. Pada sampulnya, seorang pria negro muda sedang memberi hormat pada bendera Prancis. Bagi Barthes, gambar sampul majalah itu lebih dari sekadar foto; maknanya sangat rumit.
Barangkali, kita sekarang adalah para Roland Barthes era digital yang disodori mitos-mitos modern yang jauh lebih rumit lagi dibandingkan dengan zaman dia. Dari segerombolan anak muda yang menenteng tas besar berisi kostum dan kamera untuk berfoto-foto di kawasan Little Tokyo, Melawai, Blok M, Jakarta Selatan, sampai kafe-kafe hipster yang menggunakan kursi bekas inventaris kelurahan yang sudah jelek dan berkarat di sana-sini.
Bagi saya ini memang bukan perkara sepele. Minimal, sebagai seorang penulis lulusan ilmu sosial, saya percaya bahwa dengan memahami fenomena selebgam muda kaya membeli hotel, pria-pria tampan berfoto setengah telanjang di dalam bath-tub sambil memegang segelas wine dan memamerkannya di Instagram, hingga video-video memasak yang kreativitasnya jauh meninggalkan era Bu Sisca di tayangan pagi Indosiar beberapa tahun lalu yang selalu diakhiri dengan kalimat, "Mudah, bukan, cara membuatnya?" ...ya, dari situ, dengan memahami semua itu, kita bisa melihat satu tema besar dalam kehidupan manusia, yaitu perubahan sosial.
Ketika lagu lama Paramitha Rusady dari era 90-an, Nostalgia SMA viral dan dikenal generasi milenial gara-gara video di Tiktok, dan platform ini mampu memviralkan hampir apapun, dari tumis bawang merah hingga perpisahan yang mengharu baru kereta api Solo-Jogja yang berhenti beroperasi untuk digantikan dengan KRL, maka cara kita membaca tanda, menginterpretasikan makna budaya, dan memahami dunia di sekitar kita sudah tak lagi sama.
Dulu, melihat video pria-pria berwajah mulus berbadan bagus berjoget goyang pinggul sambil mengangkat-ngangkat ujung bajunya dan memperlihatkan perutnya yang rata, para ahli mungkin akan berkata bahwa mereka sedang, menantang ideologi gender, menerobos batas-batas heteronormatif, dan menghancurkan hegemoni maskulinitas, serta kalimat-kalimat dengan istilah-istilah angker lainnya, yang membuat pembicaranya terlihat sangat pintar dan banyak membaca buku.
Sekarang, membaca tanda-tanda dengan cara seperti itu hanya akan diolok-olok sebagai kaum yang ndakik-ndakik, over kritisisme, hidupnya ruwet, dan sebagainya.
Seandainya Roland Barthes masih hidup, dia mungkin akan sangat bahagia karena mendapat bahan yang melimpah untuk kajian "mitologi"-nya, memperpanjang daftar pembahasannya tentang gulat, fotografi, fashion, selera pada masakan, hingga novelis yang sedang berlibur. Tapi bisa jadi sebaliknya, dia justru akan kesepian, karena berbagai analisisnya yang canggih itu hanya akan diceletuki dengan teriakan: BIASALAH!
Kita mungkin memang tak perlu menjadi Roland Barthes atau pun melanjutkan tradisinya. Ketika seorang ahli masak gantung panci dan ternyata iklan, ketika seorang selebgram muda cantik kaya raya superkondang beli hotel dan ternyata juga iklan, rasanya sudah cukup....yang kita perlukan hanya kesabaran, seperti diperlihatkan oleh teman saya tadi, salah satu teman yang saya bilang paling unik di dunia tadi.
Ya, sabar, dan kalau perlu sambil ikut berjoget seperti anak-anak Tikok. Minimal foto-foto di Little Tokyo, atau di mana pun, seperti dibilang teman saya yang lain, yang tak kalah unik, di grup WA yang sama, ketika saya membagikan foto kenangan dari tahun 2019 saat berlibur ke Pangandaran. Sebuah foto yang memperlihatkan saya sedang ngopi pagi di pinggir kolam renang hotel.
"Bagus juga ya kolam renangnya (baru sadar)," tulis saya.
"Ya, harus banyak motret kalau jalan...biar nggak nyesel," komentar teman saya.
OH MY GOD!
Oleh: Mumu Aloha (wartawan, penulis, editor)
No Comment to " Beli Hotel, Joget-Joget di Tiktok, Foto-Foto di Litte Tokyo "