• Penguasa dan Parpol

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Selasa, 23 Februari 2021
    A- A+


    KORANRIAU.co-Hubungan penguasa dan partai politik di Indonesia kerap problematik. Pada masa Orde Baru saat penguasa demikian kuat dan otoriter, pola hubungan yang terjadi tidak mendewasakan dan menguatkan partai.


    Ini karena penguasa tak membutuhkan penyeimbang. Sebaliknya, partai yang ada harus menjadi pendukung rezim.


    Penguasa kerap mengatur partai sejak masih embrio atau memaksa kepengurusan sesuai kehendaknya.


    Akibatnya, partai ringkih dari cengkeraman penguasa yang ingin mengamankan kekuasaan. Penguasa sering bermanuver, baik langsung maupun tidak langsung, bekerja sama dengan kalangan tertentu. Itu dilakukan dengan cara-cara paksa.


    Penguasa sering bermanuver, baik langsung maupun tidak langsung, bekerja sama dengan kalangan tertentu. Itu dilakukan dengan cara-cara paksa.

      

    Gagal terbentuknya Partai Masyumi pada awal Orde Baru, kudeta atas Partai Sarekat Islam Indonesia awal 1970-an, dan intervensi dalam Partai Demokrasi Indonesia yang puncaknya terjadi peristiwa berdarah pada 1996 adalah manuver penguasa.


    Manuver kekinian


    Selepas Orde Baru, bukan berarti upaya penguasa mengamankan partai-partai itu tidak ada. Namun, caranya lebih halus. Motif utamanya, sejatinya masih terkait mengamankan kekuasaan dalam berbagai bentuknya.


    Tidak lama setelah Pemilu 2014, misalnya, baik Golkar maupun PPP mengalami friksi internal melibatkan dua faksi. Pada kedua kasus itu, posisi penguasa cenderung memberikan angin dan mendukung salah satu faksi yang mendukung pemerintah.


    Posisi tak kentara ini belakangan meramaikan situasi dan cukup membantu menguatkan posisi politik kalangan pro-penguasa. Kasus upaya kudeta terhadap Partai Demokrat menjadi menarik karena sedikit banyak mengindikasikan lagi elemen penguasa.


     

    Dari berbagai perbincangan, terdapat kesan unsur penguasa memainkan peran dalam upaya menggoyang partai.Bagi Partai Demokrat, ini bentuk intervensi. Demokrat melalui kader-kadernya, memperingatkan terulangnya perilaku Orde Baru. Bagi pendukung pandangan ini, penguasa memiliki motif.


    Yakni, terkait masa depan Partai Demokrat yang berpotensi cerah dan posisinya yang berseberangan dengan pemerintah.Pun menurut kalangan ini, AHY sosok terbaik yang dimiliki partai sehingga layak di posisi ketua umum.


    Sebaliknya, bagi sebagian kalangan, kasus ini murni melekat pada individu yang berupaya memaksakan pergantian kepemimpinan partai. Bagi mereka, ini cerminan api dalam sekam terkait performa AHY sebagai ketua umum.


    Mereka berargumen, dengan situasi itu apa salahnya ada tokoh alternatif yang memperbaiki situasi partai. Di sisi lain, bagi kalangan partai, kebiasaan menggunakan pihak ketiga dalam manuver politik, termasuk demi perbaikan kondisi partai dan sebagainya, bukti ketidakdewasaan.

      

    Sejauh ini, meski belum jelas benar tindakan itu mengarah pada upaya langsung mengamankan pemerintahan Presiden Jokowi, tak dapat dimungkiri cukup terlihat ada elemen penguasa, yang berupaya membajak partai ini dengan berbagai alasannya.


    Keberadaan elemen penguasa itu tentu sangat disayangkan meski mengatasnamakan kegelisahan kader Partai Demokrat sekalipun.


    Elemen penguasa itu harusnya mampu menahan diri dan bersikap melakukan pembinaan dan pendidikan politik untuk menguatkan partai, ketimbang justru melibatkan diri pada manuver yang berpotensi merusak keberadaan sebuah partai.


    Di sisi lain, bagi kalangan partai, kebiasaan menggunakan pihak ketiga dalam manuver politik, termasuk demi perbaikan kondisi partai dan sebagainya, bukti ketidakdewasaan. Ini indikasi belum matangnya kader-kader partai itu.


    Bisa jadi, terkorelasi dengan pengaderan yang belum berjalan matang plus pola komunikasi internal yang terhambat. Manuver penguasa tak akan berkembang jika tidak ada elemen partai memberikan peluang untuk itu. 


     

    Berkaca dari kasus PPP dan Golkar, situasi terakhir Partai Demokrat berpotensi membahayakan keutuhan partai.

      

    Beberapa potensi


    Manakala situasi ini dibiarkan, bisa terjadi fenomena bola saju, yaitu kader yang kecewa dan pasif justru seperti mendapatkan momentum, berpotensi melemahkan soliditas partai.


    Perlu diingat, faksi yang mendapat dukungan pihak eksternal, apalagi selevel pemerintah, akan berlipat-lipat semangatnya.


    Itu yang terjadi pada kelompok M Romahurmuziy ketika berhadapan dengan Ketum PPP Surya Dharma Ali ataupun kalangan pendukung Agung Laksono saat ingin mendongkel Aburizal Bakrie di Golkar.


    Berkaca dari kasus PPP dan Golkar, situasi terakhir Partai Demokrat berpotensi membahayakan keutuhan partai. Mengingat manuver faksi yang memiliki kedekatan dengan penguasa, berpotensi menggembosi soliditas partai.


    Selain itu, fenomena ini berpotensi kian mencoreng wajah demokrasi kita dan menimbulkan citra kurang baik bagi pemerintah.

      

    Singkatnya, ini warning soal potensi keterpecahan partai pada masa mendatang. Untuk itu, Partai Demokrat layak menjadikan momentum upaya kudeta ini untuk solidasi partai, dengan cara sesuai AD/ART partai dan pendekatan lebih elegan lagi. 


    Selain itu, fenomena ini berpotensi kian mencoreng wajah demokrasi kita dan menimbulkan citra kurang baik bagi pemerintah.


    Untuk itu, yang harus dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi adalah memberikan penjelasan atas posisi pemerintah, terkait keberadaan partai-partai di Indonesia, tak hanya Partai Demokrat.


    Ini agar kembali tumbuh kepercayaan luas bahwa pemerintah berkomitmen, menguatkan eksistensi partai-partai sebagai sesuatu yang dikatakan Schattschneider (1942: 1) demokrasi “tidak terbayangkan” akan ada tanpanya.republika/nor


    FIRMAN NOOR, Peneliti pada Tim Penelitian Parpol di Pusat Penelitian Politik LIPI


    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Penguasa dan Parpol "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com