KORANRIAU.co-Kasus Hervina, guru honorer di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, yang dipecat sekolah setelah mengeluhkan besaran upahnya membuktikan keberadaan dilema para tenaga honorer hingga terpaksa bersikap 'asal bapak senang' (ABS) di sekolah.
Wakil Ketua 4 Forum Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Non-Kategori 35 Tahun ke Atas (GTKHNK 35+) Yusak mengaku kerap menerima curahan hati dari guru honorer yang mengeluhkan kebijakan kepala sekolah, namun tak bisa berbuat apa-apa karena takut opininya membuahkan dampak negatif terhadap kesejahteraan mereka.
"Ketika seorang guru honorer melakukan sesuatu yang mungkin belum tentu salah atau benar, tapi tidak sesuai dengan pandangan kepala sekolah, tentu berefek fatal. Sehingga guru honorer selalu dalam prakteknya, asal bapak senang," kata dia ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (19/2).
Yusak bercerita baru-baru ini ia mendapat laporan dari guru honorer di daerah yang mengaku gajinya dipotong sekolah dengan alasan selama pandemi Covid-19 kegiatan belajar tidak seoptimal masa normal.
Menurut dia dan guru honorer tersebut, kebijakan ini mencederai hak guru. Sementara, guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) tidak dipotong gajinya.
Meski demikian, Yusak mengatakan guru honorer tersebut tak bisa berbuat apa-apa. Ketika disarankan mengungkap kebijakan itu ke media, guru honorer ketakutan disalahkan dan dipecat.
Ia menyebut guru honorer seolah selalu terjepit dalam keadaan yang menghimpit kesejahteraannya. Ketika ingin memperjuangkan hak mereka, kata dia, guru honorer tak punya perlindungan hukum.
"Makanya hampir tiap tahun guru honorer ada ketakutan tidak mendapat SK (surat keputusan) dari kepala sekolah. Karena statusnya memang enggak punya kekuatan. Guru honorer itu ada dimana secara hukum?" cetusnya.
Pemerintah daerah, kata Yusak, juga tak bisa dijadikan jaring pengaman bagi guru honorer ketika berhadapan dengan sekolah. Karena pada prakteknya, jika sekolah ingin melaporkan kasus ke dinas pendidikan harus melalui kepala sekolah.
Kondisi ini lah, lanjut dia, yang menyebabkan permasalahan dan kendala yang dihadapi tenaga honorer sulit diungkap ke publik. Ia mengatakan guru honorer masih dibayang-bayangi rasa takut untuk memperjuangkan haknya. Untuk itu, ia mendesak pemerintah aktif memperjuangkan honorer.
"Seharusnya pemerintah sudah dari dulu melek honorer. Makanya saya bilang, negara itu sebenarnya berhutang karena mempekerjakan honorer tanpa gaji yang layak. Apalagi statusnya juga nggak ada kekuatan hukum," lanjut dia.
Sebelumnya, kasus dipecatnya Hervina bermula setelah guru honorer di SD Negeri 169 Sadar, Kecamatan Tellu Limpoe bercerita melalui unggahan di akun Facebook bahwa upahnya tidak menutup kebutuhan sehari-hari.
Infografis Sekolahku Kekurangan GuruInfografis Sekolahku Kekurangan Guru. (Foto: CNNIndonesia/Basith Subastian)
Ia mendapat Rp700 ribu per 4 bulan dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Tak lama setelah itu, Hervina diminta kepala sekolah bekerja di sekolah lain.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan turut turun tangan mengawasi kasus ini. Dinas Pendidikan Kabupaten Bone kemudian menggelar musyawarah dengan Hervina dan sekolah pada Senin (15/2) untuk mencarikan solusi antara keduanya.
Menanggapi kasus ini, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Iwan Syahril menyatakan seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang bakal digelar tahun ini jadi salah satu solusi pemerintah menghindari kasus serupa di kemudian hari.
Seleksi ini dibuka bagi seluruh guru honorer dan lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPK), dan ia memastikan guru yang lolos kana mendapat hak dan gaji yang sesuai dengan PNS berdasarkan UU No. 5 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2019.cnnindonesia/nor
No Comment to " Kasus Hervina, Guru Honorer Disebut Terjebak 'ABS' di Sekolah "