• DIVIDE ET IMPERA

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Jumat, 05 Februari 2021
    A- A+

             

    Abdurachman Tsani  


    KORANRIAU.co - "Divide et Impera" adalah Politik pecah belah atau politik adu domba. Dia adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah untuk dikuasai. 


    Bangsa ini secara historis punya raport merah soal politik belah bambu. Dan berbagai kisah serta tragedi politik pecah belah selalu terjadi berulang-ulang dalam sejarah tanah air Indonesia ini sejak berabad lalu. 


    kita mulai dari kisah perang dingin antara wangsa Sanjaya dan wangsa Syailendra. Dua Dinasti hebat yang meninggalkan warisan sejarah berupa Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Candi warisan Budha dan Candi warisan agama Hindu. Sebuah gesekan politik yang berlangsung selama dua ratus tahun pada abad 7 dan 8 M. 


    Bahkan ketika dua wangsa ini bersatu dengan menikahkan anak-anak mereka di mana momen persatuan dua dinasti ini diabadikan dalam sebuah candi yang merupakan akulturasi dua kebudayaan, yaitu budaya Hindu dan Budha, yang dinamai dengan Candi Plaosan yang letaknya kini berada 5 km di belakang candi Prambanan yang terletak di Kabupaten Klaten.  


    Apabila diperhatikan secara teliti, Candi Plaosan memiliki keistimewaan tersendiri. Mungkin dari corak, ia adalah satu-satunya candi Hindu dan sekaligus Budha di dunia ini.  


    Walaupun Candi Plaosan merupakan Candi Buddha, tetapi secara arsitektur bangunan ini memiliki campuran dengan Candi Hindu di indonesia. Latar belakang *Rakai Pikatan* dan sang istri, *Pramordhawardani* yang berbeda agama, menjadi dasar keistimewaan arsitektur candi ini. 


    Plaosan, dimulai ketika Rakai Pikatan memutuskan untuk menikahi Pramordhawardani. Walaupun hubungan percintaan mereka menimbulkan banyak masalah dan penolakan antar dua keluarga, karena perbedaan agama yang mereka anut, dimana Rakai Pikatan berasal dari Dinasti Sanjaya yang menganut agama Hindu, sedangkan Pramordhawardani berasal dari Dinasti Syailendra yang menganut agama Budha. Sebuah rekonsiliasi politik era Mataram kuno yang akhirnya terwujud setelah 200 tahun berseteru. 


    Lalu Dinasti demi dinasti yang berkuasa mulai dari Sriwijaya, Majapahit, Demak Bintoro Islam, hingga Mataram Islam dalam perjalanannya juga selalu diwarnai dengan suasana perpecahan, pecah belah hingga  konflik berlumuran darah. 


    Lihat saja Mataram Islam yang dibangun dengan penuh pengorbanan oleh *Sultan Agung* yang akhirnya terpecah menjadi empat kerajaan. 


    Dengan demikian Kerajaan Mataram Islam akhirnya terpecah menjadi empat kerajaan kecil, yaitu Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Kerajaan Mangkunegaran dan Kerajaan Pakualaman.  Hingga kini prasati perpecahan itu masih bisa kita saksikan bersama. 


    Bertahun setelah itu sejarah perjuangan bangsa kita, mulai dari  era revolusi hingga reformasi juga dihiasi dengan suasana perpecahan. Perpecahan itu bisa dipicu oleh berbagai macam sebab.  Bisa karena soal ideologi, harga diri hingga soal materi. Pokoknya perpecahan itu mudah sekali terjadi, bahkan karena hal-hal sepele saja. Penulis sengaja tidak memberi contoh peristiwa karena faktor keterbatasan ruang untuk kita. 


    Namun meski begitu, sedalam dan setajam apapun perpecahan yang terjadi, bangsa ini tetap utuh bersatu. Lem kesatuan dan persatuan itu memang harus diakui sangat kuat dalam melekatkan  keberagaman dan segala perbedaan yang ada. 


    Pembaca yang budiman, andai ada politik Devide et Impera yang pernah sukses dijalankan pemerintahan Hindia Belanda pada masa kolonial, menurut penulis, itu karena adanya hukum sebab akibat. 


    Sebab, karena bangsa kita Indonesia yang memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Indonesia. ( data sensus BPS tahun 2010 ).  


    Sebab lain, di Indonesia juga ada perbedaan lain berupa agama serta ideologi politik yang dianut. Ini belum termasuk lagi perbedaan kepentingan-kepentingan yang dalam prakteknya justru menjadi pemicu utama timbulnya politik belah bambu atau politik pecah belah yang dalam bahasa belandanya disebut "Devide et Impera". 


    Jadi kalau Belanda selaku penjajah menerapkan politik pecah belah, itu karena memang bangsa ini memiliki bakat dan potensi untuk saling berpecah-pecah belah. Jadi Belanda pada dasarnya hanya ingin memaksimalkan potensi yang ada saja.


    Kini, bila dihitung sejak Sumpah pemuda, karena sumpah pemuda sejatinya adalah "embrio" bangsa Indonesia, maka bangsa ini telah ada selama 93 tahun. 


    Sumpah Pemuda adalah merupakan salah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan Kemerderaan Indonesia. 


    Sekedar upaya melawan lupa, Sumpah Pemuda di selenggarakan pada tanggal 27 – 28 Oktober 1928 di Batavia kini bernama Jakarta. 


    Setelah bangsa ini berumur 93 tahun, habit suka berpecah belah nampaknya masih saja dipelihara. 


    Lihat saja era reformasi yang dianggap sebagai era pemerintahan paling benar, ternyata suasana perpecahan itu masih saja terjadi berulang kali. 


    Biar lebih fokus, penulis mengajak pembaca sekalian menyoroti perpecahan yang terjadi pada partai-partai politik di era Reformasi ini. Kasus pecah belah partai ini, entah sengaja atau tidak selalu saja terjadi, lihat saja, PDIP yang menjadi partai pemenang pemilu 1999, akhirnya terpecah dan kalah di pemilu 2004. 


    Kita tahu bagaimana Roy BB Janis akhirnya kecewa dan membuat Partai Sendiri, begitu juga dengan Prof Dimyati Hartono yang akhirnya juga memisahkan diri dan membuat partai baru pecahan PDIP.  


    Lalu perpecahan berikutnya adalah PKB yang dalam sejarah tercatat pernah mengantarkan Gusdur menjadi Presiden RI yang ke empat, yang pada akhirnya terpecah menjadi faksi Gusdur dan Faksi Muhaimin Iskandar. Perlu dicatat bahwa hubungan Gus dur dan Muhaimin adalah paman dan keponakan. Tapi ternyata hubungan darah tidak menyurutkan Gusdur dan Muhaimin untuk pecah. 


    Lalu pada perjalanan sejarah politik berikutnya, partai demi partai banyak sekali yang terpecah belah. Entah ada yang mendalangi secara eksternal maupun tidak. Mulai dari partai besar hingga partai gurem. Lihat saja Partai Golkar yang akhirnya terpecah menjadi banyak sekali partai-partai baru. Dimulai dari Mantan Menhankam Pangab era Pak Harto Jenderal Purn Edi Sudrajat yang mendirikan PKP yang kini telah berubah menjadi PKPI. Lalu mantan Menhankam Pangab era Pak Harto lagi, Jenderal Purn Wiranto yang mendirikan Partai Hanura. Lalu disusul Surya Paloh yang mendirikan Partai Nasdem pasca Munas Golkar di Pekanbaru. 


    Cukup sampai di situ ? Oh tidak, fenomena pecah itu masih saja digemari hingga hari ini. Lihat saja pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, yang dimulai tahun 2014, Partai Golkar pecah lagi. 


    Konflik Partai Golkar bermula di akhir 2014 lalu, tak lama setelah Joko Widodo-Jusuf Kalla terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. 


    Saat itu, Aburizal Bakrie terpilih sebagai ketua umum untuk kedua kalinya dalam Musyawarah Nasional di Bali. Namun, kader yang tak terima dengan hasil Munas tersebut membuat Munas tandingan di Ancol, Jakarta. Dan dalam Munas Ancol, terpilih Agung Laksono sebagai ketua umum. 


    Ajaibnya, pada Maret 2015, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan surat keputusan yang mengesahkan Golkar kubu Agung Laksono. 


    Saat itu, Golkar kubu Agung memang menyatakan dukungan untuk pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Sementara Golkar kubu Aburizal memilih sebagai oposisi. Makanya pada saat itu publik sempat  mencurigai bahwa ada konspirasi dan  campur tangan penguasa yang sedang bekerja. 


    Partai lain yang pecah pada saat yang sama  adalah PPP. Perpecahan di PPP muncul pada 2014, tepatnya ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Ketua Umum PPP pada saat itu, Suryadharma Ali, sebagai tersangka korupsi penyelanggaraan ibadah haji. 


    Pengurus Pusat yang diinisiasi oleh  Romahurmuziy sebagai sekretaris jenderal saat itu memecat Suryadharma. Namun Suryadharma yang  tidak terima dipecat malah balik memecat Rommy. 


    Sama dan sebangun dengan Golkar, akhirnya pertikaian antar faksi ini berlanjut hingga ke meja hijau. Lalu bagaimana ujungnya ? Kita sama-sama tahu, bahwa akhir drama  kedua partai itu adalah merapat mesra kepada penguasa dan walhasil,  semua masalah akhirnya  selesai tanpa masalah.  


    Kini pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, fenomena partai yang pecah terjadi lagi. Dan lagi-lagi yang pecah adalah jajaran para partai opisisi. Lihat saja, PKS yang dalam blantika politik Nasional dianggap sebagai partai paling solid, akhirnya membelah diri juga menjadi dua yaitu PKS dan Partai Gelora. 


    Ternyata slogan Partai Dakwah tak cukup juga untuk menyatukan misi dan visi dakwah mereka ya ? 


    Lalu setelah PKS jangan lupakan Partai Berkarya, partai yang meski kecil namun selalu kritis beroposisi ini pada akhirnya pecah menjadi dua. Partai milik *Hutomo Mandala Putera* alias Tommy Soeharto ini pecah menjadi dua kepimpinan yakni  Tommy Soeharto dan *Muchdi PR*. 


    Namun lagi-lagi ajaib, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dengan sigap dan cepat, kembali memberikan SK pengesahan kepada kepengurusan Muchdi PR. Pihak yang mendongkel Tommy dan mendukung penguasa. 


    Kini, kabar yang menghebohkan lagi adalah kabar bahwa ada orang Istana yang lagi-lagi diduga ingin menguasai Partai Demokrat. Dan sebagaimana Muchdi PR yang jenderal TNI, orang istana ini juga mantan petinggi TNI dengan bintang empat di pundak kanan dan kiri. 


    Bila kita pelajari, kok semua Partai politik yang pecah adalah Partai oposisi ? Kok partai koalisi penguasa engga ada yang pecah sih ?  Lalu pertanyaan berikutnya, kok yang mendapatkan pengesahan setelah konflik internal terjadi selalunya adalah pihak yang mendukung penguasa ? Apakah itu berarti bila kita sedang ada masalah di internal partai, obatnya harus selalu merapat kepada penguasa ? 


    Pembaca, Kalau sejarah mencatat bahwa kita pernah dijajah selama ratusan tahun, oleh bangsa-bangsa yang bahkan negerinya tak sebesar negara kita, itu bukan karena mereka hebat. Tapi karena kita tidak pernah mau berhenti untuk selalu berkonflik dan berpecah belah dengan sesama kita. gimana menurut anda ? 


    Pekanbaru, 6 Januari 2021.






             

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " DIVIDE ET IMPERA "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com