Abdurachman Tsani |
KORANRIAU.co, - Drama politik tanah air semakin riuh dengan statemen balasan "Sang orang istana", sebagai jawaban atas pidato politik Ketua umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudoyono senin awal Februari lalu, yang dalam pidato politiknya dengan gagah ia menyebut bahwa diduga keras ada oknum petinggi istana yang konon sedang terlibat dalam penggalangan kekuatan dengan beberapa politisi PD yang diantaranya adalah kader yang telah diberhentikan oleh Partai, untuk tujuan mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat dari AHY sebagai hasil Konggres tahun 2020 lalu, dengan cara yang inskonstutisional.
Lalu rupanya hanya dalam hitungan menit ketika pihak yang merasa telah tertohok justru akhirnya angkat bicara. Jujur, sebetulnya penulis heran, kok kepancingnya begitu cepat banget sih ?
Padahal dalam pidato politiknya, AHY sama sekali tidak menyebut nama, namun mungkin karena tidak tahan, maka yang merasa sebagai orang istana, akhirnya angkat bicara juga pada kesempatan pertama.
Jujur saja dalam situasi di mana sang orang istana angkat bicara, menurut penulis, sesungguhnya situasi pendulum menunjukkan bahwa AHY dan Partai Demokrat sedang berada dalam situasi yang sangat diuntungkan.
Lebih dalam lagi bila penulis lihat penampilan Muldoko yang dalam hal ini adalah diduga kuat sebagai tokoh yang disebut sebagai orang istana itu, kesannya sangat tidak seperti biasanya. Biasa dalam sehari-hari ia adalah pribadi yang sangat santai dan gemar humor.
Namun dalam video, saat ia sedang memberi pernyataan balasan, kok kesannya beliau sangat gugup dan terbata-bata ya bicaranya ?.
Selain itu penulis juga menamati, ada beberapa narasi yang nadanya justru terkesan sangat tidak elegan. Yaitu pada saat ia mengatakan, "Dikit-dikit istana, dikit-dikit istana", lalu dilanjutkan dengan narasi yang nadanya agak tinggi sehingga menimbulkan kesan sedang mengancam, yaitu dengan kalimat, "Jangan ganggu pak Jokowi !!!".
Lo memangnya yang mengganggu Presiden Jokowi itu siapa ?
Dalam pidatonya disebutkan, bahwa AHY justru secara resmi mengirim surat kepada Presiden pada senin 1 Februari 2021, pada pagi hari sebelum AHY menyampaikan pidato politiknya, untuk memohon klarifikasi resmi dari Presiden Jokowi ? Apakah cara seperti itu masuk kategori tindakan mengganggu ? Ah rasanya bila menurut penulis kok justru malah itu sebagai bentuk rasa hormat dalam kapasitas sebagai seorang ketua umum Partai Oposisi kepada Presiden. Menurut penulis itu adalah sikap ksatria yang sedang menjaga kedaulatan partainya.
Menurut penulis pula, narasi seperti disampaikan di atas, dari sisi kebathinan kata, kesannya justru malah sedang minta perlindungan kepada Presiden Jokowi. Kesannya seperti seseorang yang sedang ketahuan berbuat salah lalu minta perlindungan. Tapi ini menurut penulis lo ya...
Lalu kalimat penutup Muldoko yang menurut penulis juga tidak manis adalah, "kalau mau jadi pemimpin jangan baperanlah". Baper adalah singkatan dari "Bawa-bawa perasaan". sebuah kalimat idiom yang berasal dari bahasa anak-anak ABG, ibu-ibu muda gaul dan anak milenial gaul yang menurut penulis kok rasanya tidak pas untuk diucap-ucapkan oleh orang selevel orang istana, yang seharusnya selalu berbicara dengan pich control, artikulasi dan kontrol emosi yang tinggi.
Lagipula sebaliknya, bukankah menjadi pemimpin itu justru harus selalu menghargai dan saling menjaga perasaan antar sesama ? Itu masuk kategori baper apa tidak ya ?
Setahu penulis, sejak zaman pak Harto hingga zaman pak SBY, yang namanya orang istana itu kalau berbicara selalu berhati-hati dan rapi. Tapi ini tentu saja ini kembali ke soal "personality" masing-masing. Mungkin saat ini gaya serius dan hati-hati sedang tidak menarik dan tidak diminati kali ya.
Pembaca, Komunikasi Politik adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan. Dalam praktek politik sesungguhnya komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Karena komunikasi yang baik akan menciptakan situasi politik menjadi lebih stabil dan kondusif.
Sekedar berupaya melawan lupa saja, Pak SBY pada saat menjadi ketua Umum PD dulu, pernah melakukan upaya bersih-bersih partai. Yaitu upaya pembersihan kader partai-kader partai yang gemar melakukan tindak pidana korupsi. Dalam hal pembersihan korupsi, menurut penulis, SBY punya keteguhan yang patut kita apresiasi.
Pada saat SBY bersih-bersih itulah, konon katanya ada beberapa kader yang terjaring dan akhirnya diberhentikan. Namun pembersihan tetaplah pembersihan, bagi yang terbukti telah berbuat korup, maka pilihannya pada saat itu adalah dua, berhenti sendiri atau diberhentikan tidak dengan hormat.
Kini orang-orang yang pernah jadi kader dan merasa kecewa itu nampaknya kompak bersatu padu dan berupaya mencari patron baru. Setelah bertemu dengan "orang istana", nampaknya kolaborasi ini semakin menemukan formasi yang diharapkan. Hanya ajaibnya gerakan ini kok terlalu cepat ketahuan oleh AHY.
Penulis yakin bahwa mereka semua mungkin sedang lupa, bahwa sebelum mereka di istana, pak SBY sudah terlebih dulu berada di Istana selama sepuluh tahun. Tapi begitulah politik, terkadang naas itu bisa saja terjadi kapan saja dan kepada siapa saja.
Lalu bila ada semacam prasangka bahwa partai penguasa dibalik ini semua. Penulis kok engga yakin. Mengapa ? Karena pada era orde baru dulu, saat PDIP masih bernama PDI, PDI adalah parpol yang paling sering kena bulli oleh penguasa orde baru. Puncaknya adalah ketika PDI, yang saat itu berlambang banteng di dalam segi lima, mulai terbelah pada saat kongres di Medan pada 1993. Duet Soerjadi-Nico Daryanto yang terpilih kembali membuat kelompok Budi Hardjono, yang disokong rezim Presiden Soeharto, berusaha menduduki arena kongres.
Untuk menyelesaikan pertikaian, Kongres Luar Biasa PDI digelar di Surabaya, Desember 1993.
Secara mengejutkan, Megawati terpilih menjadi ketua umum. Serunya pembaca, Kendati kongres berujung deadlock, Megawati tetap mengumumkan dirinya secara "de facto" telah menjadi Ketua Umum PDI.
Popularitas Megawati nampaknya menciutkan nyali Presiden Soeharto juga ketika itu. Putri pasangan Soekarno-Fatmawati itu pun akhirnya habis-habisan dijegal dalam Kongres IV PDI di Medan, Mei 1996.
Saat itu, rezim kembali memainkan Soerjadi sebagai pionnya. Soerjadi pun akhirnya terpilih menjadi ketua umum pada Kongres PDIP di Medan itu.
Peristiwa itulah diantara yang menjadi pemicu meletusnya reformasi 1998.
Kini setelah reformasi berjalan selama 22 tahun, dan PDIP sebagai partai penguasa utama, rasanya penulis sangat yakin, bahwa tindakan orde baru tidak akan dilakukan oleh mereka. Mengapa ? Karena mereka paling tahu bagaimana rasanya menjadi partai yang dibully oleh penguasa. Lagipula kalau itu sampai terjadi lalu apa gunanya reformasi ?
Gimana menurut pembaca ?
Pekanbaru 2 Februari 2021.
No Comment to " AHY dan Orang Istana "