KORANRIAU.co-Indonesia memasuki fase kritis sejak mengumumkan kasus pertama infeksi Covid-19 pada 2 Maret 2020. Memasuki bulan ke-11 pandemi, gelombang pertama masih juga jauh dari selesai. Puncak kurva masih belum terlihat.
Yang mengkhawatirkan, pendakian kurva ke puncak yang belum terlihat ini, kian curam. Untuk mencapai 100 ribu kasus yang pertama, butuh 148 hari, kini untuk mencapai 100 ribu kasus yang ke-10 hanya sembilan hari.
Untuk mencapai 5.000 kematian kasus positif pertama dibutuhkan 151 hari, tetapi untuk mencapai 5.000 kematian kasus positif kelima hanya 24 hari. Per 26 Januari 2021 atau hari ke-330, lebih dari satu juta kasus positif Covid-19 dengan lebih dari 28 ribu orang meninggal dunia.
Dengan tingkat kematian dari kasus infeksi (CFR) 2,8 persen, Indonesia terburuk di antara negara berkembang dengan kasus besar, seperti Turki (1,0 persen), India (1,4 persen), Bangladesh (1,5 persen), Pakistan (2,1 persen), dan Brasil (2,5 persen).
Angka kematian resmi yang dilaporkan sangat mungkin lebih rendah dari kenyataannya.
Ini perhitungan konservatif. Angka kematian resmi yang dilaporkan sangat mungkin lebih rendah dari kenyataannya. Bila kematian kasus suspek dan probable ikut diperhitungkan, angka kematian karena Covid-19 melonjak tajam.
Lapor Covid-19 pada 20 Desember 2020 melaporkan, angka kematian konservatif dari seluruh kasus adalah 2,5 kali lipat dari angka resmi yang dilaporkan pemerintah, yang hanya menghitung kematian dari kasus positif.
Bila menghitung seluruh kasus, kematian terkait Covid-19 berpotensi melonjak hingga tiga kali lipat dari angka resmi. Bila estimasi sesuai standar WHO, angka CFR melonjak ke 8,4 persen, salah satu terburuk di dunia bersama Ekuador (6,1 persen) dan Meksiko (8,5 persen).
Estimasi CFR Indonesia di kisaran 8 persen ini, menunjukkan dua kemungkinan situasi riil saat ini: sistem kesehatan nasional telah mencapai batas kapasitasnya dan kegagalan pemerintah mendeteksi serta mencegah penyebaran wabah Covid-19.
Kasus infeksi Covid-19 yang sesungguhnya kini diperkirakan telah menembus 3 juta kasus, terbesar ketujuh di dunia.
Dengan estimasi angka kematian sesungguhnya di kisaran 85 ribu, dan CFR “normal” di kisaran 2,8 persen, kasus infeksi Covid-19 yang sesungguhnya kini diperkirakan telah menembus 3 juta kasus, terbesar ketujuh di dunia.
Evaluasi
Memasuki episode satu juta kasus, pengendalian transmisi Covid-19 mengkhawatirkan. Transmisi Covid-19 cenderung tak terkendali, antara lain ditunjukkan dengan semakin besarnya jumlah kematian kasus harian dan pemakaman dengan protap Covid-19.
Lemahnya kepemimpinan melawan pandemi, terutama di awal krisis, membuat Indonesia kehilangan golden moment mencegah penyebaran wabah.
Setelah Covid-19 menyebar cepat, baru pemerintah menetapkan status darurat kesehatan masyarakat melalui Keppres No 11 Tahun 2020 pada 31 Maret 2020, sekaligus memilih PSBB sebagai instrumen penanggulangan Covid-19 sebagaimana PP No 21 Tahun 2020.
Lemahnya kepemimpinan melawan pandemi, terutama di awal krisis, membuat Indonesia kehilangan golden moment mencegah penyebaran wabah.
Melalui Perppu No 1 Tahun 2020 pada 31 Maret 2020 dan Perpres No 54 Tahun 2020 pada 3 April 2020, pemerintah terus mengukuhkan prioritas ekonomi atas kesehatan di tengah pandemi, dengan alokasi anggaran pemulihan ekonomi jauh di atas intervensi kesehatan.
Sejak awal Mei 2020, usai keluarnya data pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020 yang jatuh hanya di 2,97 persen, jauh di bawah proyeksi awal di kisaran 4,30 persen, wacana pelonggaran PSBB bergulir deras.
Setelah wacana berdamai dengan Covid-19 oleh Presiden pada 7 Mei 2020, relaksasi PSBB diluncurkan. Bahkan, pada awal Juni 2020, wacana penghentian PSBB dan adopsi tatanan kebiasaan hidup baru (new normal) dilakukan saat pandemi masih jauh dari tertanggulangi.
Langkah darurat
Mengendalikan Covid-19 secepatnya, krusial bagi negeri berpopulasi 270,2 juta orang ini. Prioritas terbesar, menyelamatkan 151,6 juta penduduk Jawa, pulau dengan kepadatan dan mobilitas penduduk tertinggi.
Diikuti Bali dan Nusa Tenggara Barat dengan 8,7 juta penduduk, yang memiliki keterpaparan eksternal tertinggi. Kita membutuhkan kebijakan drastis. PSBB tidak lagi memadai.
Jika dengan PSBB saja kasus penularan tidak tertanggulangi, terlebih lagi tanpa PSBB.
Merespons Covid-19, berbagai intervensi nonfarmasi skala besar diluncurkan banyak negara, mulai dari melarang kerumunan hingga karantina wilayah skala besar (lockdown). Meski dampak sosial dan ekonominya luas, dampak penurunan wabahnya sepadan.
Bahkan, jauh lebih signifikan dalam jangka panjang. Indonesia sebenarnya telah memahami dan mengadopsi hal ini dalam UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Sayangnya, sejak awal tidak digunakan.
Dengan new normal terbukti eskalasi wabah tak terkendali, perekonomian tetap tak pulih. Jika berlanjut, Indonesia menghadapi skenario suram: tumbangnya sistem kesehatan dan melonjaknya korban jiwa beriringan dengan kejatuhan ekonomi yang dalam.
Jika dengan PSBB saja kasus penularan tidak tertanggulangi, terlebih lagi tanpa PSBB. PSBB adalah kebijakan minimal, setengah langkah menuju kebijakan optimal: karantina wilayah. Semakin lambat upaya mencegah eskalasi pandemi Covod-19, semakin suram prospek perekonomian.
Turunnya kinerja ekonomi secara drastis dalam jangka pendek adalah pil pahit, yang harus dijalani untuk mengatasi pandemi. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.republika/nor
YUSUF WIBISONO, Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS)
No Comment to " Darurat Satu Juta Kasus "