KORANRIAU.co-Presiden Jokowi baru saja menandatangani Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme (RAN PE) 2020-2024.
Salah satu latar belakang diterbitkannya RAN PE adalah meningkatnya ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Situasi tersebut menciptakan kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional.
Untuk itu, RAN PE bertujuan meningkatkan perlindungan hak atas rasa aman warga negara dari ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Ini bagian dari pelaksanaan kewajiban negara atas HAM untuk memelihara stabilitas keamanan nasional.
Satu hal yang baru di dalam RAN PE adalah pelibatan dan peran aktif seluruh pemangku kepentingan. RAN PE merupakan program "semesta" yang melibatkan jajaran dan lembaga pemerintah tingkat pusat dan daerah serta berbagai elemen masyarakat.
Ektremisme dan terorisme adalah masalah global. Tidak ada satupun negara yang terbebas darinya, demikian pula Indonesia.
Tumpang tindih
Ektremisme dan terorisme adalah masalah global. Tidak ada satupun negara yang terbebas darinya, demikian pula Indonesia. Beberapa riset menunjukkan, ragam dan jumlah ekstremisme di nusantara cenderung meningkat. Namun secara kuantitas, persentasenya rendah.
Mayoritas bangsa Indonesia terdiri atas kelompok moderat yang mendukung Pancasila dan NKRI. Hubungan antarumat beragama juga terjalin baik.
Bahkan, menurut riset Balitbang Kemenag dan PPIM UIN Jakarta, hubungan antarumat beragama lebih baik daripada hubungan intern umat beragama. Maka, banyak pihak mempertanyakan urgensi Perpres Nomor 7 tahun 2021 tentang RAN PE.
Selain itu, perpres yang berlaku 2020-2024 seakan dimaksudkan untuk melindungi penguasa dan pejabat, bukan masyarakat dan rakyat. Apakah bisa dijamin, setelah 2024 Indonesia akan terlindungi dari ancaman ekstremisme dan terorisme?
Catatan lain atas Perpres RAN PE, potensi yang tinggi terhadap pembatasan kebebasan berkeyakinan.
Catatan lainnya, pertanyaan terkait kemungkinan tumpang tindih antara Perpres 7/2021 dengan UU nomor 16/2017 tentang Ormas dan UU Nomor 5/2018 tentang Anti Terorisme. Melihat materinya, dua UU itu cukup membuat ekstremisme dan terorisme "tidak berdaya".
Beberapa lembaga negara pun menerbitkan aturan terkait pencegahan ekstremisme. Pada 2020, BNPT menerbitkan Panduan Pencegahan Radikalisme di Lingkungan BUMN dan Swasta. Kemenag menerbitkan buku Moderasi Beragama.
Membatasi kebebasan
Catatan lain atas Perpres RAN PE, potensi yang tinggi terhadap pembatasan kebebasan berkeyakinan. Pada Pasal 1 ayat 2 Perpres 7/2021 disebutkan, ekstremisme berbasis kebebasan yang mengarah pada terorisme adalah keyakinan dan/atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan mendukung atau melakukan aksi terorisme.
Dari sisi akademik dan pelaksanaan, definisi ini problematik. Kata "keyakinan" adalah dimensi dalam dari perbuatan manusia. Keyakinan adalah sesuatu yang tidak nampak. Sebagian sikap dan tindakan seseorang dilandasi keyakinan.
Tekanan, kekhawatiran, dan pembatasan kepada umat Islam secara berlebihan bisa membuat seseorang bersikap ekstrem.
Namun, tidak semua keyakinan diekspresikan dalam sikap dan perbuatan. Pada sisi yang lain, sebagian sikap dan perbuatan tidak sejalan dengan keyakinan. Misalnya, dalam kaitan antara pandangan dan sikap moderat, ada empat kategori.
Pertama, berpandangan moderat dan berperilaku moderat; kedua, berpandangan moderat tetapi bersikap ekstrem; ketiga, berpandangan ekstrem tetapi berperilaku moderat; dan berpandangan ekstrem dan berperilaku ekstrem.
Al-Mutairi (2001) dalam Religious Extremism in The Lives of Contemporary Muslim membedakan variasi ekstremitas dalam hubungannya dengan keyakinan dan ekspresinya. Dalam konteks Islam ada lima kategori ekstremitas yaitu al-ghulu, al-tatharruf, al-unf, al-tanatha', dan al-tasyaddud (116).
Menurut al-Mutairi penyebab seseorang menjadi ekstrem tidak tunggal. Memang sebagian ekstremisme berakar pada keyakinan terkait akidah dan syariah. Namun, ekstremisme bisa juga karena faktor psikologis akibat keadaan seperti politik, ekonomi, kebudayaan.
Tekanan, kekhawatiran, dan pembatasan kepada umat Islam secara berlebihan bisa membuat seseorang bersikap ekstrem.
Ekstremisme dan terorisme tak seharusnya diatasi dengan cara ekstrem dan pendekatan preemptive.
Faktor lain yang secara psikologis melahirkan ekstremisme adalah kesenjangan kesejahteraan, konspirasi terhadap umat Islam, dan pemihakan kepada sekularisme, serta tumbangnya khilafah (al-Mutairi, 2001: 120-123).
Dalam pelaksanaannya, Perpres Nomor 7/2021 memungkinkan pembatasan kebebasan berkeyakinan yang dijamin UUD 1945 dan Deklarasi HAM. Pemberlakuan Perpres RAN PE hendaknya sangat berhati-hati agar negara tidak melanggar UUD dan HAM.
Merujuk Azyumardi Azra (Republika, 21/1), Perpres RAN PE hanya menyelesaikan masalah ekstremisme dan terorisme dari hilir, sementara akar dan hulunya tidak diselesaikan. Ekstremisme berbasis dan berwujud kekerasan dan terorisme memang masalah serius.
Walaupun kelompok ekstrem jumlahnya kecil tetapi akibatnya masif dan devastative. Ekstremisme dan terorisme tak seharusnya diatasi dengan cara ekstrem dan pendekatan preemptive.
Karena itu, pendekatan persuasif, humanis, dan edukatif disertai penegakan hukum serta peniadaan faktor eksternal nonkeyakinan seperti ketidak adilan sosial, hukum, dan politik tidak dapat diabaikan.republika/nor
Oleh: ABDUL MU'TI (Sekretaris Umum PP Muhammadiyah dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
No Comment to " Catatan untuk Perpres RAN Penanggulangan Ekstremisme "