KORANRIAU.co- Ini cerita tentang kesedihan dan pesimisme. Tentang kematian-kematian. Tentang pembunuhan. Tentang buntunya pikiran dan segala jalan keluar. Tentang nama Tuhan yang diteriakkan sebagai dinamit untuk menciptakan kerusakan demi kerusakan.
Pembantaian di Sigi kemarin itu tidak sendiri. Sebelum-sebelumnya, ada banyak kejadian yang lain lagi, dan itu tak perlu kita mungkiri. Namun lebih luas lagi, bukan cuma peristiwa-peristiwa yang menjadi latar belakangnya. Sebab ada lanskap besar yang terlibat dalam ini semua. Mulai dari satu ajaran yang memang ditafsirkan ke dalam beribu sudut pandang, manusia-manusia yang sedari awal menolak persinggungan dengan apa pun yang berbau liyan, hingga realitas-realitas mutakhir di alam digital.
Tentang egosentrisme yang membawa diri kepada imajinasi sebagai satu-satunya pihak yang layak hidup sambil mengenyahkan siapa pun yang berbeda, itu sudah jelas dan tak perlu dibicarakan berpanjang-panjang. Tapi semua itu menemukan titik kulminasinya di satu era, ketika pikiran yang semula selalu ngendon di dalam batok kepala jadi mudah sekali meloncat keluar, hanya dengan bekal alat kicau di genggaman.
Maka, kita melihat bahwa ada dua topik besar yang begitu mudah membakar amarah manusia di zaman ini: politik, dan agama. Dua hal itu memang acap mudah disentuhkan ke sisi paling primordial manusia, sehingga tingkat sensitivitasnya jauh lebih tinggi ketimbang soal-soal lain, semisal tema kuliner dan olahraga. Dan, karena saking kriuk-nya dua hal itu sebagai bahan bakar, keduanya pun sangat gampang dipakai sebagai mesiu untuk menggerakkan lautan massa, terlebih lagi pada waktu semua tangan memegang "media".
Hasilnya kita tahu, retorika-retorika tentang penindasan agama, pembungkaman tokoh agama, kezaliman kepada umat beragama, terus bergelora. Dari situ konsolidasi kekuatan dengan mudah dibangun. Dari konsolidasi, pelan-pelan mengarah ke mobilisasi. Dari mobilisasi, lantas dengan cepat beralih bentuk menjadi amunisi. Amunisi untuk apa? Tentu saja amunisi untuk kepentingan-kepentingan yang membutuhkan banyak suara!
Lalu siapa yang membutuhkan banyak suara? Tak usah dibahas lagi siapanya, sebab terang benderang "profesi" seperti apa yang sangat membutuhkan suara.
Sialnya, kebutuhan akan suara yang dapat dimobilisasi secara instan dan cepat itu selalu ada. Ia merupakan demand pasar sepanjang masa. Mulai tingkat lokal, hingga nasional. Jadi jangan heran-heran amat ketika retorika pembakar emosi primordial itu selalu muncul hampir setiap saat. Ini perkara marketing, perkara jualan, dan perkara membangun aset siap pakai. Sementara, yang namanya aset selalu membutuhkan perawatan, dan bentuk perawatan itu bisa berupa "oli", bisa pula berupa retorika-retorika panas yang sama yang tak henti digembar-gemborkan. Begitu, bukan?
Okelah jika ujung-ujungnya cuma untuk kepentingan suara, dan suara yang termobilisasi itu selesai tugasnya saat menghasilkan satu gol kepentingan kuasa. Masalahnya, ada sisa-sisa produksi dan efek samping dalam sebuah fabrikasi suara. Masih mending kalau sisa produksi itu cuma limbah cair atau padat atau gas. Celakanya, sisa produksinya berupa sesuatu yang bisa bertahan sangat lama dan berdaya tular tinggi, yaitu alam pikiran dan paradigma jutaan manusia.
Di sinilah asal muasal lahirnya ladang yang luas dan subur, tempat terus tumbuhnya benih-benih amarah, antipati, dan ketidaksukaan kepada liyan. Virus itu bukan cuma menyebar ke samping kiri dan samping kanan, namun juga ke bawah. Ke anak-anak sendiri, ke murid-murid sendiri.
Bukan hal yang mengejutkan lagi ketika kita mendengar ada anak-anak kecil (ya, sangat kecil) yang sudah dengan enteng mengekspresikan kebencian kepada sesama manusia kecil yang berbeda keyakinan. Bahkan baru kemarin siang seorang sahabat saya menunjukkan chat anak-anak umur 9 tahun dari sebuah sekolah yang menyerang secara verbal anak-anak dari sekolah lain, di saat dua sekolah menggelar webinar bersama. "SD Anu pasti agama Anu, males banget aku!"
Oh, Tuhan sebegitu entengnya mereka bicara. Sebegitu kasarnya. Sebegitu lenyapnya rasa-pangrasa. Lalu anak-anak itu mengambil sikap semacam itu dari siapa? Tentu saja dari orangtua, kakak-kakak, tetangga-tetangga dewasa, atau bahkan dari guru-guru mereka! Dan, para orang dewasa itu memungutinya dari ruang-ruang yang menyediakan retorika-retorika.
Jadi ladang itu berkembang bukan cuma sangat subur, tapi juga punya durabilitas yang panjang hingga puluhan tahun ke depan. Lalu anak-anak itu akan menjadi dewasa, bekal rasa benci di dalam dadanya akan ditularkan kepada adik-adiknya, juga kelak kepada anak-anaknya. Lalu kapan mata rantai itu terputus? Kita tidak tahu. Kita mungkin tidak akan pernah tahu. Bahkan menangis keras-keras pun tak akan bisa membantu.
Nah, di ladang yang subur itu, pembantaian-pembantaian oleh para iblis mendapatkan ruang lapang permakluman diam-diam. Kalaulah bukan permakluman, hadir penyangkalan-penyangkalan. "Teroris tidak beragama! Agama kami tidak seperti itu!" Ya, ya, ya. Agama kami memang tidak seperti itu. Buktinya sebagian besar penganut agama itu, termasuk saya, keluarga saya, dan teman-teman saya, toh bukan pembantai juga. Tapi orang-orang itu lupa, bahwa mereka mungkin tidak membantai, tapi tanpa sadar terus menyediakan ladang yang subur bagi pembantaian-pembantaian, lagi dan lagi.
Ladang-ladang itu adalah sekam amarah yang terus disebar, dihangatkan, dan seringkali dipanaskan. Bukan cuma oleh mereka para residu fabrikasi suara, melainkan juga oleh para sutradara yang terus membangun ladang-ladang baru, memupuk dan menyuburkannya, tanpa peduli bahwa ladang-ladang aset mereka itu tak henti haus darah dan akan terus menuntut korban-korban nyawa.
Lalu kita bisa apa? Kita tidak tahu. Saya tidak tahu. Bahkan menangis keras-keras pun sedikit pun tak akan bisa membantu.
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
No Comment to " Ladang Amarah dan Tangis yang Sia-Sia "