Oleh: Tito Handoko
Pilkada serentak tahun 2020 memang menjadi Pilkada yang paling sulit dan menantang karena dilaksanakan di tengah Pandemi Covid-19. KPU juga telah menerbitkan berbagai instrument pengendalian melalui PKPU Nomor 13 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota Dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang secara khusus mengatur mekanisme kampanye Calon Kepala Daerah di tengah Pandemi Covid-19.
Melalui PKPU itu, kampanye di batasi jumlah peserta yang hadir serta harus dilaksanakan dalam ruangan atau luar ruangan melalui penerapan protokol kesehatan secara ketat. Hal ini memang menjadi instrument antisipatif yang dilakukan oleh KPU selaku penyelenggara Pilkada serta menuntut peran yang lebih aktif dari Bawaslu dan masyarakat secara luas.
Menurut rilis Bawaslu Riau beberapa waktu yang lalu, terdapat 23 pelanggaran yang diproses Bawaslu se-Riau meliputi dugaan pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), laporan dugaan pelanggaran administrasi, serta dugaan pelanggaran pidana. Dari 23 pelanggaran yang dirilis Bawaslu itu, justru yang menarik adalah ditetapkannya salah satu Paslon sebagai tersangka pelanggaran Pilkada tahun 2020.
Kasus ini menandakan bahwa politisasi birokrasi masih menjadi alat untuk meraih kekuasaan politik di daerah, mungkin kasus ini kebetulan bernasib “Apes” saja menimpa calon tersebut karena penulis meyakini bahwa politisasi birokrasi masih menjadi strategi politik para calon yang terafiliasi dengan Kepala Daerah aktif terlebih para “petahana”.
Sepinya Pilkada serentak tahun 2020 menunjukkan antusiaisme public terhadap penyelenggaraan Pilkada berkurang, factor Pandemi dan pembatasan kampanye sepertinya menjadi alasan dibalik sepinya Pilkada 2020. Riuh Pilkada sepertinya hanya dirasakan oleh para tim pemenangan, koalisi partai politik dan orang-orang yang berkepentingan terhadap si paslon, sementara publik “buta” informasi mengenai visi-misi dan program strategis yang ditawarkan oleh para paslon yang bertarung di Pilkada serentak 2020.
Atensi publikpun sangat bergantung pada informasi media sosial, sementara informasi dari media konvensional sangat minim. Dialog-dialog mengenai Pilkada seolah hanya menjadi konsumsi antar tim ses dan paslon.
Bagaimana seharusnya menyikapi Pilkada yang sepi ini?
Beberapa ulasan pernah penulis sampaikan untuk menyelenggarakan kampanye virtual dan pemanfaatan media sosial secara massif sebagai lumbung informasi pubik. Akan tetapi, selang beberapa waktu lagi pelaksanaan kampanye tatap muka, kampanye virtual belum juga tampak dilakukan oleh para pasangan calon. Kampanye pilkada secara tatap muka masih dianggap paling efektif oleh pasangan calon untuk meraup dukungan pemilih, padahal jika kampanye virtual dilaksanakan, kesan pilkada “sepi” itu tidak akan terjadi.
Kualitas atau Kuantitas?
Ukuran Pilkada tentu saja kuantitas (jumlah) suara yang diperoleh oleh para pasangan calon, ini belum tentu sejalan dengan kualitas terlebih pada daerah yang calonnya terafiliasi dengan Kepala Daerah aktif baik sebagai Istri, Anak maupun pertalian darah lainnya. Menemukan substansi demokrasi untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan juga akan sulit karena lagi-lagi ini soal “Oligarkhi Politik” penguasa daerah.***
Penulis adalah: Dosen Ilmu Pemerintahan – Universitas Riau
No Comment to " "Pilkada Sepi" "