KORANRIAU.co- Jam 00.04 WIB, panggilan telepon melalui voice WA masuk. Tertulis "Bang Chaidir Detik" (Nama aslinya Haidir Anwar Tanjung, cuma terbiasa nulis Chaidir).
Aneh. Ini sudah dini hari, mengapa seniorku ini menelepon? Belum pernah terjadi. Ah, paling cuma salah pencet. Aku abaikan saja.
Telephone berdering lagi, kali ini menggunakan Video Call. "Kenapa ini Bang haidir ngajak VC tengah malam begini? Masa' salah pencet lagi?". Lagi-lagi aku abaikan.
Telephone berdering lagi. Kali ini panggilan suara lewat telepon biasa. Penasaran, panggilan ketiga ini aku terima. Karena merasa salah pencet, didiemin aja. Setelah beberapa detik, terdengar suara perempuan terisak di ujung sana. Pikiran ku ke mana-mana.
"Kak...Bang Haidir sudah nggak ada. Baru saja meninggal dunia. Ini saya istrinya. Jenazahnya masih di rumah sakit. Serangan jantung. Sudah pergi abang....".
Aku terdiam. Kabar dan tangisan histeris di seberang membuat hati, aliran darah, semua persendian, mendadak terasa sakit. Sakit yang susah diungkap. Hanya bisa terkeluar kalimat "Allahu Akbar...!" Bukan "Innalillahi wainailahi rojiun" yang seharusnya.
Sepersekian detik seketika mengulang waktu....
Baru saja kami bertemu, duduk semeja dengan Ibu Menteri LHK Siti Nurbaya. Membahas rencana launching buku perdana Bang Haidir, berjudul "Bonita: Hikayat Sang Raja".
Aku kembali mengingat pertemuan beberapa bulan lalu, Bang Haidir cerita soal bukunya yang diminati oleh pihak tertentu, tapi royalti penulisan dan cetak, tidak sesuai yang diajukan penulis. "Aku biasa nulis berita, tapi baru sekali ini nulis buku. Mereka mau ambil hak cipta dariku," kata Bang Haidir kala itu.
Sambil menyeruput kopi, Bang Haidir juga bercerita tentang kisah evakuasi penyelamatan Bonita, yang menjadi evakuasi penyelamatan Harimau Sumatera paling terlama yang pernah ada. Bang Haidir meliput peristiwa itu selama lebih dari 3 bulan lamanya. Menyusun buku itu berbilang tahun.
Dari tatap matanya, semangat dan kata-katanya menceritakan, aku dapat merasakan betapa berdedikasinya Bang Haidir dalam berprofesi sebagai jurnalis yang kritis dan sangat cinta lingkungan. Karyanya layak dihargai tinggi. Akhirnya memberanikan diri menawarkan "Bolehkah buku abang saya ceritakan ke Ibu Menteri LHK?" Beliau mengizinkan.
Hanya dalam waktu begitu singkat, Bu Menteri mengatakan "Bilang Bang Haidir, KLHK saja yang jadi sponsor tunggalnya. Ini buku bagus. Nanti selain cetak, launching bukunya kita gelar di Manggala Jakarta."
Aku ingat bagaimana bahagianya Bang Haidir waktu itu. Ungkapan syukur bertubi-tubi disampaikan. Aku ikut menumpang bahagia.
Bang Haidir dan Bu Menteri Siti tidak pernah bertemu. Bu Menteri paling hanya mengenal nama jurnalis senior Riau ini dari liputan-liputannya soal karhutla dan isu lingkungan lainnya. Tapi mereka akhirnya dipertemukan oleh Bonita.
Dalam prosesnya, begitu mendapat kepastian sponsor, Bang Haidir begitu bersemangat lagi menyelesaikan bukunya: "Aku lengkapi lagi ya, Af." Setelah lengkap beberapa bulan kemudian, buku itu sempat mendekam. Sunyi senyap. Sampai suatu hari Bu Menteri mengirimi ku pesan lagi: "Afni, bagaimana dengan buku Bang Haidir? Kenapa belum dicetak juga? Coba dicek. Kalau lambat prosesnya di bawah, biar saya yang handle langsung saja cetaknya. Buku itu harus segera dicetak," tegas Bu Siti.
Malam itu juga aku telepon Bang Haidir. Memintanya segera memberikan dumi. Beberapa hari kemudian, beliau datang ke rumah untuk pertama kalinya. Sendirian. Membawa dumi buku Bonita.
Bang Haidir duduk di pendopo rumah, minum kopi, dan berdiskusi dengan suamiku yang seorang Dosen Ilmu Perpustakaan, perihal bentuk cetak ideal buku Bonita.
Begitu semangat dia bertanya-tanya tentang jenis ukuran bukunya, jenis kertasnya, susunan gambar dan segala macam. Saking semangatnya, saat aku coba-coba nimbrung, Bang Haidir sampai bilang: "Af, kau diam dulu sajalah. Keahlianmu sama keahlianku cuma menulis, bukan soal bentuk ideal sebuah buku. Ini ilmunya suamimu. Aku ingin buku ini benar-benar sempurna." Aku pun terpaksa diam.
Buku itu akhirnya benar-benar jadi. Sempurna. Saat Bu Menteri LHK kunjungan kerja ke Riau, tepatnya tanggal 13 November 2020, Bang Haidir diundang hadir. Wajah beliau sumringah. Buku Bonita sudah dicetak khusus. Kami membahas banyak hal soal persiapan launching buku Bonita yang akan digelar di Manggala Wanabhakti, kantor KLHK di Jakarta tanggal 27 November nanti.
Bu Menteri sendiri yang langsung menyiapkan segala sesuatunya, bahkan sampai merencanakan menghadirkan berbagai pihak untuk sama-sama membedah kisah perjuangan penyelamatan satwa langka di Indonesia itu. Bagi Bu Siti, ini bukan soal Bonita saja, tapi buku ini merupakan bagian penting dari upaya dan perjuangan konservasi yang Indonesia sedang gaungkan. Langka ada jurnalis yang membukukan liputannya, Bang Haidir melakukan itu.
Bang Haidir hanya menyimak rencana-rencana Bu Menteri. Wajahnya terlihat sekali bahagia, perjuangan panjang buku Bonita sudah hampir di ujung jalan. Sebagai sesama jurnalis, sesama penulis buku, aku bisa menyerap kebahagiaan yang dirasakan Bang Haidir.
Sampailah kami berdiskusi tentang rencana Bu Menteri menghadirkan aktivis yang juga artis Indonesia ternama, Nicholas Saputra. Gantian aku yang berbinar-binar bahagia. Langsung nyeletuk "Bang, aku diundang kan bedah bukunya?" Bang Haidir langsung nyambar: "Kau wajib jadi moderator ya, Af".
Lalu kami saling WA-an: "Bang, kalo Nicholas Saputra yang hadir, saya tak maulah jadi moderator. Gagap nanti saya bawain acara bedah buku Abang." Padahal saya bercanda, tapi Bang Haidir memberi respons serius: "Kau wajib jadi moderator. Penulis buku dan moderator harus orang Riau. Sesekali orang Riau yang harus ditonton Nicholas Saputra. Orang Riau harus menguasai panggung di nasional," tulisnya. Serius. Kami selanjutnya ketawa-ketawa. Bersyukur.
Dalam kesempatan pertemuan dgn Bu Menteri itu pula, Bang Haidir menceritakan tentang proses pembuatan buku ini, bersama editor yang juga wartawan senior Riau, wartawan Kompas, Bang Sahnan. Ia bercerita juga tentang pihak-pihak yang banyak membantunya.
Bang Haidir ingin bedah bukunya nanti dilakukan juga secara daring, agar keluarga, sahabat dan rekan-rekannya yang tak bisa ke Jakarta, bisa mengikuti acara launching buku perdananya. Bu Menteri juga mendukung dan menyanggupi.
Aku ingat usai bahas buku Bonita, Bang Haidir keluar ruangan. "Af, aku merokok di luar". Oleh karena masih rapat, pesannya tak aku balas. Tak lama dia kirimi lagi pesan: "Af, aku pulang dulu ya." Aku baru balas setelah dia tak ada di hotel. "Bang, sampai ketemu saat bedah buku di Jakarta ya. Sukses. Jaga kesehatan bang." Dia jawab pakai tanda jempol. Aku menyesal tak menemuinya sebelum pulang, karena itulah pertemuan terakhir kami.
Kemarin, aku masih komen di medsosnya, soal liputan razia illegal logging di Rimbang Baling yang dilakukan KLHK dan Polda. Sebenarnya saat Bang Haidir di hotel, kami juga membahas soal rencana razia ini. Bang Haidir termasuk yang mengusulkan agar Suaka Margasatwa Rimbang Baling menjadi Taman Nasional. Agar hutan Riau masih ada, setelah hutan lainnya di Riau habis binasa. Lagi-lagi, usulan ini didengar Bu Menteri. Dibahas serius. Tapi untuk langkah awal, Bu Menteri minta lakukan penegakan hukum pada kasus-kasus di kawasan itu.
Liputan terakhir Bang Haidir tentang razia illegal logging Gakkum KLHK dan Polda Riau di SM Rimbang Baling menjadi liputan terakhirnya pula. Mengakhiri jalan panjang lebih dua dekade Bang Haidir mendedikasikan diri sebagai jurnalis detik.com yang idealis dan profesional.
Saat mendapat kabar duka, Bu Menteri Siti Nurbaya juga kaget luar biasa. Padahal sudah sebegitunya menyiapkan buku Bonita bersama-sama. Saya sempat usulkan agar launching buku tersebut ditunda saja, mengingat waktu yang kian dekat dan suasana duka kehilangan penulis utama, tapi Bu Menteri mengatakan, Bonita adalah karya abadi Bang Haidir yang harus dilanjutkan. Launching buku tetap akan dilaksanakan, buku akan tetap dicetak KLHK, dan diabadikan sebagai bentuk penghormatan atas dedikasi seorang jurnalis pejuang lingkungan hidup Indonesia dari Riau.
*
Tangis histeris istri Bang Haidir, rasanya meruntuhkan segenap persendian. Kenangan kenangan panjang bersama Bang Haidir mengulang di ingatan. Bahkan saat tulisan ini saya buat di sepanjang jalan dari Siak ke Pekan, untuk menghadiri pemakaman Bang Haidir.
Bang Haidir....
Abang orang yang pernah membuat saya menangis sepanjang jalan Jakarta-Bogor. Begitu sedihnya saya saat Abang meragukan idealisme seorang jurnalis hanya karena saya menjadi Tenaga Ahli Menteri LHK, tapi pada akhirnya abang begitu tulus meminta maaf (sambil ketawa-ketawa bilang hanya bercanda), lalu Abang menyemangati saya berjuang dan terus memperjuangkan lingkungan hidup dan kehutanan, semampu yang bisa dilakukan. Abang berjanji, kita akan berjuang sama-sama dengan cara kita. Abang menepati janji itu dengan tulisan-tulisan jurnalistik abang, dan saya berusaha menepati janji di lingkaran pembuat kebijakan.
Abang mengajari saya tentang jangan menilai orang dari sampulnya. Abang yang saya kira seorang 'jurnalis preman', ternyata punya hati yang begitu lembut, penyayang keluarga, dan taat melaksanakan kewajiban salat 5 waktu. Tepat waktu!
Bahkan abang rutin melaksanakan ibadah puasa sunah. Abang bahkan merasakan sakit sebelum pergi semalam, sesaat setelah berbuka puasa sunah Kamis. Abang orang sholeh.
Abang adalah guru jurnalistik saya. Abang bahkan masih sempat-sempatnya mengajari saya soal seni menulis dalam satu paragraf di sela menunjukkan dumi buku Bonita. Abang juga menyemangati agar buku soal kebakaran hutan dan lahan yang sedang saya susun segera jadi.
Bang Haidir...
7 hari lagi buku Bonita tetap akan dilaunching di Manggala Wanabhakti Jakarta. Abang meninggalkan warisan abadi.
Saat acara nanti, pasti saya akan sangat merindukan abang, menginginkan abang ada di sana, melebihi keinginan untuk duduk bersama Nicholas Saputra atau siapapunlah nanti narasumbernya.
Selamat jalan Bang Haidir...
Saya bersaksi abang orang baik. Husnul khotimah insyaAllah.
Salam hormat dari murid.
Afni Zulkifli, Mantan Pemred Pekanbaru Pos
No Comment to " Buku Bonita Bang Haidir "