KORANRIAU.co-Cuitan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal dukungan Bank Dunia (World Bank) atas Omnibus Law UU Cipta Kerja (Ciptaker) lewat twitter pribadinya, Sabtu (17/10), menggambarkan besarnya ambisi pemerintah untuk mempertahankan beleid sapu jagat tersebut.
Tidak hanya melalui media sosial, pemerintah juga menggalang dukungan dan meminimalisir opini negatif atas UU Ciptaker lewat berbagai cara, mulai dari melobi organisasi-organisasi besar yang menyatakan penolakan, seperti PBNU dan PP Muhammadiyah, hingga mengumpulkan para kepala daerah dan pengusaha.
Bagi pemerintah, UU Ciptaker adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengentaskan masalah pengangguran dan memanfaatkan momentum bonus demografi. Karena itu, jauh hari sebelum draf UU itu diusulkan ke DPR, pemerintah menyebutnya sebagai "hadiah" untuk mencapai Indonesia maju.
Tapi bagi para buruh, UU Omnibus Law adalah mimpi buruk. Ia bukan hanya dinilai akan mengebiri hak-hak pekerja atas kehidupan yang layak, tetapi juga membawa Indonesia menjadi pasar tenaga kerja yang fleksibel yang easy hire dan easy fire.
Penolakan buruh terhadap UU Ciptaker tak muncul tiba-tiba, melainkan sejak draf UU itu meluncur ke DPR pada Februari 2020 lalu. Mereka cukup kencang berteriak di antaranya soal penghilangan batas maksimal karyawan kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pengurangan jumlah pesangon, hingga makin fleksibelnya aturan alih daya atau outsourcing.
Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia (UI) Aloysius Uwiyono menjelaskan beberapa hal yang jadi landasan buruh menolak keras UU Ciptaker. Terkait pengupahan, ia mengungkapkan kerugian buruh akibat UU Ciptaker ada dua.
Pertama, karena dihapuskannya Pasal 164 yang mewajibkan perusahaan membayar pesangon dua kali lipat jika melakukan PHK bukan atas keadaan force majeure atau mengalami kerugian berturut-turut selama dua tahun. Hal ini yang membuat besaran pesangon yang diterima pekerja maksimal adalah 19 kali upah.
Kedua, hilangnya jenis uang penggantian hak yang seharusnya diterima buruh, yakni penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan yang ditetapkan 15 persen dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
Menurut Aloy, UU Ciptaker seharusnya tidak mengubah ketentuan pesangon bagi buruh yang terkena PHK menjadi lebih rendah. Selain itu, uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan juga tak bisa dihilangkan dan diubah ke dalam perjanjian kerja.
"Hukum positifnya UU 13/2003. Ketika kaidah heteronom (ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah/negara) dibandingkan dengan kaidah otonom (perjanjian kerja, kontrak dan sebagainya), kaidah heteronom harus jadi standar, maksimum atau minimum. Nah, sepanjang itu menyangkut hak pekerja dia adalah standar minimum," ujar Aloy kepada CNNIndonesia.com, Senin (19/10).
Artinya, jika Omnibus Law Cipta Kerja ingin mengubah ketentuan UU 13 Tahun 2003, maka perubahan mengenai pesangon dan uang penghargaan seharusnya sama atau lebih besar. "Tidak mungkin dalam UU Cipta kerja itu lebih rendah," imbuh dia.
Selain itu, ia juga menyoroti pasal UU Ciptaker yang membuat outsourcing semakin fleksibel akibat dihapuskannya aturan pembatasan pekerja alih daya. Yaitu, hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tak berhubungan dengan proses produksi dalam Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.
Hal ini berpeluang membuat perusahaan menggunakan outsourcing pekerja untuk berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan pekerja penuh waktu.
Aloy menerangkan dalam hukum perburuhan outsourcing dibagi menjadi dua, yakni pekerjaan dan pekerja. Outsourcing pekerjaan diperbolehkan sangat fleksibel untuk semua jenis pekerjaan.
"Konstruksi hukumnya begini: outsourcing pekerjaan itu kan ada mid-kontraktor dan menyerahkan pekerjaan kepada sub kontraktor, dan sub kontraktor butuh buruh untuk mengerjakan itu," tuturnya.
Sementara, outsourcing pekerja dibatasi hanya untuk pekerjaan tertentu di luar produksi agar memberikan kepastian terhadap upah. Sebab, dalam praktiknya penyedia jasa pekerja/buruh memberikan gaji dibawah UMP agar ada perusahaan yang mau menyerap pekerja mereka.
Namun, dalam UU Ciptaker, outsourcing pekerjaan dianggap sebagai business to business (B2B), sedangkan outsourcing pekerja dibuat fleksibel dan tak mengenal pembatasan.
"Kalau konstruksi hukum begini, sama dengan BP3TKI. Menyerahkan pekerjanya ke pengguna. Pekerja dengan perusahaan outsourcing itu tak mungkin ada hubungan karena pekerjaan dan perintah ada di perusahaan pengguna, perusahaan outsourcing hanya urusan upah," jelasnya.
Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, langkah pemerintah melanjutkan UU Ciptaker seolah melegitimasi pelanggaran aturan ketenagakerjaan yang terjadi di Indonesia selama pandemi. Ia mencontohkan tidak sedikit perusahaan yang tak terdampak covid-19 ikut mem-PHK pekerjanya tanpa pesangon yang layak.
Belum lagi, urusan upah minimum provinsi yang kemungkinan besar tak dinaikkan tahun depan. Padahal, ancaman covid-19 tahun depan diperkirakan tidak akan separah saat ini dan tak semua sektor usaha terdampak.
"Itu kenapa kami menolak penghapusan UMK dan upah sektoral bersyarat dalam UU Ciptaker. Upah minimum yang ada aturannya saja dilanggar. Apalagi, pemerintah melegitimasi pelanggaran. Pasti ada yang bilang karena persentase yang tidak bisa membayar 80 persen. Besar, tapi masa diikuti yang melanggar," tegasnya.
Sementara, Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai UU Ciptaker akan bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut negara maju, yakni kesejahteraan kelas pekerja.
Hal ini terutama lantaran tak ada batasan waktu maksimal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang membuat pekerja dapat dikontrak seumur hidup dan menghilangkan kesempatan mereka untuk menempuh jenjang karir di sebuah perusahaan.
Padahal, dalam Pasal 59 UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan PKWT dibatasi maksimal 3 tahun. Ketentuannya, PKWT dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Ada pula Pasal 88 ayat 3 Omnibus Law Ciptaker di mana buruh yang menggunakan waktu istirahatnya untuk bekerja tak diberikan upah. Sementara, dalam Pasal 88 ayat (3) huruf e UU Ketenagakerjaan pekerja berhak atas upah atas jam istirahat yang ia gunakan untuk bekerja.
"Di negara-negara maju, investor sangat menjunjung fair labour practice dan decent work di mana hak-hak buruh sangat dihargai. Bukan sebaliknya, malah menurunkan hak buruh. Berarti, bertentangan dengan prinsip negara maju," pungkasnya.cnnindonesia/nor
No Comment to " Omnibus Law Cipta Kerja, 'Kado' Jokowi Buat Buruh "