KORANRIAU.co-Disharmoni dan ketegangan di antara agama dan negara-bangsa Indonesia bisa meningkat ketika berbagai gagasan dan gerakan transnasionalisme merambah Tanah Air.
Transnasionalisme Islam memasuki Indonesia sejak 1980-an dan menemukan momentumnya menjelang akhir 1990-an, khususnya saat terjadi liberalisasi politik, sosial-budaya, dan ekonomi pada masa reformasi.
Penyebaran transnasionalisme Islam hanya bagian kecil perkembangan dan dinamika dalam Islam Indonesia secara keseluruhan. Namun, transnasionalisme menghadirkan tantangan terhadap arus utama Islam Indonesia dan negara-bangsa Indonesia.
Sebab, gagasan dan praksis transnasionalisme Islam, baik secara damai maupun radikal, memperjuangkan ‘universalisme politik agama’, seperti khilafah atau daulah Islamiyah.
Sementara itu, arus utama Islam kian dinamis dengan berbagai bentuk dan aspek dakwahnya, transnasionalisme Islam cenderung terus menyempal dari arus utama. Pada saat yang sama, nasionalisme warga merosot karena peningkatan globalisme politik, budaya, sosial, dan informasi.
Nasionalisme juga merosot karena faktor internal; kebebasan, demokrasi, kemerosotan otoritas negara, juga kelemahan dan inkonsistensi penegakan hukum.
Nasionalisme menurun pun karena kemerosotan sentralisme negara akibat globalisasi (liberalisasi pasar, ekonomi, budaya, dan politik); dan desentralisasi, evolusi, dan otonomisasi.
Untuk membangun hubungan lebih kondusif antara agama dan negara, perlu revitalisasi nasionalisme Indonesia. Revitalisasi itu dapat dilakukan dengan penguatan simbol-simbol nasionalisme dan negara-bangsa semacam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam konteks terakhir ini, sepatutnya para pejabat publik dan pemimpin agama tidak mempertentangkan agama dengan Pancasila. Hubungan Islam dengan Pancasila sudah selesai sejak 18 Agustus 1945.
Dalam kaitan untuk senantiasa memperkuat harmoni antara agama, dakwah, dan negara perlu revitalisasi, rejuvenasi, dan resosialisasi Pancasila.
Mempertentangkan agama dengan Pancasila merugikan kehidupan keagamaan dan kenegaraan. Tak pada tempatnya pula mengabaikan ‘bhinneka’ atau ‘bineka’ (kemajemukan) dengan mengutamakan ‘ika’ (kesatuan); harus ada keseimbangan antara kebinekaan dan keikaan.
Kemajemukan ada di mana-mana, baik internal satu agama tertentu seperti Islam maupun antaragama berbeda. Kemajemukan juga ada dalam realitas suku bangsa atau etnis, sosial-budaya, sosial-ekonomi, dan sosial-politik.
Dalam keikaan perlu penguatan kebersamaan, solidaritas dalam waktu senang dan susah. Saat ekonomi bertumbuh, kelas menengah Muslim juga meningkat jumlahnya. Mereka menjadi tulang punggung pengembangan dakwah, pendidikan, dan filantropi Islam untuk keadilan sosial dan kesejahteraan umat-bangsa secara keseluruhan.
Dalam kaitan untuk senantiasa memperkuat harmoni antara agama, dakwah, dan negara perlu revitalisasi, rejuvenasi, dan resosialisasi Pancasila. Penguatan ini mesti dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan kebangsaan.
Khususnya, melalui tiga lokus pendidikan: keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial lebih luas.
Lebih jauh, untuk kepentingan harmoni di antara kedua entitas (agama dan negara), yang menciptakan iklim kondusif bagi dakwah, perlu resosialisasi dan reedukasi tentang kesesuaian agama dan negara-bangsa.
Sekali lagi, sosialisasi ini dapat dilakukan melalui tiga lokus pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Pada saat yang sama, perlu penguatan Islam wasathiyah, jalan tengah yang menekankan sikap tawasuth (tengahan), tawazun (seimbang), ta’adul atau i’tidal (berkeadilan), dan tasamuh (toleran).
Islam wasathiyah dipraktikkan bukan hanya secara internal umat Islam, melainkan juga dengan penganut agama berbeda dan sekaligus negara.
Di sini juga perlu peningkatan peran kepemimpinan agama, sosial, dan politik dalam penguatan harmoni agama dan negara-bangsa.
Penguatan Islam wasathiyah penting, tidak hanya untuk membangun harmoni dengan negara, tetapi sekaligus guna menangkal ekstremisme, radikalisme, dan terorisme yang sering mengatasnamakan agama.
Jika keadaan tak kondusif ini tak direspons kaum Muslimin arus utama, bisa tercipta disharmoni dan ketegangan antara umat Muslim dan negara.
Dalam konteks semua itu, perlu peningkatan pemberdayaan ormas Islam dan LSM advokasi umat sebagai ‘masyarakat madani’ atau ‘masyarakat sipil’ berbasis Islam (Islamic-based civil society/IBCS).
IBCS berperan penting dalam penyemaian dan penguatan ‘budaya sipil’ untuk pembentukan ‘keadaban publik’. Semua ini penting untuk konsolidasi demokrasi dan tata kelola pemerintah yang baik.
Di sini juga perlu peningkatan peran kepemimpinan agama, sosial, dan politik dalam penguatan harmoni agama dan negara-bangsa.
Penguatan ini penting untuk pemberdayaan jaringan dan sinergi agama serta negara-bangsa yang kondusif bagi dakwah, dalam berbagai bentuk pada bermacam aspek kehidupan beragama dan berbangsa-bernegara.republika/nor
OLEH AZYUMARDI AZRA
No Comment to " Negara, Dakwah, dan Penceramah Agama "