KORANRIAU.co-“Nah didalam hal ini, didalam segala politik Republik Indonesia, ja bagian “Malaysia”, ja bagian berdikarinja ekonomi, ia bagian berdaulatnja politik. Ia bagian berkepribadiannja kebudajaan, selalu PKI adalah berdiri dibarisan jang paling depan daripada barisan Indonesia ini. Karena itupun saja tanpa tedeng aling2, jo PKI kene dulurku, kene dulurku, jo sanak jo kadang jen mati aku sing kelangan. Memang demikian Saudara2. Manakala saja didalam Kongres jang ke-VII daripada PKI berkata : PKI “go ahead”! Berdjalanlah terus, artinja go ahead. Sekarang pun saja berkata PKI, go ahead ! PKI, madju, onward, onward, never retreat !”[1]
Kutipan di atas adalah pidato Bung Karno dalam hari ulang tahun PKI ke 45 tanggal 25 Mei 1965 di depan ribuan masa yang memadati Stadion Senayan Jakarta. Pidato itu kemudian menjadi buku saku dengan tajuk: "Subur, Subur, Suburlah PKI". Buku ini diterbitkan oleh Jajasan Pembaruan, Jakarta.
Namun ironinya, sejak beralih total mendukung Soekarno, PKI justru menelan pil pahit dengan menempatkan perjuangan kelas dibawah perjuangan nasional, PKI memang semakin menapaki tangga kekuasaan. Namun di balik itu, PKI terkunci oleh sebuah ‘permainan’ keseimbangan kekuasaan oleh Soekarno. Soekarno mampu mengurung PKI dalam politik kekuasaan yang disebut Donald Hindley, poltik ‘domestikasi’ PKI.[2]
Sebuah upaya oleh Soekarno untuk memberikan perlindungan bagi legalitas dan eksistensi PKI dan organisasi-organisasi yang bernaung di bawahnya, tetapi di lain sisi, Soekarno juga mampu memaksa PKI untuk tunduk dalam aturan-aturan yang dibuatnya.
Diantaranya adalah memaksa PKI untuk berakrobat menerima Pancasila, ikut pada UUD 1945 dan lainnya. Soekarno juga mampu untuk melunakkan militansi kader-kader atas PKI dengan memberi kekuasaan pada PKI secara perlahan-lahan ditingkat daerah pada anggota-anggotanya. Memberikan materi dan kekuasaan, secara tidak langsung melakukan pemborjuisan bagi anggota-anggota PKI tersebut.[3]
Tahun 1963, keadaan mulai berbalik. PKI mulai memanaskan situasi politik dengan member tekanan keras pada lawan-lawan politiknya, termasuk yang paling keras adalah mendorong aksi-aksi sepihak di daerah-daerah yang menjadi basis lahan pertanian. Nampaknya PKI sejak tahun 1963 mulai bangkit dan hendak menaikkan daya tawarnya dengan melakukan aksi-aksi lebih keras sejak tahun tersebut.
Sejak tahun tersebut, aksi-aksi sepihak, ofensif-kultural, rituling, tekanan-tekanan terhadap kelompok lawan terus berjalan. Di lain sisi, Soekarno sendiri terus menggelorakan romantika revolusi. Pada tahun 1964 ia berpidato menyebut tahun tersebut tahun Vivere Pericloso, tahun yang menyerempet bahaya.
“…mencapai keyakinan bahwa tiada perjuangan besar dapat terselenggara tanpa rasa romantiknya-perjuangan, maka saya tidak berhenti-berhenti mentransferkan rasa romantik-perjuangan itu kepada Rakyat Indonesia. Segala pasang-naik dan pasang-surutnya perjuangan, segala pukulan yang kita berikan dan segala pukulan yang kita terima, adalah iramanya perjuangan, iramanya Revolusi. “Memukul, – hayo berjalan terus! Dipukul, – hayo berjalan terus!” Dentamnya Revolusi, yang kadang-kadang berkumandang pekik-sorak, kadang-kadang bersuara jerit-pedih, sebagai satu keseluruhan kita dengarkan sebagai satu nyanyian, satu simfoni, satu gita, laksana dentumnya gelombang samudera yang bergelora pukul-memukul membanting di pantai, kita dengarkan sebagai satu gita kepada Tuhan yang amat dahsyat.”[4]
Suasana terus dipanaskan dengan membangkitkan kesadaran patriotisme melawan neo kolonialisme (nekolim) dan antek-anteknya. Konfrontasi ‘Ganyang Malaysia’ tak henti bergelora. Setiap hari, lewat radio, masyarakat diingatkan akan aksi mengganyang Malaysia.
“Bersiaplah Tengku aku datang menentang maksudmu
Hadapilah Tengku aku akan merintang niatmu
Semangat bangsaku ’kan membara setiap penjuru
Kita berjuang membela keadilan di dunia
Kita menuntut merdeka bagi semua bangsa Bangkitlah serentak Afrika Asia”[5]
Keterangan foto: Sukarno dan Aidit dalam perayaan 45 tahun PKI. Sumber foto: Wikipedia.
Di lain sisi, politik konfrontasi memiliki sisi kelamnya. Polarisasi masyarakat semakin tajam membelah. Masyarakat disekat antara revolusioner dengan kontra-revolusioner. Saling tuduh, saling cari selamat, meritul lawan politik atau bahkan sekedar pesaing dalam kehidupan sehari-hari. Semua mengajak untuk mengikuti irama revolusi. Siapa yang tak ikut, akan ditinggalkan. Di bulan Januari 1965, Wakil Perdana Menteri I sekaligus Menteri Luar Negeri, Dr. Soebandrio mengatakan,
“Revolusi kita memuntjak dan makin memuntjaknja revolusi kita makin besar djuga perongrongan dari nekolim, baik dari luar maupun jang mempunjai unsur-unsur didalam. Bahkan djangan Saudara-saudara nanti terkedjut, djangan Saudara nanti merasa kaget, kalau tahun 1965 djuga akan mengenal afvallers dalam revolusi kita. Jang kemarin mendjadi comrade in arms, teman seperdjuangan, teman pribadi, mungkin besok kita sudah harus berpisah, mungkin tetap mendjadi teman pribadi, tetapi tidak mendjadi teman seperdjuangan.”[6]
Rosihan Anwar, salah seorang jurnalis pendukung PSI kemudian menduga-duga dibalik pernyataan Soebandrio. “…apakah dalam tahun 1965 ini bakal terjadi sesuatu peristiwa yang menggemparkan yang akan mewujudkan kenyataan “kawan seperjuangan terpaksa kita tinggalkan?” Tetapi peristiwa itu seperti yang lazim dilakukan oleh kaum komunis ialah “pembersihan” atau purge dikalangan mereka sendiri. Tentu purge mungkin saja tetapi saya belum melihat tanda-tandanya. Ataukah saya mencari-cari terlalu jauh di balik perkataan Subandrio? Barangkali Subandrio bicara asal gagah-gagahan saja seperti kadang-kadang anak Indo dari Kemayoran yang mau bouwmaken, zeg? Entahlah.”
Partai Komunis Indonesia merangsek lebih agresif dengan menetapkan musuh-musuh mereka. Aidit misalnya dalam hasil penelitian tentang kaum tani di Jawa Barat selama Februari-Maret 1964 menetapkan musuh bagi petani, yaitu tujuh setan desa, yakni tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, kaptalis birokrat, tengkulak jahat, bandit desa dan penguasa jahat yang membela kepentingan kaum pengisap desa. Masalahnya penetapan musuh ini memiliki kriteria yang longgar pada prakteknya dilapangan. Meski telah menetapkan kriteria aksi dilapangan (jelas sasaran aksi, jelas kekuatan dan sandaran aksi, jelas cara melaksanakan aksi dan jelas waktu aksi), pada kenyataannya pada aksi-aksi sepihak menjadi aksi yang brutal dan longgar seperti yang sudah dibahas pada bagian sebelumnya.
Penetapan musuh oleh PKI juga dilakukan sebelumnya dengan mengidentifikasi yang mereka anggap kontra-revolusioner. Aidit dalam pidatonya yang berjudul “Hajo, Ringkus dan Ganjang Kontra-Revolusi!” pada ulang tahun PKI ke-43, tahun 1963 menetapkan 3 politik kelompok kontra-revolusioner, yaitu, anti-Soekarno, anti-Tionghoa dan anti-komunis.[7]
CC PKI dalam instruksinya pada bulan Juni 1965 kepada anggota partai, memerintahkan untuk terus memanaskan suasana yang menurut mereka sudah sampai pada situasi revolusioner. Ciri-ciri situasi revolusioner tersebut adalah;
“(1). Massa Rakjat sudah aktif berdjuang untuk adanja perubahan jang dapat memperbaiki penghidupan mereka. (2). Segi anti-Rakjat dalam kekuasaan politik makin terdesak, segi pro-Rakjat makin unggul dan politik pemerintah makin banyak yang disesuaikan dengan tuntutan2 Rakjat. (3) Aksi-aksi massa makin meluas sehingga peranan massa rakjat makin besar dan makin menondjol dalam kehidupan masjarakat dan politik Negara.”
Instruksi yang ditandatangani oleh Sudisman tersebut dengan jelas meminta agar aksi-aksi massa yang ofensif semakin ditingkatkan agar dapat mencapai kemenangan. Menurutnya, “Ofensif berarti sukses dan menang, defensive berarti gagal dan kalah.” Dengan gamblang (dan naïf?) CC PKI bahkan ‘menjanjikan’ bahwa aksi ofensif tersebut dapat menyelesaikan persoalan ekonomi.[8]
Keterangan foto: Massa dalam kampanye PKI jelang pemilu 1955.
Wacana ‘situasi revolusioner’ juga makin digencarkan PKI. Pada pernyataan Politbiro PKI menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1965, Politbiro PKI menyerukan dalam pernyataannya yang berjudul “Lantjarkan Terus Ofensif Revolusioner Disegala bidang untuk Mengembangkan Situasi Revolusioner Sampai Kepada Puntjaknja!” agar aksi-aksi tersebut diperhebat untuk menyingkirkan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Menurut mereka,
“Revolusi kita belum selesai, bahwa kita harus menjelesaikan tahap pertama daripada revolusi kita, tahap nasional demokratis, sebagai sjarat untuk dapat meningkat dan memulai tahap kedua daripada revolusi kita, jaitu tahap sosialis. Jang dimaksudkan dengan menjelesaikan tahap nasional demokratis daripada revolusi kita, yaitu tahap Sosialis.”[9]
Partai Komunis Indonesia saat itu memang menapaki masa-masa puncaknya. Setidaknya mereka memiliki 3,5 juta anggota partai. Bukan hanya itu PKI memiliki dukungan dari 3 juta anggota Pemuda Rakjat, 3,5 juta anggota SOBSI, 9 juta anggota BTI, 3 juta anggota Gerwani, 5 juta anggota Lekra, dan 70 ribu anggota HSI.[10] Klaim 27 juta dukungan itu memberikan PKI partai dengan peluang terbesar sebagai pemenang jika Indonesia mengadakan Pemilihan Umum.
Kekuatan PKI memang masih berpusat di Pulau Jawa dan sedikit tambahan dari luar Jawa seperti Bali, dan Nusa Tenggara. Meski demikian, di elit politik, PKI, menjadi kekuatan terbesar pendukung Soekarno. Massa pendukungnya yang jauh lebih radikal dari PNI yang rata-rata dari kalangan priyayi dan birokrat. PKI mampu mengartikulasikan politik revolusioner Soekarno.
KH Saifuddin Zuhri, tokoh NU sekaligus Menteri Agama menuturkan situasi saat itu,
“Sekitar tahun 1963-1965, gerak PKI makin ofensif, melalui propaganda yang penuh agitasi dan demagogi menggerakkan seluruh tenaganya (petani, buruh, pemuda, perempuan, cendikiawan, seniman dan lain-lain) untuk bersikap lebih agresif dan militan. Semua digerakkan dalam semangat ateisme dan penghinaan terhadap agama. Dan PKI sesumbar seolah-olah gerakan mereka tak mungkin bisa dibendung oleh siapa pun. PKI merasa mendapat angin dari revolusi-revolusi yang tengah dikobarkan di RRC dan di Vietnam.”[11]
Di lingkaran Soekarno, satu persatu penghalang PKI disingkirkan. Para tokoh Partai Murba yang mencoba menghalangi PKI, seperti Chaerul Saleh, Adam Malik dan Sukarni tak lagi menjadi ancaman. Dukungan Chaerul Saleh dan Adam Malik kepada BPS akhirnya menyeret mereka tersingkir dari kekuasaan. Kedua terus menerus dikecam para pendukung PKI. Terlebih setelah Chaerul Saleh, mengutip sebuah dokumen, mengatakan PKI akan mengambil alih kekuasaan pada tahun 1970. Sayangnya dokumen tersebut tak bisa dibuktikan kebenaran dan asal usulnya sehingga membuat Saleh semakin terdesak. Partai Murba pun akhirnya dilarang Soekarno. Saleh dan Adam Malik disingkirkan dari kabinet pada bulan Maret.[12]
Di lain sisi PNI bukan lagi partai yang utama. Meski menjadi pemenang pemilu 1955, PNI tak bisa seradikal PKI mengikuti irama revolusi Soekarno. Tubuh PNI terjadi perpecahan. Sebagain tokoh PNI seperti Hardi dan Hadisubeno Sosrowedjojo menjadi penentang komunisme dan pengaruhnya dalam tubuh PNI. Keduanya perlahan disingkirkan kubu Ali Sastroamidjojo dan Surachman. Surachman memang disinyalir sebagian pihak sebagai sosok pro-komunis yang berhasil menginfiltrasi PNI.[13] Meski PNI semakin ‘ke kiri’ namun PNI tak selincah PKI dalam mengikuti gendang revolusi yang ditabuh Soekarno. Di akar rumput PNI terdapat penolakan yang kuat terhadap politik agraria.
Praktis elit partai di lingkaran Istana tak ada lagi yang mampu mengalahkan dominasi PKI. Partai NU memang mendapatkan beberapa jabatan bagi para tokohnya. Namun secara umum NU tak dapat mengimbangi manuver PKI dalam mempengaruhi politik Soekarno. Peran NU lebih terasa dalam melindungi kepentingan umat Islam.
“Tak ada kiprah PKI yang tidak ditandingi oleh NU. PKI membanggakan massanya, NU pun mengerahkan jama’ahnya. PKI menggerakan Gerwani, NU menggerakkan Muslimat. PKI menjadikan Pemuda Rakyat sebagai pasukan pelopor, NU menjadikan Gerakan Pemuda Ansor sebagai “Banser”, artinya Barisan Serba Guna, sei serbanlaku ujung tombak NU (Nama Banser dari belakang berbunyi serban). Baju seragam Banser hamper menyerupai RPKAD. Bukan itu saja, PKI menggerakkan Barisan Tani Indonesia (BTI) dan NU mengaktifkan Pertanu (Pertanian NU). PKI mempunyai Sobsi, NU menggerakkan Sarbumusi (Sarekat Buruh Muslimin Indonesia). PKI mendirikan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), NU membikin Lesbumi (Lembaga Seni Budayawan Muslimin Indonesia). Dan,…PKI menciptakan “Genjer-genjer” untuk membangkitkan semangat mengganyang siapa saja yang non-PKI, ulama-ulama NU menciptakan Shalawat Badar, shalawat untuk memuji-muji Rasulullah dan para sahabat yang menyertai Nabi besar Saw. Dalam perang Badar sebagaimana diriwayatkan, tatkala Nabi Besar Muhammad Saw. Bersama 313 orang sahabat bertempur dalam Perang Badar melawan kesewenang-wenangan orang-orang Quraisy,….
….Alhasil umat NU menandingi segala kegiatan PKI di semua medan.”[14]
Selaku Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri juga memelopori standar penerjemahan Al-Qur’an lewat Lembaga Penerjemah Al-Qur’an. Tujuan penerjemahan tersebut agar umat Islam mengerti isi kandungan kitab sucinya. Dengan memahami kandungan Al-Qur’an maka umat Islam akan bisa membentengi dirinya dari bahaya ateisme yang digelorakan PKI.[15]
Masa-masa itu adalah masa yang masif bagi penerbitan buku-buku kiri. Buku-buku kiri, terutama penerjemahan dari negara-negara komunis banyak beredar di Indonesia dan dengan harga yang tak masuk diakal murahnya.[16] Penerjemahan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Kementerian Agama menjadi langkah strategis membendung pengaruh komunis di Indonesia. Bagi KH Saifuddin Zuhri, lebih banyak umat Islam yang memahami Al-Qur’an ketimbang orang komunis yang mengenal ‘kitab suci komunis’ seperti Das Capital, atau Manifesto Komunis. “Orang-orang Komunis pasti tidak bias menemukan unsur “candu” dalam Islam, sebagaimana agama-agama yang secara dogmatis-Marxisme dipandang sebagai “candu” rakyat. Islam adalah “madu” yang sekalipun berupa cairan kental, lengket, mungkin ada yang berwarna kehitam-hitaman, sehingga sepintas menyerupai “candu”, namun Islam obat dan penawar hati, rahmat serta petunjuk bagi umat manusia,” demikian jelas KH Saifuddin Zuhri.[17]
Ketika PKI berusaha untuk menyingkirkan HMI dengan meminta Soekarno membubarkan HMI, KH. Saifuddin Zuhri melakukan aksi pasang badan melindungi HMI. Presiden Soekarno menuturkan rencananya pada KH Saifuddin Zuhri, untuk membubarkan HMI. Soekarno menyebut HMI sebagai anak didik Masyumi yang reaksioner. Namun pendapat ini disanggah oleh KH Saifuddin Zuhri;
“Sulit buat saya selagi masih Menteri Agama ada organisasi Islam yang dibubarkan tanpa alasan kuat.”[18]
Waaah,…tidak saya sangka kalau Saudara membela HMI, ya?” jawab Presiden Soekarno sambil menerawang. Pada akhirnya KH Saifuddin Zuhri menjawab, “Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan geweten Bapak. Maka tugasku sebagai pembantu Bapak hanya sampai disini,” jawab KH Saifuddin Zuhri dengan tegas.[19]
Presiden Soekarno akhirnya batal membubarkan HMI dan meminta HMI agar menjadi organisasi yang progresif dengan syarat KH Saifuddin Zuhri, AH Nasution, Roeslan Abdulgani dan Syarief Thayeb. Meski demikian, PKI tetap menuntut Presiden Soekarno untuk membubarkan HMI. Termasuk dalam pembukaan Kongres ke-III CGMI di Jakarta, pada tanggal 29 September 1965.
Rapat Umum Menyambut Pembukaan Kongres tersebut menjadi ajang caci-maki untuk HMI. HMI disebut sebagai “Setan perguruan tinggi.”[20]Aidit bahkan dalam sambutannya di Kongres tersebut menyatakan, “…menjinggung masalah tuntutan pembubaran HMI, CGMI harus bias membubarkan HMI, kalau tidak bias maka anggota2 pria CGMI lebih baik memakai kain sadja.”[21]
Menanggapi pernyataan Aidit, Presiden Soekarno menyebutkan bahwa bukan saja HMI, CGMI jika kontra-revolusioner juga akan ia bubarkan.[22] Presiden Soekarno juga menyatakan bahwa setiap partai atau organisasi harus menyingkirkan kelompok gadungan. Presiden Soekarno dengan tegas menyatakan,
“Saja tempo hari sudah mengatakan kepada semua partai, kalau ada gadungan tendang keluar! NU kalau ada antek2 Masjumi tending keluar, Muhammadijah kalau ada elemen2 Masjumi tendang keluar, PNI kalau ada marhaenis2 gadungan tendang keluar, PKI kalau dalam tubuhnja ada soska tendang keluar!”
Pernyataan Aidit tersebut ditanggapi Wakil Perdana Menteri I, Johannes Leimena, yang berpidato setelah Aidit, mengatakan, organisasi apapun yang menyimpang dari revolusi harus dibubarkan. Tolok ukur untuk menilai menyimpang atau bukan adalah tujuan revolusi itu sendiri. Leimena kemudian menyanyakan, apakah benar tujuan HMI bertentangan dengan revolusi? Menurutnya pada saat itu harusnya menggalang persatuan, bukan saling mereduksi untuk mencapai tujuan revolusi itu sendiri.
Sikap terbuka Leimena yang mengadvokasi HMI, meski ia seorang Kristen, didasari keyakinannya bahwa tujuan akhir PKI bukanlah pembubaran HMI, melainkan membubarkan organisasi-organisasi agama.[23]
KH Saifuddin Zuhri sendiri memanfaatkan pernyataan Presiden Soekarno yang mengatakan “Agama unsur mutlak Nation Building.” Bagi KH Saifuddin Zuhri, pernyataan ini memberi jalan eksistensinya di segala bidang dalam rangka nation building.
“Dengan dalil “Agama Unsur Mutlak Nation Building,” kita dapat melawan kiprah PKI di mana-mana. Bahkan kita bias menumpas segala bentuk atheism, baik atheism yang melahirkan komunisme, maupun kapitalisme, liberalisme atau fasisme. Setiap ideologi yang berbahaya tidak bisa dilawan dengan hanya menggunakan kekerasan dan senjata, tetapi harus dihadapi dengan kesadaran beragama.”[24].republika/nor
No Comment to " Umat Islam, PKI, Militer: Babak Akhir Jelang September 1965 "