KORANRIAU.co- Perempuan zaman sekarang semakin galak. Sedikit-sedikit teriak pelecehan. Sedikit-sedikit darurat kekerasan seksual. Cuma disiulin saja marah. Cuma digoda lewat chat langsung melapor di media sosial. Seram. Demikian tradisi lama yang dianggap normal merasa was-was dan kebingungan menghadapi norma baru: budaya melawan pelecehan seksual!
Kita sampai pada episode: seorang politikus laki-laki mencuit lewat akun pribadinya di Twitter perihal paha politikus perempuan. Paha calon wakil wali kota Tangsel itu mulus banget, ujarnya, secara sadar dan terbuka. Padahal, Rahayu Saraswati, sang calon wakil wali kota, pagi itu sedang dalam agenda berolahraga, tentu saja sepatutnya dengan pakaian olahraga.
Pelecehan seksual verbal oleh Cipta Panca Laksana serupa riak keruh yang menggambarkan betapa besar tantangan perempuan di ruang publik. Menariknya, ini bukan soal jenis kelamin. Seksisme bukan wajah laki-laki, melainkan wajah siapa pun dengan perasaan merasa berkuasa yang bertujuan membuat pihak yang lebih lemah menjadi tak berdaya, merasa rendah, merasa bersalah, mempertanyakan kembali dirinya sendiri sehingga selanjutnya dapat dikontrol dan dikuasai.
Nyatanya, Panca meleset. Ia salah memilih lawan.
Di media sosial yang terbuka, pelaku pelecehan memilih mengomentari bentuk tubuh perempuan, warna lipstik perempuan, baju perempuan hingga status perkawinan perempuan dibanding menakar gagasan perempuan yang disampaikan sesuai latar belakang akademik dan kiprah politiknya. Bisa jadi, ia tak mampu mengimbangi gagasan perempuan. Bisa jadi, ia adalah produk dari dunia yang terlalu laki-laki dari abad sebelumnya yang masih terkaget-kaget akan keberadaan perempuan pintar. Dalam dunianya yang dalam goa, ia masih berpikir perempuan tercipta sebagai budak dan pelayan.
Di ruang rapat, pejabat usia kepala lima merasa normal melecehkan mahasiswi magang dalam lembaga Pemerintahan. Kerlingan, tatapan, dan sentuhan yang tak diinginkan, kode gerakan yang membuat tak nyaman, hingga teks-teks bermuatan seksual digencarkan. Kita belum menghitung berapa banyak teknik manipulasi untuk mementahkan gagasan perempuan. Bersuara keras sedikit, sebut saja perempuan sebagai makhluk emosian. Banyak menyanggah pendapat di forum, sebut saja perempuan sedang siklus bulanan. Memperjuangkan nasib perempuan, anak-anak dan kelompok rentan, sebut saja perempuan memang hobi baperan.
Pertama, pelecehan seksual selalu soal relasi kuasa, dan struktur politik adalah profesi dengan kekuasaan paling mutakhir. Selama puluhan tahun sejak demokrasi memberi kesempatan perempuan terjun ke panggung politik, pelecehan seksual dinormalisasi begitu saja sebab struktur yang ada di atas dapat mengancam apa saja untuk struktur di bawahnya. Ada mitos yang menganggap bahwa struktur partai, lembaga pemerintahan, lembaga agama, perusahaan hingga kampus semestinya jadi lembaga yang bersih dari berita-berita "memalukan".
Kini, mitos itu dilawan. Lembaga apa saja justru memalukan jika melanggengkan tradisi pelecehan terhadap perempuan! Lembaga yang bisa merespons dengan cepat tindakan kekerasan seksual dengan berpihak kepada kerentanan korban akan menjadi lembaga yang terhormat dan terpercaya.
Kedua, normalisasi pelecehan seksual didukung dengan normalisasi pandangan bahwa tubuh perempuan mesti patuh. Tubuh yang telah dibuat patuh, pikiran dan sikap dengan mudah dibuat tunduk. Di linimasa, warganet mengutuk pelaku, namun juga sekaligus memberi saran agar perempuan berpakaian "sepatutnya". Mirip seperti pertanyaan apakah perempuan yang ada di ruang publik tetap bisa jadi pasangan dan ibu yang baik di rumah?
Tuntutan serupa tak pernah dicek kepada laki-laki. Pertanyaan berikutnya, apa standar kepatutan itu?
Belakangan, gelombang industri fesyen muslim punya pengaruh signifikan terhadap bergesernya norma kepatutan pakaian perempuan. Meskipun, sejak dulu penggunaan jilbab punya pengaruh signifikan terhadap political correctness hingga tersangka koruptor pun selalu berjilbab dadakan di ruang sidang.
Hari ini, diskursus jilbab terus berkembang dalam lanskap sosial Indonesia. Laporan Alvara Research Institute dalam Indonesian Moslem Report 2019 mendata jumlah perempuan berjilbab di Indonesia mencapai lebih dari 75%.
Di sekolah negeri, tanpa landasan tertulis apa pun, semacam terdapat kesepakatan tak tertulis menyoal bentuk seragam panjang, baik untuk perempuan maupun laki-laki. Banyak cerita dari siswi yang tak berjilbab atau tak berseragam panjang mendapat teguran langsung dari guru atau kepala sekolah. Jika tak langsung, ketidaknyamanan menjadi minoritas tak berjilbab dapat berasal dari sindiran atau nasihat terus-menerus agar segera berjilbab.
Apa alasannya? Tak ada. Hanya sepatutnya. Kepatutan sosial bahwa hari ini mayoritas perempuan mengenakan tren fesyen muslim.
Di perkampungan, kaum ibu berangkat ke acara hajatan dengan model fesyen muslim terkini. Para ibu sesungguhnya tak benar-benar mendefinisikan apa yang syar'i dan bukan syar'i menurut standar kekinian, melainkan model fesyen itulah yang dapat mereka temukan di pasar dan menjadi tren. Tren industri yang membentuk standar kepatutan baru, sampai-sampai balita perempuan pun terimbas tren itu.
Sebagai pilihan berpakaian untuk perempuan, tentu saja gelombang fesyen muslim ini bersifat dinamis. Sebagaimana produk kebudayaan lain, tren berpakaian akan terus berdialog dengan masyarakat sebagai pemakai produk kebudayaan itu. Produk yang fungsional, nyaman disertai daya kreatif akan keindahan akan memenangkan kebutuhan dan imajinasi manusia untuk sebuah kualitas barang.
Persoalan muncul ketika tren fesyen muslim untuk perempuan tidak bergerak sejalan dengan kesadaran perempuan akan agensi diri yang semakin kokoh. Perempuan, dengan pilihan berpakaiannya tidak boleh dilecehkan dan tidak boleh menjadi korban kekerasan.
Perlawanan terhadap pelecehan seksual mulai menjadi gerakan global lewat tagar "MeToo" pada 2017. Berawal dari laporan New York Times dan New Yorker tentang dugaan pelecehan seksual, kekerasan seksual dan pemerkosaan yang dilakukan oleh Harvey Weinstein kepada lebih dari 80 perempuan dalam industri film, perempuan dari seluruh dunia bersepakat untuk mulai bicara soal pengalaman kekerasan seksual yang mereka alami.
Pada 2018, muncul gerakan #MosqueMeToo untuk mengeskalasi cerita pengalaman pelecehan seksual yang dialami perempuan ketika beribadah haji dan berziarah di tempat suci. Seorang Muslimah Pakistan, Sabica Khan, yang pertama menuliskan pengalaman di Facebook menghapus kiriman karena ketakutan, tetapi disambut dengan dukungan dari perempuan seluruh dunia yang kemudian mulai turut bercerita.
Di Mesir, pada Juli 2020, untuk pertama kali media massa memuat headline survei pelecehan seksual. Menurut survei itu, pelecehan seksual menimpa perempuan berhijab dengan persentase 32%, perempuan tanpa hijab 21%, kemudian menyusul perempuan dengan abaya lebar sebesar 20%. Setelahnya, akun Instagram @assaultpolice rutin mengawal aduan pelecehan seksual di lingkungan akademik dan tempat kerja. Akun ini juga menjadi inisiatif gerakan untuk edukasi anti pelecehan seksual kepada perempuan di Mesir.
Jawaban Rahayu Saraswati cukup mencuri hati saya. Ia memilih memaknai peristiwa yang ia alami untuk mengingatkan publik akan angka kekerasan seksual yang tinggi dan nyata dialami para perempuan dan anak yang jauh lebih lemah dan lebih rentan dibanding dirinya. Ia memakai momentum untuk menjadi pelantang bagi suara-suara korban yang selama ini tak punya kesempatan bicara.
Panggung politik perempuan bersiap melawan pelecehan seksual. Jika Anda masih bertanya sampai kapan para perempuan ini terus berisik? Jawabannya, barangkali, belum dalam waktu dekat ini mereka berhenti bicara. Sebab, perlawanan akan makin membuat para penganut norma lama tak nyaman. Tak akan berhenti, sampai perlindungan hukum tegak kepada korban. Sampai masyarakat melihat perempuan sebagai seutuhnya manusia dengan gagasan dan kesadaran, bukan semata tubuh yang dapat ditundukkan oleh kekuasaan.Kalis Mardiasih/detikcom/nor
No Comment to " Panggung Politik Perempuan Melawan Pelecehan Seksual "