KORANRIAU.co- Ketika ketakutan mulai berembus dan entah bagaimana wabah menjalar menembus batas-batas negara, kita tahu sebentar lagi sayap-sayap malaikat beterbangan menyelimuti bumi membawa pekabar kematian dari langit. Dan, sekali lagi kita sadari pengetahuan manusia yang telah dibangun berabad-abad lamanya tetap takluk di bawah hukum alam dan ketakterdugaannya.
Ketakutan kita terhadap wabah dan segala peristiwa alam selain kemampuannya mendatangkan kematian dalam jumlah besar dan cepat juga karena sifatnya yang berada di luar prediksi dan kalkulasi pengetahuan. Di saat kita membangun sejarah, mendirikan dan meruntuhkan peradaban, kita mengabaikan bahwa di sudut kecil dunia ini mikroorganisme patogen --virus, bakteri, protozoa-- juga tengah bermutasi menjadi alat pembunuh yang akan datang dalam bentuk yang paling sempurna.
Interaksi satu spesies dengan spesies lain, kebiasaan manusia berkumpul dan bercerita, tanpa kita duga tiba-tiba berubah menjadi medan kematian. Epidemi selalu hadir sebagai peristiwa acak yang datang entah dari mana. Di saat sains berusaha menjinakkannya di dalam laboratorium, orang-orang beragama yang bersandar kepada pengetahuan spekulatif dan keimanan menafsirkannya sebagai bentuk intervensi langsung Tuhan terhadap gerak sejarah yang dituliskan manusia.
Peristiwa biologis yang mengejutkan ini menjadi kekuatan yang terus mendisrupsi gerak peradaban manusia, meruntuhkan kekaisaran, menghambat laju ekonomi, serta menghancurkan populasi. Terutama ketika epidemi datang dan memicu atau bertepatan dengan krisis lain: iklim, kekuasaan, ekonomi, konflik bersenjata. Wabah berubah dan menandai momen transformasi dalam alur sejarah.
Namun, jika ditempatkan dalam rentang waktu yang panjang, peristiwa epidemi memiliki ritme dan keteraturannya sendiri. Seperti halnya setiap zaman memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri, caranya bangkit dan runtuh, sifat kekuasaan, mata uang, pakaian, musik dan seni; di sisi lain juga memiliki penyakitnya masing-masing.
Penyakit yang diderita oleh umat manusia berkembang dan bermutasi mengikuti kerja ekologi (alam) dan evolusi (manusia). Antara 300-400 patogen telah diidentifikasi sebagai penyebab penyakit menular. Dibandingkan dengan simpanse, kerabat terdekat kita yang masih hidup, patogen yang menyerang manusia jauh lebih banyak dan lebih berbahaya.
Penyakit yang berbeda-beda itu adalah hasil dari sejarah manusia yang juga berbeda-beda setiap zamannya. Di saat manusia terus memperbaiki cara mereka membentuk kondisi ekologis di Bumi, pada saat itu pula spesies lain yang terikat dengan manusia akan bermutasi dan membentuk dirinya menyesuaikan kondisi manusia --dengan bantuan atau tanpa campur tangan manusia. Tumbuhan yang kita konsumsi, hewan-hewan yang kita pelihara; terutama mikroba parasit yang hanya bisa hidup jika sesuai dengan tubuh manusia sebagai inangnya.
Pandangan ekologis tentang penyakit menular ini baru berumur beberapa dasawarsa --jauh setelah wabah berkali-kali mengubah alur sejarah-- setelah William H. McNeill menerbitkan bukunya Plagues and Peoples pada 1976. Kita telah sampai pada suatu kesimpulan bahwa penyakit menular tidak mengada dengan begitu saja, namun justru menyesuaikan dengan kondisi manusia.
Mikroba yang menyerang dan menyebabkan penyakit pada saluran pencernaan, menurut McNeill, merupakan akibat dari sejarah panjang sejak 12.000 tahun lalu ketika manusia mulai hidup di pemukiman aglomerasi, hidup di sekeliling limbah mereka sendiri dan hewan peliharaan yang penuh dengan patogen yang bergerak lewat fecal-oral.
Alasan manusia memiliki banyak epidemi yang menyerang sistem pernafasan --SARS-COV-2 penyebab Covid-19, SARS, Mers, Ebola, Flu Burung, Flu Babi-- karena sifat populasi manusia yang berkumpul dalam satu komunitas, beranak-pinak, menciptakan pemukiman yang besar dan kepadatan yang tinggi. Sehingga ini sangat memudahkan patogen-patogen berpindah dari satu paru-paru ke paru-paru lain.detikcom/nor
No Comment to " Wabah, Sains, dan Teka-Teki Takdir "