KORANRIAU.co-Pilkada selain sebagai seleksi kepemimpinan juga mesti dipahami sebagai momentum perubahan strategi pembangunan di tingkat lokal mengingat setiap calon kepala daerah mengusung visi, misi dan program strategis yang ditampilkan dan ditawarkan di hadapan publik. Inline dengan nafas otonomi, tawaran visi-misi calon artinya tawaran harapan masa depan yang akan diperjanjikan untuk dicapai di tingkat daerah. Kenangan janji politik Calon Kepala Daerah pada masa lalu turut membentuk stigma publik bahwa Pilkada hanyalah ajang perebutan kekuasaan elit politik belaka. Imajinasi publik mengenai harapan perubahan tak selaras dengan kenyataan yang ada, berangkat dari itu tak salah jika sikap “Pragmatisme” lebih mewarnai perjalanan politik Indonesia termasuk helat Pilkada pada masa lalu dan masa yang akan datang.
Pelaksanaan Pemilihan kepala daerah di Indonesia pada tahun 2020 rasanya tidak akan jauh berbeda dengan gelaran Pilkada pada periode sebelumnya. Pelaksanaan pemungutan suara yang direncanakan digelar secara serentak pada bulan September 2020 dengan total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota (kpu.go.id) juga dipandang belum menyentuh aspek substantif (keadilan dan kesejahteraan publik). Pilkada lebih dilihat dari sekedar prosedur demokrasi yang mesti dijalankan secara terus menerus sebab format alternatif suksesi kepemimpinan belum ada yang sesuai dengan keinginan banyak orang terutama partai politik.
Isu-isu Pilkada serentak tahun 2020 diduga juga tidak akan jauh dari persoalan pembangunan infrastruktur, perekonomian, lapangan pekerjaan dan pelayanan publik. Sementara isu lingkungan masih kalah dibandingkan isu tadi dan belum menjadi idaman Calon Kepala Daerah bahkan pemilih pada umumnya. Padahal, pembangunan yang berkelanjutan tidak lepas dari daya dukung lingkungan dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang benar. Selain itu, isu lingkungan juga menjadi bagian dari kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat. Dapat dilihat bagaimana pengelolaan lingkungan yang buruk berdampak pada bencana alam seperti banjir, kebakaran hutan, krisis air bersih, dan lain sebagainya.
Mengapa Isu Lingkungan Belum Sexy?
Tenggelamnya isu lingkungan pada momentum Pilkada mesti dipahami sebagai mundurnya “political will” para politisi dan partai politik dalam memperjuangkan keberlanjutan lingkungan. Padahal para politisi dan partai politik bertanggungjawab penuh atas kebijakan-kebijakan lingkungan baik pada level daerah maupun nasional. Keengganan para politisi dan partai politik mengemas isu lingkungan sebagai jargon kampanye tidak lepas dari hasil survey opini publik yang lebih menitikberatkan pada upaya percepatan pembangunan infrastruktur, ekonomi dan kesejahteraan serta pelayanan publik. Karena memang relasi sosial politik di daerah masih mengandalkan capaian kebijakan pad aspek-aspek yang dimaksud.
Desain isu kampanye Pilkada yang belum menempatkan isu lingkungan sebagai “tagline utama” juga mesti dikaitkan dengan performance pemerintah daerah dalam mengeskalasi pertumbuhan ekonomi terutama di kawasan pedesaan, masih sempitnya kesempatan kerja bagi warga lokal serta terbatasnya lapangan pekerjaan di sektor formal. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang dilaporkan ke publik masih berasa semu sebab pertumbuhan ekonomi daerah belum sejalan dengan tingkat pendapatan, maknanya pertumbuhan ekonomi belum menyentuh pada persoalan pokok masyarakat daerah atau jangan-jangan pertumbuhan ekonomi itu hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Belum lagi dengan wajah buruk pendidikan warga yang rendah dan maraknya dugaan kasus korupsi, sama sekali tidak ada jaminan bahwa Pilkada bisa membudaya berkat pemberlakuan mekanisme dan tata kerja baru diantara para penyelenggara negara mengingat berbagai tuntutan mekanistik yang diberlakukan begitu mudah disiasati dengan kiat-kiat politik dalam domain informal. Publik akan mendapatkan gambaran riel yang berbeda, apalagi jika kita berani jujur dalam istilahnya Henk Schulte Nordorf and Gerry van Klinken melihat dari belakang panggung (back stage) bahwa proses politik Pilkada sarat dengan transaksi, negosiasi dan tawar menawar. Selain itu berlangsung pula pasar gelap (black economy) dan negara bayang-bayang (shadow state) (Hidayat, 2009).
Ironisnya, banyak daerah yang mengalami bencana karena kerusakan lingkungan belum juga menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu keliru. Lemahnya pengawasan terhadap praktik land clearing pada lahan gambut misalnya berdampak luas pada ekosistem yang ada di atasnya, kekeringan dan ancaman kebakaran akan menghantui manusia yang tinggal di atasnya. Selain itu, masifnya alih fungsi lahan baik pada low land maupun high land menjadi kebun-kebun sawit tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan semakin menunjukkan betapa lemahnya peran daerah dalam mengelola isu lingkungan sebagai isu sentral. Persoalan lingkungan baru akan menjadi primadona manakala bencana tiba dan kerugian dari bencana itu berdampak luas pada aspek ekonomi masyarakat, distribusi produksi dan pendapatan daerah.
Apa tugas politisi dan partai politik dalam mengelola isu lingkungan?
Isu lingkungan hanya akan menjadi bahan basi jika tidak dikemas dengan sungguh-sungguh oleh para praktisi dan partai politik dalam gelaran pemilu termasuk Pilkada. Kampanye lingkungan oleh NGO nyatanya belum mampu merubah opini publik mengenai Pemilu/Pilkada, diangkatnya isu lingkungan pada level daerah tampak kurang serius alias tempelan pada bagian akhir dari misi dan program strategis yang ditawarkan.
Sejatinya yang bertanggungjawab penuh mengelola isu lingkungan itu adalah para politisi dan partai politik dengan terus mengkampanyekan persoalan lingkungan sebagai persoalan serius dan strategis. Tentu tidak bisa disamakan antara isu lingkungan di kawasan pedesaan dengan perkotaan dan menurut hemat kami para politisi dan partai politik telah memahami hal itu. Menjadikan isu lingkungan sebagai “tagline” utama kampanye sudah harus menjadi kewajiban dan publik dapat mengawal hal itu misalnya dengan mendorong lembaga adat, tokoh masyarakat, kelompok keagamaan dan seluruh elemen yang mempengaruhi publik untuk memilih kandidat yang serius dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Bagaimana dengan Pilkada Riau?
Sebagaimana penjelasan umum di atas, Pilkada serentak di Provinsi Riau yang diikuti oleh 9 Kabupaten/Kota juga belum menempatkan isu lingkungan sebagai isu sentral kampanye. Padahal, jika merujuk dari kasus kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2019 yang lalu saja, kerugian dari sisi materi saja terhitung lebih dari 350Miliar rupiah belum lagi berhentinya aktifitas pendidikan dan perekonomian masyarakat. Keberanian Gubernur Syamsuar dalam menempatkan isu lingkungan sebagai isu politik pada Pilgubri 2018 yang lalu patut diberi apresiasi dan diawal 2020 Gubernur lebih sigap dengan menetapkan status bencana lebih awal, maknanya Gubernur Syamsuar berani memegang komitmen politik mengenai lingkungan yang telah ditulisnya pada Pilkada 2018 yang lalu. Lantas bagaimana dengan hiruk pikuk Pilkada serentak 2020 ini?
Mengamati isu-isu politik baik melalui media konvensional maupun media sosial, belum terlihat adanya konsep yang ditawarkan oleh para politisi yang digadang-gadang maju menjadi Calon Kepala Daerah pada Pilkada serentak september 2020. Mayoritas kandidat masih mengemas “brand image” dirinya dengan aktifitas keseharian dengan kesan “merakyat, religius dan sederhana”, walaupun aslinya tidak.
Publik hanya bisa berharap, para politisi dan partai politik serius menempatkan isu lingkungan ini sebagai isu sentral dan mengakomodir dalam kebijakan daerah jika jagoan yang diusung memenangkan kontestasi politik di tingkat lokal itu. Bagian akhir dari tulisan ini juga menuntut tanggungjawab dari perguruan tinggi, lembaga survey, konsultan politik dan media massa untuk terus mengkampanyekan isu lingkungan sebagai isu aktual.
Penulis: Tito Handoko, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Riau
Mahasiswa S3 Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Peneliti Muda Restorasi Gambut Tropika 2019
No Comment to " Pilkada dan Isu Lingkungan yang “Belum Sexy” "