KORANRIAU.co-Polemik Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami pasang surut setelah dinaikan kembali oleh pemerintah pusat pada Juli 2020.
Sebagaimana tertuang pada Peraturan Presiden Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Padahal sebelumnya Hak Uji Materiil (judicial review) dilakukan dengan hasil Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor: 7 P/HUM/2020.
Di satu sisi, pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebelumnya dinilai merupakan langkah tepat, terlebih lagi di masa pandemi Covid-19. Pemerintah diharapkan menyikapi dengan mengakomodir putusan Mahkamah Agung (MA) dengan membahas langkah-langkah strategis agar pelayanan terhadap peserta BPJS berjalan baik, agar terdapatnya keseimbangan dan keadilan.
Terdapatnya aspek dukungan kepada Pemerintah terhadap kenaikan iuran BPJS, didasarkan akan kebutuhan untuk menutupi difisit keuangan BPJS yang terus meningkat. Konsep gotong royong yang dicanangkan Pemerintah dilakukan dengan memberikan subsidi kepada peserta yang kurang mampu (subsidi silang). Sejalan aspek dukungan tersebut, maka Pemerintah juga seharusnya mengimbangi peningkatan dalam pelayanan kesehatan.
Langkah Pemerintah pada PerPres No 64/2020, sebagaimana disebutkan pada Pasal 38 Ayat 1, menyatakan :“Besaran luran ditinjau paling lama 2 (dua) tahun sekali, dengan menggunakan standar praktik aktuaria jaminan sosial yang lazim dan berlaku umum dan sekurang-kurangnya memperhatikan inflasi, biaya kebutuhan Jaminan Kesehatan, dan kemampuan membayar Iuran.”
Sedangkan pada aspek keberatan atau sikap kontra atas naiknya Iuran BPJS, maka penulis meninjau dari Hak Uji Materi yang pernah dilakukan pada putusan Mahkamah Agung (MA) No: 7 P/HUM/2020, Putusan MA 7/2020 telah bersifat final dan mengikat, yang mengakibatkan PerPres No 75/2019 tidak dapat digunakan lagi, namun Pemerintah seolah-olah mengabaikan sikap terhadap hukum. Kenaikan kembali pada iuran BPJS dalam Perpres No 64/2020, hanya memiliki perubahan pada nominal pada tiap-tiap kelas pembayaran sedikit berbeda dengan kenaikan sebelumnya yang telah dibatalkan MA. Blunder Pemerintah pada kenaikan iuran juga tidak didasarkan pada situasi dan alasan pada kondisi masyarakat.
Putusan MA menegaskan agar Pemerintah dalam menjalankan jaminan sosial berlandaskan akan prinsip keadilan dan transparansi, karena hal yang muncul adalah kebingungan masyarakat, yang disatu sisi Kenaikan iuran telah dibatalkan, namun di sisi lain Pemerintah kembali menaikan iuran tersebut,
Sikap dukungan ataupun keberatan dalam peningkatan tarif iuran BPJS, juga perlu dilihat dari kondisi masyarakat di masa pandemi Covid-19, yang seharusnya Pemerintah mengambil langkah tepat sebelum menaikan iuran BPJS, kenaikan tersebut menimbulkan banyak penolakan dari elemen masyarakat yang terbebani dengan iuran BPJS. Hal yang dirasa sangat diperlukan, agar pemerintah tidak menaikan iuran BPJS pada situasi sekarang ini, namun hal yang dapat dilakukan adalah penambahan subsidi anggaran dari APBN kepada BPJS, agar masyarakat dapat memulihkan ekonomi secara bertahap pasca pandemi Covid-19. Peran pemerintah pada masa pandemi Covid-19, juga sangat dibutuhkan dalam merealisasikan dan mensosialisasikan pola hidup sehat kepada masyarakat.
Oleh : Geremy Joy N, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau
No Comment to " Kenaikan 'Kembali' Iuran BPJS Kesehatan: Pengakomodiran atau Blunder Pemerintah ? "