Konteks ekonomi menjadi logika dominan yang melandasi perilaku masyarakat ini. Misalnya, ketika para pedagang di beberapa wilayah kota/kabupaten melawan petugas keamanan yang hendak menutup lapak dagangannya, maka perilaku tersebut adalah bentuk respons normal ekonomi masyarakat yang dalam beberapa minggu tidak mendapatkan pemasukan.
Demikian pula dengan tindakan seorang bapak yang harus menerobos masuk satu wilayah yang ditutup dikarenakan harus mencapai lokasi kerja, tidak semata dimaknai sebagai bentuk ketidaktaatan atau perlawanan, namun harus didudukkan pada konteks posisinya sebagai kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada keluarganya.
Bentuk respons lain terkait pemahaman atas batas-batas normal masyarakat dapat ditemukan pada pengemudi ojek online yang meminta penumpangnya untuk menyediakan helm sendiri dan membuat partisi yang menyekat pengemudi dengan penumpang. Tindakan ini merupakan keputusan pengemudi dalam menentukan batas-batas normal kesehatan yang paling mungkin dilakukan sesuai dengan kondisi kerja dan kemampuannya.
Dalam hal ini, pengemudi tidak mungkin membuat batasan berupa physical distancing minimal satu meter karena alat kerja yang tidak memungkinkan atau mengikuti anjuran pemerintah yang melarang mereka untuk mengantarkan penumpang karena itu sama saja dengan menutup pemasukan utama mereka.
Ketika pemerintah bersiap menata pranata kehidupan masyarakat melalui kebijakan new normal, maka penting untuk melihat beragam konteks yang melingkupi perilaku masyarakat atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah selama PSBB. Artinya, pemerintah tidak cukup berhenti pada dimensi aturan saja, namun juga mengarah pada aspek sosiologis masyarakat sebagai subjek aturan tersebut.
Implikasi atas pemahaman ini adalah bahwa kebijakan new normal yang dipersepsikan sebagai sebuah tatanan baru, tidak cukup hanya memfokuskan pada aspek untuk terwujudnya "ketertiban" masyarakat semata, namun juga perlu diperhatikan sisi "keamanan" masyarakat.
Jika "ketertiban" merupakan bentuk praktik keseharian masyarakat yang mengikuti pengetahuan atau gagasan berupa protokol kesehatan yang disodorkan pemerintah, maka penting untuk memperhatikan dimensi "keamanan" masyarakat seperti kecukupan diri dan masyarakat untuk melaksanakan kehidupannya tanpa adanya kekhawatiran seperti tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga atau pemenuhan keamanan diri dan lingkungannya karena semuanya sudah dijamin oleh negara.
Pemahaman pada dua aspek masyarakat ini menjadi semakin penting ketika pemerintah bermaksud menggerakkan TNI dan Polri dalam mengimplementasikan kebijakan new normal. Jika melihat karakter yang melekat pada dua lembaga pemerintahan ini, sebagai satuan keamanan dan pertahanan, sepertinya pemerintah akan lebih menekankan pada aspek "ketertiban" masyarakat. Sementara perilaku yang ditunjukkan oleh masyarakat atas kebijakan yang sudah terlebih dahulu ada, lebih terkait pada dimensi sosiologis yang menuntut ruang diskusi dan edukasi.
Ketertiban
Penggunaan aparat keamanan TNI dan Polri dalam penanganan pandemi tidak bertentangan dengan aspek legalitas. Pemerintah telah menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam. Dengan status ini maka dengan mengacu perundangan dan peraturan pemerintah tentang kebencanaan, seperti UU No 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana atau peraturan pemerintah No 21 tahu 2008, semuanya memberikan ruang keterlibatan TNI dan Polri dalam hal penanggulangan bencana.
Meskipun demikian, pelaksanaan new normal dengan menggandeng TNI dan Polri tidak boleh menjadi seperti praktik kebijakan yang menggunakan paradigma "ketertiban" dan "keamanan" pada masa pemerintahan Orde Baru ketika mengenalkan Revolusi Hijau kepada petani di awal 1970-an. Dengan dalih meningkatkan produksi pangan, pemerintah dengan dibantu aparat keamanan menjaga "ketertiban" petani untuk mengadopsi dan menggunakan teknologi pertanian baru dengan cara persuasif maupun represif (Husken, 1998).
Masyarakat yang sudah terbiasa dengan pertanian lama harus "tertib" untuk menggunakan sarana produksi pertanian yang dihasilkan oleh perusahaan. Masyarakat yang normalnya memproduksi benih, pupuk, hingga pestisida sendiri harus mengalokasikan anggaran untuk pembelian sarana produksi pertanian tersebut. Pada akhirnya betul bahwa masyarakat beralih dengan teknologi pertanian tersebut, namun itu semua diraih dalam waktu yang tidak singkat dan menghilangkan banyak sekali kearifan lokal masyarakat pedesaan.
Praktik kebijakan Revolusi Hijau yang dilakukan pemerintah Orde Baru ini penting untuk dijadikan bahan refleksi ketika pemerintah saat ini akan menggandeng TNI dan Polri untuk melaksanakan kebijakan new normal. Jika selama ini TNI dan Polri hanya berada pada tugas pokok untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat seperti mengamankan satu wilayah atau menjaga perbatasan kota atau kabupaten yang melaksanakan PSBB, maka dalam beberapa hari ke depan akan mendapatkan ruang lebih luas dalam mengawal kebijakan penanganan Covid-19.
TNI dan Polri dapat masuk pada ruang-ruang sipil yang selama ini telah berkembang menjadi habitus yang mengedepankan pada aspek demokrasi dalam bingkai hak dan kewajiban sebagai warga negara sebagaimana yang tertuang dalam undang-udang dasar. Dengan dalih menerapkan aturan, TNI dan Polisi dapat membubarkan masyarakat yang sedang beribadah karena tidak ada jarak di antara mereka.
Kemungkinan ini menjadi sebuah keniscayaan karena masih banyak ruang ibadah yang dipergunakan oleh masyarakat tidak selalu dalam kondisi ideal untuk menggunakan protokol kesehatan. Banyak rumah ibadah yang tidak memiliki tempat luas yang cukup untuk menampung seluruh jemaahnya dengan memberikan jarak di antara mereka serta memiliki kemampuan untuk memproteksi jemaahnya dengan alat kesehatan. Dengan ketiadaan prasyarat ini praktik ritual mereka berpotensi untuk ditiadakan karena tidak sesuai dengan aturan physical distancing.
Keamanan
Setidaknya ada dua struktur sosial masyarakat yang saling berkaitan sehingga perlu mendapatkan perhatian pada new normal. Pertama, struktur ekonomi masyarakat yang tidak hanya diisi oleh kelas sosial atas-menengah, namun juga terdiri dari kelompok masyarakat dengan kategori tidak mampu. Kedua, rata-rata pendidikan/pengetahuan masyarakat yang rendah seiring dengan tingkat pendidikan yang hanya sampai jenjang Sekolah Menengah Pertama.
Data terbaru Badan Pusat Statistik nasional menyebutkan bahwa pada September 2019 terdapat 9,22 persen penduduk Indonesia yang dalam satu bulan mereka hanya mendapatkan pendapatan sebesar Rp 440.538. Jumlah ini jika dibelanjakan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan masyarakat. Kebutuhan yang lain jelas tidak mungkin terjangkau oleh kelompok masyarakat ini, apalagi untuk membeli alat kesehatan yang melindungi mereka dan keluarganya dari penularan virus corona yang harganya mahal.
Pada kelompok masyarakat ini, kebutuhan akan sarana kesehatan hanya mungkin didapatkan jika pemerintah memberikan bantuan. Skema jaring pengaman sosial yang diberikan oleh pemerintah baru menambah kebutuhan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Jika bantuan sosial ke masyarakat ini diarahkan untuk memenuhi kebutuhan alat kesehatannya dapat dipastikan pemenuhan kebutuhan pokoknya akan terkena imbasnya.
Penulis: Zudan Rosyidi mahasiswa S3 Ilmu Sosial Universitas Airlangga, dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
No Comment to " Batas-Batas (New) Normal Masyarakat "