KORANRIAU.co- Provokasi Tiongkok di perairan Natuna seolah menjadi blessings in disguise bagi penguatan diplomasi ekonomi maritim Indonesia. Agresivitas Tiongkok memang ditanggapi dengan pengerahan kapal-kapal penjaga perbatasan Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan KRI dari TNI AL. Namun demikian, insiden Natuna itu juga memberikan peluang besar bagi diplomasi ekonomi di bidang maritim di kawasan perbatasan, termasuk Natuna.
Kenyataan ini terkait langsung dengan prioritas utama politik luar negeri Indonesia (PLNI) 2019-2024, yaitu penguatan diplomasi ekonomi. Pada 8 Januari 2020, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi,menyampaikan Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri 2020 (8/1/2020) dalam prioritas 4+1. Keempat prioritas itu meliputi diplomasi ekonomi, perlindungan, kedaulatan dan kebangsaan, meningkatkan kontribusi dan kepemimpinan Indonesia di kawasan dan dunia. Tambahan terakhir adalah memperkuat infrastruktur dan mesin diplomasi Indonesia.
Dalam konteks PLNI ini, penguatan diplomasi ekonomi seakan menjadi strategi diplomasi Indonesia yang perlu menjadi fokus utama dalam memperkuat kedaulatan nasional di Pulau Natuna dan wilayah perbatasan lain.
Kepentingan Ekonomi
Kerja sama ekonomi merupakan motif utama dalam hubungan internasional. Interaksi ekonomi antarnegara tidak melulu antarpemerintah (government to government/G to G), namun juga antara pemerintah dan bisnis (government to business/G to B), serta antara bisnis dan bisnis (business to business/B to B). Namun dalam situasi tertentu, seperti di Natuna, negara atau pemerintah harus mengambil peran utama diplomasi ekonomi.
Motif ekonomi ini menjadikan diplomasi sebuah negara menempatkan diplomasi ekonomi sebagai fokus utama bagi perwakilan sebuah negara. Wajar saja jika setiap kepala perwakilan diberi tugas melakukan promosi ekonomi dan perdagangan di negara-negara penugasan. Kadang menjadi salah kaprah ketika kegiatan perwakilan harus melulu bernuansa ekonomi, sedangkan kegiatan sosial-budaya diminimalkan atau, malah, ditiadakan. Padahal semua bidang kegiatan itu bisa saling komplementer dengan tujuan akhir pada capaian konkret menarik investasi ke Indonesia.
Kerja sama ekonomi maritim menjadi salah satu bentuk konkret diplomasi ekonomi di wilayah Natuna. Tawaran investasi ini merupakan langkah diplomasi ekonomi yang sangat efektif dan strategis untuk menegaskan kedaulatan RI. Paling tidak, kerjasama ekonomi maritim ini menjadi salah satu bentuk komplementer bagi pendekatan pertahanan-keamanan yang selama ini menjadi semacam pola solusi masalah di kawasan perbatasan.
Dalam insiden Natuna, Indonesia harus menghindari kerja sama ekonomi dengan Tiongkok di perairan Natuna. Ada konsekuensi serius bila kerja sama itu dilakukan berkaitan dengan kedaulatan Indonesia. Dalam konteks lebih luas, provokasi Beijing memang tidak merusak hubungan bilateral dengan Indonesia secara keseluruhan. Namun demikian, Indonesia memiliki catatan khusus soal sikap agresif Tiongkok di perairan Natuna.
Situasi ini sangat berbeda dengan pola dan bentuk kerja sama ekonomi di wilayah perbatasan darat, misalnya antara Indonesia-Malaysia, Indonesia-Timor Leste, atau Indonesia-Papua New Guinea.
Momentum Natuna
Yang menarik adalah kerja sama ini secara tidak terduga berlangsung pada saat bersamaan dengan insiden provokasi Beijing di Natuna. Presiden Jokowi bertemu Menteri Luar Negeri Jepang dan menawarkan investasi perikanan di kawasan perairan Pulau Natuna. Selain itu, tawaran serupa juga diberikan kepada AS melalui International Development Finance Corporation (IDFC).
Langkah diplomasi Jokowi ini menjadi sinyal penting bahwa Tiongkok tidak bisa mendikte kerjasama bilateralnya dengan Indonesia. Langkah Jokowi ini tampaknya serupa dengan pemberian investasi kereta cepat ke Tiongkok secara tiba-tiba daripada ke Jepang beberapa tahun yang lalu. Dalam konteks ini ketimbang bekerja sama dengan Tiongkok di perairan Natuna Utara, Jokowi sebaiknya lebih mendorong investasi domestik (misalnya mendorong eksplorasi migas Pertamina) dan dari negara-negara lain.
Masalah pengelolaan sumber daya alam, keamanan wilayah (laut, darat, dan udara), kehadiran riil (real presence), dan kesejahteraan masyarakat merupakan isu-isu mendesak yang saling terkait dan biasanya mewarnai persoalan di wilayah-wilayah perbatasan di Indonesia.
Melalui diplomasi ekonomi ini, Indonesia sebenarnya memperkuat real presence-nya di kawasan Pulau Natuna. Real presence dalam bentuk aset strategis negara menjadi tanda 'negara hadir' di suatu kawasan, termasuk di perairan Pulau Natuna. Ini secara konkret memperkuat kedaulatan Indonesia di perairan Natuna.
Di satu pihak, diplomasi ekonomi melalui kerja sama maritim menjadi solusi ekonomi berkelanjutan bagi warga setempat. Di pihak lain, pembangunan fasilitas ekonomi menjadi bukti kuat real presence negara Indonesia yang secara langsung meningkatkan kedaulatan nasional Indonesia di wilayah itu.
Pada akhirnya, diplomasi ekonomi menjadi salah satu solusi strategis dari kebiasaan mengedepankan pendekatan pertahanan-keamanan dalam penyelesaian konflik antarnegara di wilayah perbatasan.detikcom/nor
No Comment to " Momentum Diplomasi Ekonomi bagi Natuna "