KORANRIAU.co-"Ayah, jadi virus yang di China itu azab ya?"
Pertanyaan itu keluar begitu saja dari putri saya, umur enam tahun. "Dari mana adik dengar seperti itu?", saya balik bertanya. Dia menyebut, teman-teman di sekolahnya belakangan kerap bilang begitu.
Saya coba menjelaskan sama anak saya bahwa mungkin orang-orang di China sedang diuji saja. Pada zaman yang sudah tak ada nabi dan rasul macam sekarang, kita toh tak bisa lagi mengetahui dengan presisi apa maunya Allah soal peristiwa-peristiwa kekinian.
Selepas pertanyaan anak saya itu, saya ingat pemberitaan Republika.co.id soal sejumlah turis dari China yang berkunjung ke Sumatra Barat pada Ahad (25/1) lalu. Mereka mendapat penolakan keras dari warga setempat karena dikhawatirkan bakal membawa dan menularkan virus corona baru (2019-nCoV). Bahwa para turis berasal dari Kunming, sekitar 2.000 kilometer dari pusat penyebaran di Wuhan, tak bisa meredakan ketakutan itu.
Di antara para turis, diketahui ada juga belasan Muslim-Muslimah yang tampaknya rindu betul dengan saudara-saudari seiman mereka di negeri seberang. Rindu mendengarkan azan dilantangkan tanpa rasa takut bakal diciduk aparatur negara.
Saya ingat betul bagaimana reaksi para jamaah dari China kala bertemu dengan saudara-saudari dari negeri jauh di Tanah Suci. Bagaimana mereka kerap menangis haru sembari memeluk Muslim dari negara lain begitu tiba di bandara di Madinah atau Jeddah. Tak ada keraguan, buat saya, demikian juga yang dirasakan para turis dari Kunming di Sumbar.
Mereka ikut jadi korban ketakutan kita. Dipaksa pulang sebelum pungkas betul kangen-kangenan.
Tentu ketakutan itu bukan khas di Tanah Air saja. Sinofobia, ketakutan berlebihan pada warga Tionghoa, muncul di berbagai negara seturut merebaknya virus corona baru.
Di Kanada, seperti dilaporkan CTVNews.ca ribuan orang meneken petisi daring meminta para murid dari China diisolasi. Jumlah penandatanganan petisi itu (9.000 orang) jauh lebih banyak dari di Sumbar yang hanya ratusan orang. Komunitas Tionghoa di Kanada sampai terpaksa angkat suara terkait sentimen itu.
"Sebagai seorang Tionghoa di Kanada dan seseorang yang terlihat sebagai orang Tionghoa, batuk saya saja bisa membuat banyak orang takut," kata Amy Go, presiden interim Dewan Nasional untuk Keadilan Sosial Tionghoa di Kanada kepada CTVNews.ca, kemarin.
BBC juga melaporkan merebaknya rasialisme terhadap etnis Tionghoa di Prancis. Cathy Tran di Kota Olmar menceritakan, ia mendengar kata-kata: "Awas, ada perempuan China berjalan ke arah kita," saat berjalan-jalan di kota itu, kemarin. Ia juga melintasi seorang pengemudi skuter yang menyuruhnya mengenakan masker.
Para warga Tionghoa di Prancis juga meramaikan media sosial dengan tagar "JeNeSuisPasUnVirus" yang artinya "Saya Bukan Virus". Tagar itu mengemuka setelah sebuah surat kabar ternama disebut membuat judul rasis "Bahaya Kuning" terkait virus korona di halaman depan.
Di Asia Timur, utamanya di Korea Selatan dan Jepang yang punya kenangan masa lalu yang berdarah-darah dengan China, ketakutan juga marak. Sejumlah restoran di kedua negara itu dilaporkan menempelkan tulisan "Orang China Dilarang Masuk" di depan toko. Serikat pekerja di Korsel juga menolak mengantar makanan ke wilayah yang banyak dihuni keturunan China.
Barbagai kabar hoaks di media sosial, rekaman-rekaman video yang dicerabut dari konteksnya ikut membantu ketakutan itu menyebar.
Tak bisa kita mungkiri, 2019-nCoV memang berbahaya. Ia sudah merenggut nyawa lebih dari 100 orang dan menulari ribuan sejauh ini. Dalam banyak hal, ketakutan yang muncul terhadap itu wabah absah dan bisa dimaklumi.
Namun, ketakutan dan kebencian adalah juga virus yang tak kalah ganas penyebarannya. Dalam dosis tinggi, sejarah menunjukkan, ia juga paten menyebabkan luka-luka dan (naudzubillahi min dzalik) kematian.
Mari menjernihkan pikiran. Memisahkan kewaspadaan dari rasialisme. Melepaskan kekhawatiran dari Sinofobia. Meninggalkan kabar-kabar tak jelas yang menyesaki media sosial.
Dan pemerintah harus bekerja lebih keras dan lebih jujur mencegah itu wabah sampai ke Tanah Air. Karena jika sampai ia mewabah di sini, kita paham, bukan hanya yang tertular yang dalam marabahaya. Ada seantero komunitas yang bisa jadi sasaran kemarahan yang salah sasaran. Sekali lagi, naudzubillahi min dzalik.
Oleh Fitriyan Zamzami, wartawan Republika
No Comment to " Orang China Bukan Virus "