• Ketahanan Pesantren

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Kamis, 02 Januari 2020
    A- A+

    KORANRIAU.co-Di tengah ingar-bingar tentang isu radikalisme belakangan, baik juga menyimak tentang ketahanan--atau sebaliknya kerentanan-pesantren dalam menghadapi radikalisme. Tema ini menjadi subjek penelitian yang hasilnya menjelang akhir tahun lalu (19/12/2019) diluncurkan Center for the Study of Religion and Culture (CSRC), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Pesantren sejak awal milenium baru sering diasosiasikan dengan radikalisme, bahkan terorisme. Beberapa pelaku aksi kekerasan dan terorisme, seperti pelaku bom Bali I (Amrozi, Mukhlas dan Ali Imron) berasal dari Pesantren al- Islam, Tenggulun, Lamongan. Lalu dua tersangka teroris Solo yang ditembak mati Densus 88 Anti Teror pada 2012, Farhan Mujahid dan Muchsin Tsani adalah alumni Pesantren Ngruki Solo.Sementara itu, Aman Abdurrahman, pimpinan Jamaah Ansharud Daulah (JAD) pernah menjadi santri di Pesantren Darussalam Ciamis.

    Persepsi tentang pesantren radikal yang mengajarkan radikalisme terus bertahan. CNN Indonesia (04/02/2016) melaporkan, berdasar kan investigasi BNPT, ada 19 pesantren yang mengajarkan radikalisme kepada para santrinya. Pesantren-pesantren itu terdapat tidak hanya di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten, tetapi juga di Aceh, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, NTB, dan Ambon.

    Dilihat dari penyebaran pesantren yang didaftar BNPT sebagai terpapar radikalisme dan mengajarkan radikalisme kepada para santrinya, terlihat penyebaran paham radikalisme lewat pesantren sudah cukup luas. Karena itu, perlu perhatian dan penanganan khususnya dari Kementerian Agama yang bertanggung jawab membina pendidikan Islam, termasuk pesantren.

    Meski demikian, jelas 19 pesantren itu hanya ibarat setitik air atau bagian kecil dari jumlah secara keseluruhan di Indonesia. Menurut data Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pesantren, Kementerian Agama (diakses 31/12/2019), jumlah pesantren di Indonesia 28.194. Bisa dipastikan, sebagian besar pesantren itu milik kiai-kiai NU;dan sebagian lebih kecil milik ormas-ormas Islam, antara lain Muhammadiyah, Jamiatul Washliyah, Tarbiyah (Perti), Mathlaul Anwar, Persis, PUI, Nahdhatul Wathan, al-Khairat, dan Yapis.

    Bisa dipastikan, puluhan ribu pesantren ini menganut dan mengamalkan Islam Wasathiyah. Para kiai, pengasuh, guru, dan santri adalah ummatan wasathan, yang jauh dari sikap ekstrem dan radikal, baik dalam pemahaman maupun praksis keagamaan sehari-hari.

    Jelas pula, masa depan Islam Indonesia wasathiyah yang menekankan karakter, seperti tawashut, tawazun, itidal, tasamuh, qudwah, syura, adil, muwathanah, dan seterusnya sangat bergantung pula pada pesantren wasathiyah ini. Pesantren-pesantren ummatan wasathanini menjadi lokus: pertama, transfer ilmu pengetahuan dan kecakapan keislaman ke generasi muda; kedua, pemeliharaan tradisi Islam Indonesia; dan ketiga, penciptaan atau kaderisasi (calon-calon) ulama.

    Meski demikian, menjadi mayoritas--absolut sekalipun--belakangan ini sama sekali tidak lagi cukup. Berbagai perkembangan, baik pada tingkat global maupun nasional dan lokal sedikit banyak dapat memengaruhi eksistensi pesantren ummatan wasathan.

    Maka itu, seperti ditegaskan dalam penelitian CSRC, seusai bom Bali I (2002) semakin banyak peneliti dan pengamat yang tertarik melakukan penelitian tentang pesantren dalam kaitannya dengan pemahaman dan praksis keagamaan radikal. Studi-studi sepanjang awal tahun 2000-an menemukan adanya penyebaran ideologi Islamisme di pesantren-pesantren [baru] atau infiltrasi ke pesantren-pesantren yang lama dan mapan.

    Apa yang disebut ideologi Islamisme yang menyebar ke pesantren tidak homogen; tiada ideologi Islamisme tunggal. Islamisme yang menyebar ke pesantren khususnya sejak awal milenium baru mencakup ideologi Islamisme lokal Darul Islam/DI atau Negara Islam Indonesia/NII; juga ideologi Hizbut Tahrir (Indonesia/HTI), Salafisme (Salafi-Wahabi, Arab Saudi), Ikhwan (al- Muslimin, Mesir), dan Tablighi (Anak Benua India).

    Di antara pesantren-pesantren baru dengan ideologi Islamisme, yang paling banyak adalah pesantren Salafi-Wahabi. Sulit mengetahui pasti berapa jumlah pesantren Salafi-Wahabi; paling mungkin sekitar 100-an di seluruh Indonesia (lihat Resonansi, Azra, "Pesantren Salafi (4)" 22/2/2018), Tahun 2018, ada 95 pesantren Salafi-Wahabi dari 111 lembaga pendidikan Islam di bawah aliran Islam ini. Kemungkinan jumlah ini telah berubah sekarang, mengingat berbagai perkembangan di lingkungan kaum Salafi-Wahabi dan kaum Muslimin lain dalam skala lebih luas.republika/nor

    Oleh: Azyumardi Azra

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Ketahanan Pesantren "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com