KORANRIAU.co-Dengungan suara itu makin lama kian jelas. Terdengar lantunan takbir, tahmid dan tasbih. Para talibul ilmi berlalu-lalang di depan 'hujra' sambil mendekap kitab. Di sudut-sudut terlihat beberapa orang memakai doppi sedang berkerumun untuk berdiskusi.
Saya terpaku menatap fragmen itu.
Bangunan megah berhias mozaik biru ini adalah bekas 'Medrassah'. Menjulang ke angkasa. Saya dongakkan kepala untuk melihat muqarnas indah yang ada di atas sana. Tubuh saya yang hanya 160 cm terasa seperti kurcaci di rumah Putri Salju.
Getar itu terasa sama. Saya jatuh cinta.
Seorang anak kecil yang menabrak tak sengaja saat berlari, membangunkan saya dari lamunan. Para talibul ilmi tak ada di sana. Riuh lalu lalang orang adalah wisatawan dari berbagai belahan dunia yang menikmati keindahan permata ini.
Ah, lalu suara siapa senandung dzikir yang syahdu tadi?Dua tahun lalu saya mentasbihkan hormat pada Registand Square di Samarkand. Melihat Ulughbek, Sherdor and Tilla Kori Madrassah untuk pertama kalinya membuat dada terasa sesak karena takjub.
Hari ini, perasaan yang sama muncul kembali mana kala melihat Ichan Kala. Area seluas 93 hektar yang di dalamnya disesaki lebih dari 50 bangunan dengan jejak peradaban Islam yang luar biasa.
Bangunan ikoniknya adalah Kalta Minor. Sebuah minaret yang tadinya direncanakan akan dibangun setinggi 100 meter.
Namun, saat pembangunan mencapai 26 meter, para arsiteknya mendengar desas-desus kalau Raja menitahkan membunuh mereka setelah menyelesaikan pekerjaannya. Sang Raja tak ingin ada bangunan serupa di dunia.
Para arsitek diam-diam melarikan diri hingga bangunan itu tak pernah selesai. Meski tak pernah selesai, tapi mainaret itu tetap mencengangkan siapa saja yang melihatnya.
Lalu ada juga bekas istana yang sampai sekarang masih bisa dinikmati kemolekannya. Ada tiga pintu menuju singgasana Raja. Ketinggiannya berbeda untuk menunjukkan status sosialnya. Keluarga kerajaan memiliki pintu yang paling tinggi. Lalu para pejabat negara. Dan terakhir untuk rakyat jelata.
Tak jauh dari istana ada Djuma Mosque. Masjid dari abad ke 10 yang disangga 120 pilar kayu cinar asli masih tegak berdiri. Kayu ini kuat sekali. Tak ada rayap sekalipun telah lebih dari 10 abad. Bahkan motif ukirannya masih bisa terlihat jelas keindahannya.
Masjid yang mampu menampung 2000 jamaah itu sudah tidak difungsikan lagi karena bangunannya telah dimakan usia. Tapi di depan mihrab masih disediakan dua karpet bagi siapa saja yang ingin shalat. Tentu, saya tak melewatkan kesempatan itu. Segera saya ambil posisi untuk shalat dua rekaat.
Panoramic view kota Khiva bisa disaksikan dari atas benteng. Ada tangga yang bisa digunakan untuk mencapai bagian atasnya. Allahu akbar!
Saya tercengang menyaksikan pemandangan spektakuler yang membentang di depan mata. Kubah masjid. Muqarnas madrassah. Minaret. Menyembul di sana sini.
Kalau pernah menonton film Alladin dan melihat Princess Jasmine terbang di atas karpet, percayalah, gambaran itu tak ada apa-apanya dibanding indahnya Ichan Kala.
Degup jantung yang menderu membuat sudut mata saya terasa hangat. Saya menangis menyaksikan keindahan ini. Bukan sekadar bangunan megahnya. Tapi Islam pernah meninggalkan jejak peradaban yang luar biasa.
Bagi saya Asia Tengah adalah permata. Dari rahimnya lahir para cendekiawan Muslim yang sumbangsihnya untuk ilmu pengetahuan, manusia dan kemanusiaan tak terkira.
Di tanah ini Abu Ja’far Muhammad bin Musa al-Khawarizmi atau Al Khawarizmi lahir.
Saya sudah sering menulis tentangnya. Tentang teori algoritma yang ditemukannya, yang mengantarkan manusia pada revolusi digital yang kita nikmati saat ini.
Tanpa teori dasar yang ditemukannya, niscaya dunia tak akan mengenal nama Steve Jobs, Bill Gates, Mark Zuckerberg. Dan sederet nama lain yang diidentikkan dengan pencapaian manusia modern di bidang teknologi informasi.
Lalu ada Albiruni. Ia adalah bapak dari beragam ilmu yang masih digunakan manusia di abad modern ini. Seperti geodesi, fisika, antropologi, psikologi, kimia, astrologi, sejarah, geografi, matematika, farmasi, kedokteran, serta filsafat.
Tak cukup sampai di situ. Khawarizm atau Khiva sekarang adalah tanah Bani Seljuk. Di tempat ini pula nama-nama pahlawan besar seperti Muzaffar Saif ad-Din Qutuz yang menurunkan Daulah Mamluk di Mesir berasal. Hingga para sultan dari Daulah Utsmani di Turki. Tak akan cukup satu buku untuk menuliskan mereka saking banyaknya.
Secara berkelakar saya katakan pada Sanjar, "Kalau dilakukan tes DNA, mungkin seluruh orang Khawarizm ini memiliki IQ jenius."
Daaan... kalau selama ini dikatakan perempuan Uzbekistan itu cantik-cantik. Maka cobalah datang ke Khiva. Selama ini saya mengira mereka yang memiliki darah Tartar yang wajahnya paling unik.
Tapi ternyata itu tak ada apa-apanya dibanding dengan orang Khawarizm. Kulit putih, hidung mancung, mata besar seperti perempuan Mediterania, tapi juga ada campuran ras lainnya. Wajah mereka... ah, sudahlah!
Saya sampai bolak-balik bengong saat melihat para perempuan serupa bidadari ini wira-wiri. Pernah saking tidak tahannya, saya minta izin memotret seorang penjaga salah satu museum di Ichan Kala.
Tapi saya tak akan posting fotonya ya. Dibayangkan saja!
Tak puas hanya datang sekali. Malamnya saya datang lagi. Kebetulan hotel Bek Khiva tempat saya menginap lokasinya hanya sepelemparan batu dari benteng kota tua.
Di malam hari pemandangan lebih dramatis. Dalam gelapnya malam, beberapa minaret dan bangunan ikonik lainnya bermandikan cahaya lampu.Ichan Kala adalah permata. Saya menyaksikannya!.republika/Uttiek M Panji Astuti
No Comment to " Journey to Silk Road: Permata di Ichan Kala "