KORANRIAU.co-Tujuh ribu tahun lalu, jauh sebelum era industri modern, kenaikan air laut mengancam pemukiman di negeri dekat Laut Mediterania. Penduduk desa melindungi rumah mereka dengan membangun tembok.
Sayangnya cara itu tidak berhasil. Penduduk desa tersebut tersapu dan tenggelam bersama bangunan.
Sisa-sisa pemukiman ini ditemukan pada tahun 1960 secara tidak sengaja. Pemukiman ini ditemukan oleh penyelam yang mencari bangkai kapal. Diketahui, pemukiman tersebut bernama Tel Hreiz, di Israel.
Saya membaca cuplikan berita tersebut sekitar dua pekan lalu. Sambil berdoa, jangan sampai Indonesia atau Jakarta mengalami hal yang serupa di masa mendatang.
**
Awal tahun, Jabodetabek dilanda banjir. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan perubahan iklim meningkatkan risiko curah hujan ekstrem yang menjadi salah satu penyebab banjir di Jabodetabek.
Bila kejadian 2020 diperhitungkan, di Jakarta menunjukkan bahwa peningkatan 2-3 persen bila dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun lalu.
Banjir selalu menjadi perdebatan para pakar dan pemangku kepentingan. Tak perlu sibuk saling menyalahkan. Penyebab terjadinya banjir sebenarnya sederhana. Air akan mengalir dari hulu ke hilir.
Air hujan seharusnya semua bermuara ke laut. Banjir disebabkan karena air yang turun dari hulu menuju hilir terjebak di tengah-tengah. Jalan airnya mampet. Cara mencegah banjir pada prinsipnya adalah bagaimana 'membuang' penghalang apa yang menghalangi air mengalir ke hilir.
Kita juga memiliki teknologi yang diharapkan bisa meminimalkan terjadinya potensi bencana seperti banjir. Bagaimana mencegah banjir dengan teknologi?
Yang sudah dicoba adalah pemanfaatan teknologi modifikasi cuaca (TMC). Operasi TMC dapat membuat hujan turun ke wilayah yang aman dan jauh dari pemukiman penduduk atau sebelum awan memasuki kawasan padat penduduk Jabodetabek seperti di wilayah Selat Sunda atau Laut Jawa.
Kini, muncul pula perdebatan untuk mengatasi banjir dengan naturalisasi sungai. Naturalisasi sungai vs normalisasi sungai. Penulis tidak ingin ikut dalam perdebatan ini. Apapun itu, intinya adalah bagaimana membuat air bisa lancar mengalir. Selain itu, tanggul-tanggul di setiap sungai harus diperkuat agar mampu mencegah membludaknya air.
Kita pun sebenarnya bisa bergerak untuk mencegah banjir. Di setiap rumah-rumah, kita bisa membuat sumur resapan untuk menyimpan air. Kita juga bisa memulai dengan mengurangi produksi sampah. Sampah sebisa mungkin diolah agar tidak dibuang sembarangan sehingga menyumbat saluran air, dan juga tidak memperburuk kondisi iklim.
Sebuah penelitian yang dirilis oleh Nature Communication pada 29 Oktober 2019 mengungkapkan sejumlah negara, termasuk Indonesia, akan tenggelam pada tahun 2050. Penelitian itu mengungkapkan permukaan laut akan mengalami kenaikan sekitar 30 hingga 50 sentimeter setiap tahun.
Penelitian Nature Communication itu prediksi agar kita lebih berhati-hati. Cerita penduduk desa Tel Hreiz seharusnya menjadikan kita lebih cermat bagaimana mencegah banjir. Semoga apa yang diprediksikan penelitian tersebut tidak menjadi kenyataan.Dwi Murdaningsih/republika
No Comment to " Belajar dari Kota yang Tenggelam "